Oleh: Sumariya (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com, OPINI— Produk manufaktur Cina terus menggempur pasar domestik RI. Belakangan yang mencuat diantaranya tekstil hingga keramik. Ada kekhawatiran industri RI tidak sanggup dengan gempuran tersebut dan akhirnya keok. Apalagi impor barang murah dari Cina sudah lama terjadi dan Cina terus melakukan inovasi dan penetrasi pasar Indonesia melalui penguatan efisiensi dan skala ekonomi, sehingga biaya rata-rata yang rendah menyebabkan komoditi mereka semakin kompetitif.
Ekonom Universitas Brawijaya Wildan Syafitri berpendapat, bahwa perubahan selera pasar yang cepat serta potensi pasar di masa mendatang bisa diadaptasi dengan baik oleh manufaktur Cina dan didukung oleh infrastruktur yang baik dan kemudahan investasi. Jika kondisi ini berlangsung terus, maka lambat laun akan mematikan industri dalam negeri. Menurutnya, industri dalam negeri perlu lebih baik beradaptasi dengan tren permintaan pasar dan regulasi pemerintah perlu menjaga industri dalam negeri dari serangan impor ini. Sebagai salah satu mitra dagang utama Indonesia, kinerja ekspor-impor Tiongkok tentu saja akan mempengaruhi kinerja perdagangan internasional Indonesia.
Saat ini over capacity Cina telah berdampak pada banjirnya produk Cina ke Indonesia, namun, di sisi lain kinerja impor Cina yang turun membuat permintaan komunitas dari negara mitra dagang termasuk Indonesia juga akan merosot. Kondisi ini membuat RI kebanjiran produk murah Cina sehingga menekan daya saing produk lokal termasuk UMKM. Imbasnya PHK hingga ancaman penutupan pabrik Indonesia semakin besar, (CNBCIndonesia.com, 15/7/2024).
Situasi industri manufaktur hari ini, sejatinya merupakan buah dari kerjasama dagang yang disepakati oleh Indonesia dengan Cina yang dikenal dengan China Asean Free Trade Area (CAFTA) pada 2012. Perjanjian CAFTA sedari awal sudah dicurigai sebagai perjanjian yang hanya akan menguntungkan satu pihak, yaitu negara Cina. Hari ini benar-benar terbukti dengan membanjirnya produk Cina dan menurunnya impor Cina yang diterima dari negara-negara ASEAN termasuk Indonesia.
Perjanjian perdagangan seperti CAFTA ini sebenarnya merupakan produk liberalisasi perdagangan sistem ekonomi kapitalisme. Liberalisasi perdagangan berdampak pada matinya industri dalam negeri, ketika kondisi negara yang bersangkutan tidak siap untuk menghadapi segala tantangan pasar bebas. Sementara produk Cina mendapatkan support besar dari negaranya dalam perindustrian manufaktur sehingga biaya produksi bisa diminimalisir. Kondisi ini juga menggambarkan bahwa negeri ini tidak memiliki kemandirian industri manufaktur sehingga harus bergantung pada negara lain, padahal ketergantungan kebutuhan pasar dalam negeri terhadap negara lain hanya akan membuka peluang penjajahan ekonomi di negeri ini. Alhasil, negara Indonesia hanya menjadi pengekor.
Negara yang menerapkan sistem kapitalisme dan hanya bertindak sebagai regulator sehingga enggan mengembangkan industri mandiri yang bisa menyelamatkan industri dalam negeri, mencegah fenomena PHK sekaligus menyejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, negara ini justru condong pada kepentingan para kapital asing maupun aseng dengan membuka kerja sama perdagangan bebas.
Sangat berbeda dengan penerapan aturan Islam Kaffah di bawah institusi negara Khilafah. Sebagai negara Islam, Khilafah menjamin hubungan luar negeri dengan cermat dan mengutamakan kepentingan rakyat dan negara, sebab negara adalah raa’in (pengurus umat) sehingga tanggung jawab kesejahteraan rakyat ada di tangan negara (Khalifah). Negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya, individu per individu. Hal ini mewajibkan negara membangun industri manufaktur secara mandiri tanpa bergantung pada negara lain untuk memudahkan rakyat memenuhi kebutuhan asasinya.
Namun, perlu dipahami bahwa industri manufaktur dalam Khilafah dibangun di atas asas politik perang. Khilafah mengedepankan dua jenis industri yang membuatnya menjadi negara mandiri dan berdikari, yakni industri berat dan industri terkait pengelolaan harta milik umum. Industri berat ialah industri yang memproduksi mesin atau alat persenjataan. Sedangkan industri pengelolaan harta milik umum, seperti pengolahan minyak bumi, batu-bara barang tambang, dan mineral serta apa saja yang menjadi harta milik rakyat.
Dengan asas politik perang ini, menjadikan semua pabrik dalam Khilafah, baik yang menghasilkan industri berat atau menghasilkan industri ringan harus memudahkan pengalihan produksinya ke produksi perang, kapan saja negara memerlukan hal itu selesai atau dengan kata lain semua pabrik di dalam Khilafah harus memungkinkan roda produksinya dapat dengan mudah dialihkan untuk menghasilkan produk-produk yang berkaitan dengan aspek militer yang tidak diproduksinya dalam kondisi normal, maka pabrik kendaraan sipil, pabrik tekstil, dan pakaian, pabrik makanan, dan minuman, pabrik obat-obatan, dan lain-lain, harus dibangun dengan sedemikian rupa yang memungkinkan dari aspek teknis maupun praktis bisa dialihkan roda produksinya dengan mudah untuk keperluan militer.
Jika keperluan militer saja bisa dipenuhi oleh negara dengan industri manufakturnya, apalagi kebutuhan rakyat sehari-hari. Negara Khilafah tidak akan bergantung pada negara lain dalam memenuhi kebutuhan dan kemaslahatan rakyatnya. Negara wajib menerapkan hukum perdagangan luar negeri menurut Islam sehingga jika negara harus mengadakan hubungan perdagangan luar negeri, negara tetap akan mengutamakan perlindungan industri atau dunia usaha rakyat.
Negara menjamin iklim usaha yang kondusif dan aman untuk rakyat. Hal ini tentu akan meningkatkan daya beli masyarakat ditambah lagi ada kebijakan edukasi dari negara terkait pola konsumsi yang benar menurut Islam sehingga masyarakat bijak dalam konsumsi. Demikianlah politik industri yang berjalan dalam Khilafah akan mampu mewujudkan negara mandiri dan menyejahterakan rakyatnya.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 16
Comment here