Oleh: Fitriani, S.Pd. (Praktisi Pendidikan)
Wacana-edukasi.com, OPINI– Fenomena membanjirnya barang-barang murah dari Cina di pasar Indonesia telah menjadi topik hangat belakangan ini. Secara ekonomi, banyak sektor industri yang terpukul keras, mulai dari manufaktur, tekstil, hingga elektronik. Industri tekstil lokal misalnya, harus berjuang keras untuk bersaing dengan produk tekstil dari Cina yang dijual dengan harga lebih murah.
Keberadaan barang-barang ini dengan harga yang sangat kompetitif, telah menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi banyak pihak, terutama industri dalam negeri. Tak dapat dipungkiri, kemudahan akses terhadap produk murah memberikan keuntungan bagi konsumen, tetapi disisi lain, hal ini juga mengancam keberlangsungan industri lokal yang tidak mampu bersaing dalam hal harga.
Selain itu, perubahan pola konsumsi masyarakat juga tidak bisa diabaikan. Konsumen cenderung memilih produk murah meskipun kualitasnya mungkin lebih rendah, yang pada akhirnya menggerus pangsa pasar produk lokal. Ini bukan hanya masalah harga, tetapi juga kualitas dan inovasi. Produk tekstil Cina yang murah dan beragam membuat konsumen lebih memilih produk impor daripada produk lokal.
Indonesia dan Cina telah menjalin hubungan perdagangan yang semakin erat dalam beberapa dekade terakhir. Berbagai perjanjian perdagangan bebas dan kebijakan impor telah membuka pintu lebar bagi produk-produk Cina untuk masuk ke pasar Indonesia. China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) salah satu perjanjian yang memungkinkan produk Cina masuk dengan tarif yang sangat rendah atau bahkan nol. Kondisi ini menekan daya saing produk lokal termasuk UMKM. Banyak pabrik yang terpaksa mengurangi produksi yang berimbas pada PHK. Ancaman penutupan pabrik Indonesia semakin besar yang pada akhirnya meningkatkan angka pengangguran.
Terbukti sepanjang 2023, sebanyak 150 ribu karyawan di-PHK. Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan saat ini tercatat 21 industri tekstil di Indonesia gulung tikar, sedangkan 31 pabrik tekstil terancam tutup. Menurut Redma, ini mulai terjadi saat adanya China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) pada 2012. Cina telah menjadi global leader dan menguasai lebih dari 50% produksi tekstil dunia sejak 2014. Tidak heran Indonesia menjadi target pasar bagi produsen tekstil Cina.
Atas dasar mitra dagang, Cina adalah negara pengimpor terbesar perdagangan Indonesia. Pertambahan nilai perdagangan Indonesia-Cina telah mencapai US$130 miliar. Khusus di komoditas impor tekstil dan produk tekstil (TPT), berdasarkan data dari General Custom Administration of China pada 2022, ekspor TPT (HS 50-63) Cina ke Indonesia mencapai US$6,5 miliar. Sedangkan BPS mencatat angka impor TPT dari Cina hanya sebesar US$3,55 miliar. Artinya, ada sekitar US$3 milar yang masuk secara ilegal. Hal ini tentu menjadi kondisi yang berbahaya karena negara ini memaksakan terlibat dalam liberalisasi perdagangan, tetapi nyatanya dalam kondisi tidak siap untuk menghadapi segala tantangannya.
Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk melindungi industri lokal. Mulai dari pemberlakuan tarif impor hingga pemberian insentif bagi industri lokal. Namun, upaya tersebut tampaknya belum cukup efektif dan tidak menjadi solusi fundamental. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu mengembangkan strategi yang lebih komprehensif. Peningkatan kualitas produk lokal, inovasi dalam desain dan produksi, serta diversifikasi pasar adalah beberapa langkah yang bisa diambil. Selain itu, edukasi kepada konsumen mengenai pentingnya mendukung produk lokal juga perlu ditingkatkan.
Indonesia harus bisa melepaskan diri dari perdagangan bebas (liberalisasi) jika Indonesia mau mandiri dan maju. Karena perdagangan bebas itu buah dari kapitalisme yang menjadikan keuntungan sebagai dasar kerjasama, tanpa memandang kepentingan rakyat dan industri negara lain. Sejatinya itulah penjajahan gaya baru saat ini. Alhasil, solusinya tidak hanya pada tataran teknis, tetapi harus sampai pada level paradigma kebijakan, yaitu gambaran negara mandiri dan maju sebagaimana diharapkan rakyat negeri ini.
Butuh Pandangan Islam
Industri tekstil secara langsung menjadi kebutuhan dasar karena mencakup kebutuhan sandang masyarakat, mulai dari pakaian sehari-hari hingga pakaian khusus untuk berbagai aktivitas. Sehingga negara harus mampu menjaga kestabilan peluangnya di masa depan. Untuk itu negara butuh kekuatan dalam kemandirian industri dalam negeri, dalam hal ini tenaga kerja yang berkualitas dan pengelolaan SDA yang bijak.
Dalam perkara modal, Islam fokus pada pengelolaan sumber daya alam. Mereka mengeksploitasi dan mengelola berbagai sumber daya seperti tambang, hutan, dan lahan pertanian untuk mendukung kebutuhan industri. Misalnya, tambang di wilayah Persia dan Mesir dieksploitasi untuk mendapatkan logam seperti emas, perak, dan tembaga. SDA yang melimpah dan menjadi hajat hidup orang banyak dikelola oleh negara dan tidak boleh diswastanisasi apalagi diserahkan kepada pihak asing.
Inovasi dan teknologi memainkan peran penting dalam pengembangan industri di dunia Islam. Ilmuwan dan insinyur Muslim membuat banyak penemuan dan perbaikan dalam teknologi industri, termasuk dalam bidang metalurgi, tekstil, dan pertanian. Teknologi irigasi dan penggilingan air adalah beberapa contoh inovasi yang mendukung produksi industri.
Jaringan perdagangan yang luas mendukung pertumbuhan industri.
Jalur perdagangan yang melintasi Asia, Afrika, dan Eropa memungkinkan distribusi barang-barang industri secara efisien. Pelabuhan-pelabuhan besar seperti Basra, Baghdad, dan Alexandria menjadi pusat perdagangan yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan industri.
Negara Islam menjalin hubungan luar negeri dengan cermat dan mengutamakan kepentingan rakyat dan negara. Hubungan perdagangan luar negeri tetap akan mengutamakan perlindungan industri atau dunia usaha rakyat. Negara menjamin iklim usaha yang kondusif dan aman untuk rakyat.
Negara juga akan membuat kebijakan yang menjamin kesejahteraan rakyat sehingga memiliki daya beli tinggi dan edukasi. Hal itu dilakukan agar rakyat bijak dalam konsumsi. Dengan kombinasi pengelolaan sumber daya yang efisien, inovasi teknologi, dukungan pemerintah, dan jaringan perdagangan yang luas, negara nantinya mampu menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan industri.
Wallahu a’lam bishawab
Views: 4
Comment here