wacana-edukasi.com– Hujan lebat dan banjir yang terjadi di wilayah Jakarta dan sekitarnya berakibat munculnya korban jiwa. Sebanyak tiga orang siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) 19, Jakarta Selatan meninggal usai tembok sekolah mereka rubuh diterjang banjir. Banjir terjadi karena luapan air saluran penghubung Pinang Kalijati yang berada di belakang sekolah. Kejadian tersebut terjadi pada Kamis (6/10) pukul 14.50 WIB (Katadata.co.id, 7/10/22).
Ternyata Bukan hanya ibukota saja yang terkena bencana tapi kota-kota yang lainpun banyak yang mengalami hal yang sama. Seperti di wilayah Aceh Utara, Sabang, Lhokseumawe hingga Aceh Timur dilanda bencana banjir juga. Sementara itu, di pulau Jawa, banjir terjadi di banyak titik. Yang terbesar terjadi di Kabupaten Lebak, Pandeglang, dan Tangerang di Provinsi Banten. Banjir juga terjadi di Jawa Timur, Sukabumi, Bogor, dan Bandung. Selain itu juga di wilayah Bali, Maluku, Sulawesi, dan Papua juga tidak luput dari bencana banjir. Sementara di Kalimantan, banjir terjadi nyaris di seluruh wilayah.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa potensi cuaca ekstrem telah terjadi sejak 2 hingga 8 Oktober 2022. Namun, dinamika atmosfer ini diprediksi akan berlanjut hingga sepekan ke depan, yaitu mulai 9-15 Oktober 2022. Bahkan menurut Kepala BMKG, puncak cuaca ekstrem akan terjadi pada Desember nanti.
Faktor cuaca, seperti adanya fenomena La Nina, peningkatan suhu permukaan laut, perubahan pola angin, dan lain-lain sering disebut-sebut sebagai penyebab utama banjir. Dalam hal ini, intensitas hujan yang tinggi, durasi lama, dan frekuensi yang sering berpeluang besar menimbulkan bencana.
Masalahnya, bencana banjir ini bukan perkara baru. Nyaris setiap musim penghujan bencana banjir pasti jadi langganan. Risiko ekonomi dan sosial yang ditimbulkan pun sudah tidak terhitung lagi. Sementara masyarakat dipaksa menerima keadaan, dengan dalih semua terjadi lantaran faktor alam.
Kalau kita perhatikan, penyebab banjir tidak semata faktor alam saja. Ada banyak hal yang harus dievaluasi dari perilaku manusia, utamanya terkait budaya dan kebijakan struktural dalam pembangunan. Begitupun dengan dampak yang ditimbulkan. Seringkali negara gagap melakukan mitigasi bencana sehingga berbagai dampak tidak terantisipasi dengan baik.
Para penguasa sejauh ini malah sibuk berpolemik saat bencana sudah terjadi. Bukannya mencari solusi, masing-masing sibuk mencari kambing hitam, bahkan menjadikannya sebagai bahan untuk saling serang. Wajar jika persoalan banjir ini tidak pernah terelesaikan.
Sejatinya bencana banjir itu bersifat sistemis. Dan harusnya diberi solusi sistemis. Faktor cuaca ekstrem misalnya, berhubungan dengan perubahan iklim yang dipicu perilaku manusia yang kian semena-mena terhadap alam. Termasuk akibat kebijakan pembangunan kapitalistik yang eksploitatif dan tidak memperhatikan aspek daya dukung lingkungan.
Curah hujan yang tinggi tidak akan jadi masalah jika hutan-hutan tidak ditebangi, tanah resapan tidak dibetoni, daerah aliran sungai tidak mengalami abrasi, dan sistem drainase dibuat terintegrasi.
Bukankah Allah SWT telah menciptakan sistem hidup yang penuh keseimbangan dan harmoni? Kehadiran hujan pun sejatinya mendatangkan rahmat, bukan menjadi laknat.
Meluasnya bencana banjir justru menunjukkan gurita kapitalisme makin mencengkeram. Eksploitasi lahan tambang, alih fungsi lahan faktanya memang kian tidak terkendali. Permukaan tanah pun makin turun akibat konsumsi air tanah untuk penunjang fasilitas hunian-hunian elit dan industrialisasi. Begitu pun dengan sungai. Volumenya makin menyempit akibat melimpahnya produksi sampah dampak hunian di bantaran kali.
Mirisnya, semua terjadi di hadapan mata para penguasa. Bahkan, sebagian besarnya terjadi secara legal atas nama pembangunan yang abai terhadap tata ruang dan tata wilayah.
Hal ini karena negara dan para penguasa lebih mengutamakan kepentingan para pengusaha. Bagi mereka, keuntungan materi adalah segalanya, maka soal kelestarian alam dan keberlangsungan kehidupan di masa depan mereka abaikan.
Kalaupun mitigasi bencana dilakukan, tampak semuanya sekadar upaya cuci tangan. Artinya, tidak benar-benar berusaha menyentuh akar persoalan. Terlebih soal mitigasi, tentunya butuh dana besar. Padahal semuanya masih menjadi problem besar bagi negara yang sudah tenggelam dalam utang. Sementara para kapitalis, pasti punya hitung-hitungan.
Hal seperti itu tidak akan terjadi dalam sistem Islam karena pandangan sistem Islam sangat bertentangan dengan sistem kapitalisme yang diterapkan sekarang. Dalam sistem kapitalisme, kebijakan penguasa yang merepresentasi kepentingan para pemilik modal justru jadi sumber kerusakan, sementara sistem Islam lahir dari keimanan dan ketundukan pada Zat Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam.
Ajaran Islam benar-benar mengajarkan harmoni dan keseimbangan. Adab terhadap alam bahkan dinilai sebagai bagian dari iman. Fungsi kekhalifahan adalah refleksi dari fungsi penghambaan, maka siapa pun yang melakukan kerusakan terhadap keseimbangan alam dianggap sebagai pelaku kejahatan dan dinilai sebagai bentuk kemaksiatan.
Penguasa dalam Islam betul-betul berperan sebagai pengurus dan penjaga umat. Semuanya bisa berjalan saat syariat Islam diterapkan secara keseluruhan. Syariat inilah yang mengatur halal haram, alias yang boleh dan terlarang hingga kerahmatan bisa dirasakan oleh seluruh alam.
Ummu Fathim,
Sedayu, DIY.
Views: 25
Comment here