Oleh: Suniangsih
Wacana-edukasi.com, OPINI– Setiap kali musim hujan datang, wilayah Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, senantiasa menjadi langganan banjir. Hal ini seakan menjadi musibah tahunan, dan menjadi bencana alam yang dianggap biasa oleh pemerintah maupun masyarakat setempat.
Alasan klise terjadinya banjir yang selalu disebut-sebut pemerintah daerah adalah akibat curah hujan yang tinggi dan sungai Citarum yang meluap. Demikian pula yang diungkapkan oleh Kepala Pelaksana BPBD Kabupaten Bandung Uka Suska Utama seperti dilansir oleh detikJabar.com, Kamis, 21/11/2024. Menurutnya banjir di wilayah Dayeuhkolot disebabkan oleh air kiriman dari Sungai Cikapundung dan dari atas wilayah kota Bandung.
Sejatinya telah diketahui oleh seluruh masyarakat bersama, bahwa dampak dari banjir tentu saja sangat merugikan. Selain banyak infrastruktur yang menjadi rusak, banjir juga berdampak kepada ekonomi masyarakat sekitar daerah Dayeuhkolot yang terkena banjir, mengakibatkan tidak dapatnya para pedagang mencari penghasilan. Sebab, banjir telah menyebabkan toko-toko dan pedagang yang biasa berjualan di jalan menjadi tidak bisa berjualan. Banyak masyarakat pedagang yang mengaku ingin agar pemerintah bisa mengurus kasus permasalahan banjir ini hingga tuntas.
Selain berdampak kepada masyarakat sekitar, banjir juga berdampak kepada pengguna jalan raya, yang tentu saja mengakibatkan akses transportasi menjadi terhambat. Mobil angkutan umum (angkot) yang biasa melewati daerah Dayeuhkolot menjadi kesulitan melewati daerah tersebut setiap kali banjir terjadi. Hampir setiap warga harus mengeluarkan biaya lebih besar untuk menyewa perahu atau delman agar bisa melintasi wilayah Dayeuhkolot.
Banjir ini bukan hanya sekedar fenomena alam melainkan juga merupakan hasil interaksi yang kompleks antara faktor alam dan manusia. Daerah Dayeuhkolot memang terletak secara geografis pada bagian dataran yang paling rendah dan Dayeuhkolot menjadi muara sungai-sungai dari daerah lain yang lebih tinggi, sehingga daerah Dayeuhkolot menjadi rawan banjir.
Namun selain karena letak geografisnya yang seperti ini, penyebab utama banjir ini sendiri adalah tata kelola kota yang padat penduduk, pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran, serta tidak adanya tanah serapan. Belum lagi dari daerah hulu yang lebih tinggi itu sendiri, terutama di daerah Gunung Puntang, Pangalengan, dan Ciwidey, cukup banyak area yang sudah mengalami perubahan menjadi kawasan wisata.
Pembangunan perumahan pun cukup banyak dilakukan di daerah-daerah tinggi lainnya seperti Arjasari, Baros dan sekitarnya. Lalu imbas dari hal tersebut pun berdampak pada banyaknya lahan perkebunan yang dibabat menjadi perumahan. Sehingga ketika curah hujan tinggi, dataran tinggi ini tidak lagi memiliki kemampuan untuk menahan air, dan air langsung melaju ke hilir tanpa adanya serapan dari pepohonan terlebih dahulu.
Sebagai solusinya, pemerintah menyatakan telah membuat kolam retensi di wilayah Baleendah dan Dayeuhkolot, serta juga telah menyiapkan pompa air di berbagai lokasi. Namun demikian, apabila kita cermati lebih mendalam, untuk menyelesaikan persoalan banjir tahunan ini seharusnya pemerintah mempertimbangkan untuk memperbaiki tata kelola dari hulu sampai hilir. Bukan hanya mengurus dihilir saja dan hanya dengan upaya-upaya teknis dan praktis saja.
Di sinilah letak kesalahan kepengurusan penguasa. Seharusnya pemerintah lebih serius dalam mengurus keseluruhan masalah banjir ini, karena pemerintah memiliki wewenang mengeluarkan kebijakan. Diantaranya pemerintah bisa membuat kebijakan pengelolaan lingkungan dan juga menerapkan kebijakan dalam melaksanakan pembangunan infrastruktur, yakni tidak boleh terus menerus mengekploitasi alam secara masif. Selain itu juga tidak memberikan izin konsensi lahan.
Sayangnya pemerintahan yang saat ini menguasai negara ini, berada dalam asas sekulerisme yang menempatkan penguasa hanya sebagai regulator dan fasilitator. Dengan demikian secara otomatis penguasa akan memilah dan memilih permasalahan yang harus diurusnya, karena melihat keuntungan dari investor. Secara otomatis penguasa akan lebih berpihak kepada pengusaha. Tanpa mempedulikan jika akibatnya adalah kerusakan alam dan meruginya rakyat yang harus menanggung akibatnya. Demi keuntungan semata, rakyat telah menjadi buntung.
Seharusnya para pemimpin wajib untuk mengingat bahwa pemimpin yang tidak melayani rakyat akan kehilangan kepercayaan rakyat.
Hakikatnya hanya dalam sistem islamlah akan muncul kepemimpinan terpercaya yang mampu diandalkan dalam kepengurusan rakyatnya. Karena aqidah Islam telah menjadikan paradigma pemimpin adalah pengurus (raa’in) sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
“Imam /Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurus” (HR Muslim dan Ahmad).
Maka jika ada proyek pembangunan atau tata kelola lahan yang berdampak pada kerusakan lingkungan atau malah mengalihfungsikan lahan maka hal yang seperti ini tidak akan diperbolehkan dalam sistem Islam. Sebab, Islam memandang pembangunan memiliki tujuan untuk urusan umat dalam visi penghambaan kepada Allah. Bukan menguntungkan ekonomi semata, dan pemerintahnya pun terikat dalam penerapan syariat Islam.
Begitupun masyarakat negara Islam, tidak akan berani melakukan pelanggaran syariat semisal membuang sampah ke sungai atau mengambil lahan yang berada di pinggir sungai, karena telah memiliki pemahaman bahwa setiap amal perbuatan yang dilakukannya akan dihisab kelak diyaumul akhir. Ini adalah bentuk keimanan yang membuat masyarakat tidak akan berani berbuat dzolim sekecil apapun.
Maka, sepatutnya kita sebagai masyarakat muslim menyadari bahwa solusi dari banjir langganan ini adalah segera menerapkan aturan Allah dalam kehidupan, termasuk dalam kebijakan bernegara. Karena dengan penerapan Islam kaffah sejatinya akan membuahkan keberkahan bukan saja untuk masyarakat wilayah Dayeuhkolot namun juga akan menjadi rahmatan ‘lil alamin baldatun thoyyibatun ghofur sebagaimana firman Allah Taala :
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS Al-A’raf [7]: 96).
Views: 3
Comment here