Opini

Banyak Jalan Rusak, di Mana Negara?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Erdiya Indrarini (Pemerhati Publik)

wacana-edukasi.com, OPINI– Betapa timpang. Infrastruktur jalan tol dibangun di berbagai tempat. Namun kemacetan masih marak. Bahkan banyak jalan umum yang rusak. Menjadi pertanyaan di benak, jalur jalan tol dan kereta api cepat yang selama ini dibangun, untuk siapa?

Dilansir dari cnnindonesia.com (5/5/2023), pemuda asal Lampung bernama Bima Yudho Saputro mendadak viral. Hal ini karena kritikannya terhadap pemerintah setempat, bahwa Lampung tak kunjung maju karena banyak jalan yang rusak. Ia menyampaikannya melalui akun TikTok pribadinya. Bukannya pemerintah berbenah memperbaiki, Bima malah dilaporkan ke polisi. Namun, Polda Lampung Tidak melanjutkan penyelidikan karena tidak ditemukan unsur pidana.

Viral-nya kasus Bima didengar pemerintah pusat. Pemerintah pusat akhirnya mengambil alih untuk memperbaiki jalan tersebut. Juru bicara Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Endra S. Admawijaya mengatakan bahwa negara menyediakan Rp625 miliar dari APBN. Dana itu sedianya untuk memperbaiki 14 ruas jalan di Provinsi Lampung yang dinilai sebagai jalan dengan mobilitas tinggi.

Dampak Infrastruktur Jalan Rusak

Jalan termasuk infrastruktur publik yang sangat penting. Sebenarnya, jalanan yang rusak tidak hanya di Lampung saja. Compas.com (16/4) mengungkapkan bahwa jalan yang rusak justru dijumpai pada 10 propinsi lainnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis pada November 2023 menyebutkan bahwa panjang ruas jalan di Indonesia selain jalan tol adalah 546.116 kilometer.

Jumlah itu terdiri dari 42.6 persen jalan yang dikategorikan baik. 25,49 persen termasuk sedang. Adapun yang terbilang rusak sebayak 16.01 persen. Sedangkan 15,9 persen digolongkan rusak parah. Di samping mengganggu mobilitas dan psikologi rakyat, jalanan yang rusak juga berdampak pada perekonomian. Bahkan mengancam keamanan yang berisiko kematian. Persoalan rakyat ini harusnya segera diselesaikan dengan serius, bukan malah diabaikan sebelum ada yang memfiralkan.

Membangun Jalan Untuk Siapa

Berdasarkan data Kemenkominfo tahun 2017 yang diambil dari kepolisian, rata-rata ada 3 orang meninggal akibat kecelakaan setiap jamnya. Dari jumlah itu, 30 persennya disebabkan karena kondisi prasarana jalan dan lingkungan. Artinya, setiap jam ada orang yang meninggal akibat kondisi jalan yang rusak. Keadaan ini menunjukkan bahwa jalan yang rusak tidak hanya di Lampung saja, tetapi merata di sepanjang nusantara.

Sungguh ironi, banyak jalan rusak hingga memakan korban nyawa setiap jamnya. Namun, pemerintah malah gencar membangun infrastruktur yang berkaitan dengan kepentingan para korporasi, seperti jalan tol, jalur kereta api cepat, juga infrastruktur lainnya. Mirisnya, pemerintah juga tidak membangun secara mandiri, tetapi menyerahkan kepada korporasi baik dalam pengelolaan maupun pengerjaannya. Akibatnya, sarana jalan yang dibangun tidak berlandaskan pelayanan, tapi sebagai bisnis yang menguntungkan korporat. Terbukti, jalan umum yang harusnya gratis, namun rakyat harus membayar mahal.

Pembangunan Infrastruktur ala Sistem Kapitalisme

Fenomena di atas menunjukkan bahwa negara menerapkan ideologi kapitalisme dalam aspek pembangunan. Di mana, kebutuhan sarana publik yang harusnya dipenuhi oleh negara, malah diserahkan pada swasta. Akibatnya, swasta mengelola dengan tujuan keuntungan sebanyak banyaknya. Sementara, negara hanya bertindak sebagai regulator saja. Yaitu tempat meminta ijin dan memberi tandatangan persetujuan.

Dengan paradigma pembangunan seperti itu, wajar jika pembangunan tidak merata. Di satu sisi infrastruktur di bangun megah dengan biaya mewah, walaupun belum terlalu dibutuhkan. Di sisi lain, karena dirasa tidak mendatangkan keuntungan bagi kaum kapital, infrastruktur tidak juga dibangun walaupun masyarakat sangat membutuhkan. Jika dibangun pun, hanya dengan kualitas sekadarnya.

Pembangunan Infrastruktur dengan Konsep Islam

Dalam pemerintahan yang bersistem Islam, jalan raya, rel kereta api, bandara, gedung sekolah, rumah sakit, dan sebagainya merupakan kebutuhan primer yang bersifat publik. Pembangunan infrastruktur tersebut wajib dipenuhi oleh negara dengan prinsip pelayanan. Hal ini karena dalam politik Islam, seorang pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya :

“Imam (kepala negara) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR Al-Bukhari).

Atas dasar itu, negara bertanggung jawab mengurusi rakyat. Yaitu dengan memenuhi segala kebutuhannya, baik kebutuhan individu, maupun kebutuhan publik seperti halnya infrastruktur yang berhubungan dengan transportasi. Semua itu dipenuhi negara dengan prinsip pelayanan, bukan bisnis atau jualan. Jalan termasuk harta milik umum. Sehingga, pengelolaannya murni ditangan negara, tidak boleh diprivatisasi oleh swasta. Juga tidak boleh memungut bayaran dari penggunaan infrastruktur milik umum tersebut.

Di samping itu, negara akan membangun fasilitas publik lainnya di seluruh pelosok negeri, selama ada warga yang tinggal di sana. Karena, setiap warga akan membutuhkan transportasi untuk kelangsungan aktivitas hidupnya. Dalam pemenuhannya, negara dengan sistem pemerintahan Islam akan membangun dengan kualitas yang terbaik. Hal ini berlandaskan pada pelayanan yang didorong oleh ketakwaan pada Allah Swt..

Kita berkaca dari kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab. Saat ia melihat jalan yang rusak di jalanan Madinah, ia mengatakan bahwa jangan sampai ada satu keledai pun terperosok disebabkan jalan yang rusak. Karena, hal itu akan ia pertanggungjawabkan di akhirat kelak. Begitulah cermin seorang pemimpin yang menerapkan sistem pemerintahan Islam, hewan pun dijaga keselamatannya terlebih manusia. Visi kepemimpinannya adalah akhirat, bukan kekuasaan duniawi yang sifatnya sesaat.

Dana Membangun Infrastruktur dalam sistem Islam

Untuk membangun infrastruktur serta pemeliharaannya, negara memiliki kas bernama Baitul mal. Baitul mal sendiri hampir tidak pernah kekurangan dana, karena memiliki setidaknya 12 pos pendapatan. Berbeda dengan negara bersistem kapitalisme-demokrasi yang hanya mengandalkan pajak dan utang luar negeri. Di antara 12 pos pendapatan yang terkumpul di baitul mal, yang paling diunggulkan adalah hasil pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA).

Hal itu selaras dengan diharamkannya memprivatisasi SDA baik oleh individu, swasta, apalagi asing. Rasulullah bersabda yang artinya :
“Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli yakni air, padang rumput, dan api.” (HR. Ibnu Majah)

Namun begitu, dalam membangun infrastruktur, negara tidak terpengaruh ada atau tidaknya dana di baitul mal. Negara tetap membangun infrastruktur yang dibutuhkan rakyat walaupun dana baitul mal kosong. Dalam keadaan seperti ini, negara baru boleh memungut dharibah atau semacam pajak. Itu pun tidak diberlakukan pada semua rakyat. Hanya pada mereka yang kaya saja. Walau demikian, karena negara telah mengukuhkan akidah Islam pada setiap individu rakyat, maka rakyat pun terpanggil untuk membantu negara demi kemaslahatan umat, baik dengan harta maupun tenaga.

Demikianlah gambaran pembangunan infrastruktur jalan jika negara menerapkan sistem pemerintahan Islam. Negara selalu hadir melayani kebutuhan dan permasalahan rakyatnya, bukan hanya melayani kerakusan para korporasi dan kaum kapitalis. Hal ini sudah pernah diterapkan setidaknya 13 abad lamanya tanpa jeda. Maka tidakkah kita merindukan kembali tegaknya Islam di muka bumi ini ?

Wallahua’lam bisshowab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 53

Comment here