Opini

Banjir Kalsel: Benarkah karena Hujan?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Musdalifah (Mahasiswa)

Wacana-edukasi.com— Awal tahun 2021 rupanya menjadi tahun yang memilukan. Bagaimana tidak, belum genap sebulan sudah silih berganti musibah yang melanda bumi pertiwi.

Sejumlah daerah di Kalimantan Selatan (Kalsel) sudah beberapa hari terakhir terendam banjir. Banjir bandang yang terjadi di Kalimantan Selatan di tahun 2021 menjadi banjir yang lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya. Hal ini seperti di sampaikan oleh Staf Advokasi dan Kampanye Lingkungan Hidup(Walhi) Kalsel, M. Jefri Raharja.
“Iya, lebih parah dari 2020 kemarin. Hari ini terutama,” (kompas.com, kamis 14/1/2021)

Bencana alam seperti banjir tentulah tak luput dari campur tangan manusia. Ditambah lagi kondisi alam dan lingkungan sekitar

Logikanya kurang tepat mengatakan banjir yang terjadi hanya karena hujan deras yang merata kurang lebih 10 hari terakhir. Hal ini pasti disebabkan oleh beberapa faktor. Jika melihat fakta pulau Kalimantan yang disebut sebagai paru-paru dunia sekarang telah berubah menjadi perkebunan sawit dan lubang-lubang sisa pertambangan.

Banjir terjadi ketika neraca air permukaan positif. Neraca air ditentukan empat faktor: curah hujan, air limpahan dari wilayah sekitar, air yang diserap tanah dan ditampung oleh penampung air dan air yang dapat dibuang atau dilimpahkan keluar

Pembukaan lahan yang terjadi secara terus menerus sejak beberapa tahun tentunya ikut menjadi penyebab banjir secara tidak langsung mengubah kondisi sekitar.

“Antara 2009 sampai 2011 terjadi peningkatan luas perkebunan sebesar 14 persen dan terus meningkat di tahun berikutnya sebesar 72 persen dalam 5 tahun,” ungkap Jefri saat dihubungi kompas.com, Kamis ( 14/1/2021).

Laporan tahun 2020 saja sudah terdapat 814 lubang tambang milik 157 perusahaan batu bara yang masih aktif bahkan ditimpal tanpa reklamasi, belum lagi perkebunan kelapa sawit yang mengurangi daya serap tanah (suara.com Jumat 15/1/2021).

Tokoh Nahdatul Ulama (NU) Umar Syadat Hasibuan (Gus Umar) juga ikut berkomentar dalam menanggapi bencana banjir besar yang terjadi di Kalsel. Gus Umar dalam akun twitternya menanggapi cuitan Greenpeace Indonesia

“Lalu PT Adaro milik keluarga Erick Thohir(Menteri BUMN) yang memiliki konsesi tembang batubara 31.380 hektar juga dapat perpanjangan izin.”

“Tak hanya mengatur perpanjangan izin, UU Minerba juga mengatur fleksibilitas perluasan lahan dengan persetujuan Menteri,” tulis akun @GreenpeaceID sebagaimana dikutip PikiranRakyat-Tasikmalaya.com, Selasa 19 Januari 2020.

UU Minerba dan UU Cipta Kerja telah memberikan kontribusi pada bencana banjir yang terjadi bukan hanya sekarang bahkan akan terus berlangsung lebih parah. Miris, UU yang sudah mendapatkan banyak penolakan dari masyarakat nyatanya tetap di sahkan di tengah pandemi. Hal ini tentu demi menyelamatkan industri tambang barubara milik pengusaha.

Lalu kepada siapakah pemangku kebijakan berpihak? Dan mengapa justru pemangku kebijakan juga ikut andil dalam keuntungan yang mengesampingkan keselamatan rakyat?

Berbagai bencana yang bermula dari kebijakan yang zalim. Mengabaikan kesejahteraan rakyat tetapi malah menguntungkan pengusaha. Tentulah tak lepas dari sistem kapitalisme yang rusak. Dimana pemilik modal yang memiliki kekuatan paling besar meskipun jumlahnya hanya sedikit tetapi nyatanya mampu menguasai 70 persen kekayaan di Indonesia.

Berlindung di balik kata demokrasi yang katanya dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat, ternyata hanya isapan jempol belaka. Biaya kampanye yang selangit, berdampak pada terjadinya kongkalikong antara pengusaha dan penguasa. Pemilik modal yaitu pengusaha akan memberikan modal kampanye kepada calon penguasa untuk memuluskan jalan menuju parlemen. Maka tak heran sebagai balas budi penguasa pun memberikan berbagai kemudahan melalui kebijakan untuk menguntungkan pengusaha sebagai pemilik modal.

Terlihat dari mudahnya UU disahkan, meski di masa pandemi masih begitu banyak problem yang seharusnya diselesaikan.
Peran rakyat hanya dibutuhkan di masa pemilihan lalu kemudian tak didengarkan aspirasinya. Begitulah kejamnya sistem kapitalisme yang hanya menguntungkan para pemilik modal. Memang ironis sebab ini adalah permasalahan sistemik, meskipun telah berganti figur tapi permasalahan ini akan terus berputar. Seperti mobil yang rusak, siapa pun supir yang mengendarainya tentu tidak akan mampu menjalankannya sebagai kendaraan.
Adapun berbagai praktik yang menyebabkan kerusakan lingkungan adalah bentuk kemaksiatan. Hal ini karena asas kapitalisme adalah sekularisme yang artinya pemisahan agama dari kehidupan. Pandangan seperti ini tak bisa dijadikan pedoman sebab Islam adalah agama yang mengurusi urusan ibadah ritual dan kehidupan sehari-hari termasuk kepada alam semesta. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Ar rum ayat 41 yang artinya:

“Telah nyata kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia, supaya Allah menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan Allah Swt.”

Sudah saatnya berpaling dari sistem kapitalisme. Mengganti sistem ini dengan sistem yang benar-benar memberikan keadilan dan kesejahteraan. Sistem yang berasal dari Sang Khalik, yang telah menciptakan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Bertugas menjaga dan mengurusi alam semesta bukan malah merusaknya.

Wallahua’lam

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 19

Comment here