Oleh Endang Seruni (Muslimah Peduli Generasi)
Melakukan impor saat produksi mencukupi atau pada saat panen raya justru membahayakan dan menghancurkan ekonomi petani.
Wacana-edukasi.com — Cabai adalah hasil pertanian yang digunakan sebagai bumbu masakan. Terutama bagi para ibu, keberadaan cabai penting untuk menambah cita rasa masakan mereka. Akhir-akhir ini harga cabai turun drastis dari biasanya yang relatif stabil.
Bagi ibu- ibu rumah tangga merupakan keuntungan tersendiri. Karena bisa membagi uang belanja untuk kebutuhan yang lain. Apalagi di masa pandemi, berkurangnya pemasukan tetapi kebutuhan harus tetap terpenuhi.
Anjloknya harga cabai bagi petani menjadi permasalahan tersendiri. Seperti yang terjadi di Kulonprogo Yogyakarta. Harga cabai merah keriting berkisar antara Rp2500- Rp3000 per kilogram. Para petani memilih membakar tanaman cabainya. Atau ada yang membagi-bagikan cabai secara cuma-cuma kepada warga yang membutuhkan.
Harga cabai yang anjlok tidak seimbang dengan biaya produksi. Harga jual di tingkat petani ini jauh di bawah BEP (Break Even Point). Atau titik imbas biaya produksi. Yang idealnya diatas Rp 10.000 per kilogram (detikNews,24/8/2021).
Peneliti Pusat Study Ekonomi Kerakyatan Yogyakarta Hempri Suyatna mengatakan anjloknya harga cabai di tingkat petani karena adanya impor cabai. Dan kebijakan ini diambil pemerintah saat pandemi. Jika impor besar-besaran dilakukan panen produk lokal terganggu. Antara Januari sampai Juni Indonesia melakukan Impor Cabai mencapai 27.851,98 ton. Atau senilai Rp 8,58 triliun. Dan India adalah negara pemasok paling besar (Yogya Ayo Indonesia.com,25/8/2021).
Rentetan permasalahan terus menghantui petani. Ketika awal bertanam para petani berharap saat panen raya tiba keuntungan pun dapat dinikmati. Namun harapan tak menjadi kenyataan. Panen raya membuat pasokan cabai di dalam negeri melimpah. Ditambah kebijakan impor yang diambil pemerintah membuat harga cabai hasil panen petani jelas mengalami penurunan harga. Pandemi yang melanda negeri juga belum usai menjadi permasalahan tersendiri yang juga memerlukan solusi.
Inilah landasan sistem ekonomi kapitalisme. Untuk mengatasi kelangkaan barang dan jasa dengan meningkatkan jumlah produksi. Salah satunya untuk menjaga kestabilan produksi dengan aktivitas impor. Inilah kebijakan yang tidak memihak rakyat. Melakukan impor saat produksi mencukupi atau pada saat panen raya justru membahayakan dan menghancurkan ekonomi petani.
Ketika produk impor membanjiri pasar dengan harga yang lebih murah justru mematikan produk lokal. Disaat produk lokal tak laku akan mematikan perekonomian para petani. Sementara para importir lah yang meraup keuntungan yang besar. Akibatnya mereka mendikte harga barang semaunya, demi keuntungan yang diperoleh.
Ironisnya permasalahan seperti ini terus terjadi dan berulang. Tata kelola dan manajemen informasi data tidak sesuai dengan fakta. Sehingga kebijakan yang diambil berimbas kepada kondisi rakyat. Dengan anjloknya harga capai di tingkat petani jelas petani mengalami kerugian.
Kesulitan petani kian menjadi, saat proses produksi mengalami banyak kendala. Dari pupuk yang mahal dan langkanya di pasaran. Terkadang petani terpaksa menggunakan pupuk nonsubsidi yang jelas harganya lebih mahal. Karena pupuk subsidi tidak ditemui. Kalaupun ada jumlahnya sedikit. Sehingga, tidak semua petani mendapatkannya.
Dalam Islam pemerintah sejatinya adalah pengayom bagi umat. Penguasa meriayah rakyat dengan memastikan kebutuhan rakyatnya terpenuhi dengan baik. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw,” Imam (Khalifah) adalah raa’in( pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya”(HR. Al Bukhori).
Dalam menjalankan pemerintahanya penguasa dalam sistem Islam merupakan pelaksana hukum syariat Islam. Yang berasal dari sang Khaliq yaitu Allah SWT. Kehati-hatian penguasa Islam dalam menjalankan amanah yang dibebankan oleh rakyat, sehingga akan terwujud kesejahteraan serta keadilan di tengah masyarakat.
Demikian pun setiap kebijakan yang diambil bertujuan untuk kemaslahatan rakyat. Bukan demi sebuah kepentingan pihak tertentu.
Dalam sistem Islam ketika kondisi menuntut pemenuhan atas barang tertentu karena kelangkaan maka akan memenuhinya dengan impor. Akan tetapi kebijakan impor ini diambil dengan mengimpor produk negara kafir yang tidak memusuhi Islam (harbi fi’lan). Sehingga dapat dihindari penjajahan di bidang ekonomi. Impo dilakukan jika ada suatu kebutuhan dalam negeri yang memerlukan pemenuhan. Kebijakan impor hanya berlangsung sampai kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan dianggap cukup.
Jadi impor tidak menjadi rutinitas, tanpa melihat kondisi yang terjadi di dalam negeri. Seperti barang di dalam negeri jumlahnya melimpah.
Sistem Islam juga menjadikan negara mandiri dengan melakukan swasembada pangan. Dengan demikian pangan dalam negeri tercukupi sehingga tidak membutuhkan produk luar negeri.
Negara dalam sistem Islam merupakan negara yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Banyak dari negara lain yang melakukan kerjasama berupa hubungan dagang. Dan inilah dakwah yang dilakukan oleh penguasa dalam sistem Islam yang mampu merangkul negara lain untuk bergabung dalam daulah Islam
Pada kondisi saat ini untuk berharap kepada penguasa yang sepenuh hati mensejahterakan rakyatnya, tidak kita temukan. Apalagi dalam sistem demokrasi kapitalisme yang diadopsi negeri ini. Karena arah kebijakannya penuh dengan perhitungan azas manfaat.
Jika kebijakan impor terus digulirkan sementara produk dalam negeri melimpah bukan tidak mungkin rakyatlah yang kembali menjadi korban. Para petani yang berharap untung dari hasil panennya, berbeda kenyataannya. Kondisi ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah. Sehingga permasalahan yang serupa tidak kembali terjadi.
Untuk itu kembali kepada sistem Islam, yang bersumber dari Allah SWT. Yang akan membawa kesejahteraan dan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
Waallahu’alam bishawab.
Views: 6
Comment here