Oleh: Mahrita Julia Hapsari (Praktisi Pendidikan)
Wacana-edukasi.com — Kalimantan Selatan berduka. Tiga kabupaten diterjang banjir bandang. Sepuluh kabupaten yang lain terkena imbasnya dengan air yang juga melimpah alias banjir. Tiga kabupaten tersebut yaitu Kabupaten Banjar, Pelaihari dan Hulu Sungai Tengah. Banjir menyapu bersih rumah warga, fasilitas umum, hingga memutuskan jalan dan jembatan.
Banjir mulai menggenang sejak tanggal 14 Januari 2021. Hingga tanggal 18 Januari 2021, di sejumlah daerah masih tergenang air dengan ketinggian yang berbeda-beda. Di Hulu Sungai Tengah, banjir sudah mulai surut, bahkan kering. Airnya turun ke Hulu Sungai Selatan dan terus turun hingga ke Banjarmasin, ibu kota Kalsel.
Di beberapa daerah memang langganan banjir. Sehingga, rata-rata memiliki rumah yang tinggi dan bersedia perahu untuk alat transportasi. Agenda rutin banjir ini terjadi sejak tahun 1997, sebelumnya tak pernah terjadi banjir.
Di Banjarmasin yang di bawah permukaan laut, hujan sebentar pun bisa menggenangi beberapa wilayah. Atau air pasang pun bisa menyebabkan banjir. Apalagi jika hujan, air pasang, dan kiriman air dari hulu terjadi dalam satu waktu seperti saat ini, masyarakat Banjarmasin akan menderita dengan air yang tergenang. Andai ketinggiannya hanya sebatas mata kaki, mungkin tak merepotkan. Saat ini, ketinggian air tergenang di Banjarmasin rata-rata selutut hingga sepaha orang dewasa.
Sungguh, banjir ini menjadi nestapa bagi masyarakat Kalsel. Petaka yang berulang ini membuat tanya di benak: sampai kapan?
Untuk menjawab hal tersebut, ada baiknya merujuk kepada Al-Qur’an. Karena Al-Qur’an adalah kitab yang tak ada keraguan di dalamnya, bagi orang yang bertakwa.
Dalam surah Yasin ayat 19, Allah Swt. akan menurunkan kemalangan atas perbuatan yang melampaui batas. Dalam surah Al-Qasas ayat 59, Allah Swt. akan membinasakan sebuah kota jika mereka berbuat kezaliman. Dalam surah Ar-Ruum ayat 41, Allah Swt. akan memberikan akibat kerusakan yang dilakukan oleh manusia. Dalam surah Al-Isra ayat 16, Allah Swt. akan membinasakan suatu negeri ketika para elite kekuasaan berlaku zalim.
Dalam surah Al-Ahzab ayat 25, Allah Swt. akan mendatangkan azab yang tidak hanya menimpa orang zalim. Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah akan menyiksa masyarakat umum karena perbuatan orang-orang tertentu hingga masyarakat umum melihat kemungkaran di hadapan mereka, sedang mereka mampu mengingkarinya, tetapi mereka tidak mengingkarinya. Jika mereka berbuat demikian maka Allah akan menyiksa masyarakat umum dan orang-orang tertentu itu.” (HR. Ahmad dan Ath-Thabrani)
Berdasarkan ayat dan hadis di atas, datangnya bencana ternyata dipicu oleh perbuatan manusia sendiri. Berbuat yang melampaui batas, kerusakan, maksiat, zalim, dan meninggalkan amar makruf nahi mungkar akan mengundang malapetaka, siksa, dan azab Allah Swt.
Negeri yang mayoritas muslim ini setiap hari diwarnai dengan berita kriminal. Ada penipuan, pencurian, pemerkosaan, hingga pembunuhan. Ada anak yang melaporkan ibunya hingga sang ibu dipenjara. Ada istri yang melaporkan suaminya. Ada pula pelaku riba dan zina pun telah terang-terangan. Padahal Rasulullah saw. bersabda: “Jika zina dan riba sudah menyebar di suatu kampung maka sesungguhnya mereka telah menghalalkan azab Allah atas diri mereka sendiri.” (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani)
Itu skala individu. Adapun skala masyarakat, ada pembiaran terhadap pelaku kemaksiatan. Khawatir tersinggung atau takut mengganggu. Atau menganggap urusan orang lain itu bukan urusannya. Membiarkan orang lain berbuat semaunya selama tak menggangu kehidupannya.
Di tataran negara, inilah kemaksiatan terbesar yang mengundang azab Allah. Sistem ekonomi kapitalisme telah melegalkan kepemilikan swasta, individu, dan korporasi pada sektor publik. Gunung, hutan, sungai, pantai, laut, dijual kepada para kapital untuk mereka jadikan lumbung kekayaan pribadi. Rusak hutan di gunung akibat tambang dan perkebunan sawit. Mati aliran sungai akibat pengembangan perumahan.
Akhirnya, jika hujan turun maka tak ada lagi yang mampu menahan. Karena pohon-pohon di gunung telah ditebang untuk membuka lahan. Air dari gunung yang seharusnya mengalir ke sungai menjadi tergenang di pemukiman. Karena sungainya telah berubah menjadi perumahan. Padahal hujan yang turun adalah rahmat, bukan menjadi bencana.
Negara juga mengambil demokrasi dalam sistem pemerintahan. Asas sekularisme, memisahkan agama dengan kehidupan, telah menjadikan para penguasa seperti Tuhan baru. Dengan asas ini, para penguasa membuat aturan hidup sendiri. Padahal manusia lemah dan terbatas dalam menjangkau hakikat. Sehingga, aturan yang dihasilkan hanya akan melahirkan ketidakadilan.
Inilah muara kezaliman, pangkal dari maksiat individu dan masyarakat. Pilar-pilar kebebasan dalam demokrasi kapitalisme menjadikan manusia tak ubahnya binatang yang hidup untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan hawa nafsu.
Ada individu dan kelompok yang melakukan amar makruf nahi mungkar, justru ditangkap dan dibubarkan. Dicap radikal, teroris, ekstremisme oleh negara. Semakin merajalela kezaliman penguasa dan kroni-kroninya. Semakin rakus dengan pengerukan SDA yang berimbas pada kerusakan lingkungan. Akhirnya, banjir di musim hujan dan kebakaran di musim panas menjadi agenda rutin yang tak mampu dihentikan.
Untuk mengakhiri nestapa ini, wajib bagi kita kembali pada syariat Allah. Dan meninggalkan sistem demokrasi kapitalisme. Sistem islam kaffah akan mengembalikan hak Allah sebagai Pengatur alam semesta dan menempatkan manusia pada derajat semestinya yaitu sebagai hamba Allah. Ketaatan manusia di sistem Islam akan mengundang keberkahan Allah Swt. dari langit dan bumi. Sebagaimana janji Allah Swt. dalam surah Al-A’raf ayat 96.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 1
Comment here