Oleh : Azizah, S.PdI
Wacanaedukasi.com, Khilafah sebuah kepemimpinan umum pemerintahan Islam yang meliputi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariat Islam di dalam negeri dan mengemban dakwah ke seluruh penjuru dunia. Keberadaannya telah berjaya selama berabad-abad lamanya dengan bukti-bukti yang tak terbantahkan baik berdasarkan landasan normatif atau pun historis.
Jika khilafah sebagai ajaran Islam akan dibahas dalam materi Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)-dengan tanpa menghilangkan esensi-sebagai tajul furudh (mahkota kewajiban) bagi kaum muslimin untuk menegakkannya, maka materi tersebut haruslah diangkat secara berkesesuaian das sollen dan das sein –nya. Sebab sejarah khilafah ini akan diterima oleh generasi penerus bangsa pelanjut estafet perjuangan. Alangkah disayangkan jika maklumat yang mereka terima justru menyebabkan mereka gagap sejarah, bahkan kehilangan gambaran khilafah yang sesungguhnya.
Sebab khilafah, selain bagian dari ajaran Islam juga merupakan sejarah kejayaan peradaban Islam. Bagaimana Islam menjadi adidaya dunia beberapa abad. Bagaimana Islam menjadi mercusuar peradaban dunia. Bagaimana Islam menghegemoni interaksi antar bangsa di masa lalu. Semua ada pada masa kekhilafahan Islam.
Memahami sejarah khilafah juga sangat penting. Sebab informasi sejarah sering digunakan sebagai dasar legitimasi politik kekuasaan. Maka penggalian, pelacakan dan penulisan sejarah yang benar, jujur, dan obyektif sangat diperlukan untuk dapat menilai praktik politik pada sebuah kekuasaan.
Berbicara tentang kekuasaan khilafah dan perannya di nusantara, sudah saatnya menggunakan kacamata baru agar tampak jelas kebaikannya. Bahwa keberadaan khilafah adalah berkah bagi nusantara di masa lalu maupun masa kini.
Sebagaimana tertulis dalam sejarah bahwa khilafah telah meninggalkan jejaknya di bumi nusantara, membantu Indonesia membangkitkan semangat perjuangan rakyat untuk melepaskan diri dari penjajahan.
Berawal dari Serat Centini dan serat Cabolek sebagai dua karya sastra yang berhasil menampakkan adanya usaha untuk memasukkan ajaran Islam syariat ke dalam masyarakat keraton Kasunanan Surakarta. Usaha seperti ini didukung semakin banyaknya abdi dalem keraton yang melaksanakan ibadah haji, sehingga ketika kembali ke jawa sikap keagamaan yang dipraktikkan menjadi murni (ortodok).
Hal ini memberi sebuah pengaruh besar terhadap perubahan arah pandang terhadap posisi kyai dan priyayi. Bahwa tidak ada pertentangan yang tajam diantara mereka. Bahkan terjadi keakraban sebagaimana dicontohkan langsung oleh Sunan Paku Buwana IV sebagai raja yang taat menjalankan syariat dan mempunyai hubungan akrab dengan kyai dan haji.
Adapun Raden Demang Urawan ketika menjelaskan posisi pejabat kerajaan menyitir sebuah hadits Nabi Muhammad saw yang berbunyi, “satu jam yang digunakan raja yang adil untuk melayani rakyatnya, sama ganjarannya dengan enam puluh kali ibadah haji ke mekkah”.
Inilah rupanya yang menjadikan kolonial Belanda ‘kebakaran jenggot’. Sehingga saat Gubernur Thomas S Raffles akan mengunjungi keraton Kasunanan Surakarta tahun 1812 M, Residen Surakarta membuat daftar ulama dan haji yang diduga mempunyai hubungan yang dekat dengan sunan, dan dianggap perlu mendapatkan ‘perhatian’ dari kolonial.
Pada periode 1850-1930 sebagian besar analis di surat kabar Belanda berpendapat, bahwa masalah orang Belanda di Indonesia dimulai dengan hajinya muslim Indonesia ke mekkah. Sebagaimana surat kabar De Locomotief menulis pada tahun 1877 : “Semakin banyak jamaah haji pergi ke mekka, semakin meningkat fanatismenya”
Hal ini menurut SeraaMedia dikarenakan “ketika orang Indonesia pergi haji, dia pergi ke sebuah negara yang didirikan berdasarkan Islam, studi tentang Islam memiliki kedudukan besar di masyarakat, dan orang-orang dimotivasi oleh negara untuk belajar tentang Islam. Orang Indonesia membawa apa yang mereka pelajari di sana ke Indonesia, dan berbagi dengan sesama muslim di Indonesia”.
Lalu mengapa hal ini menjadi sebuah persoalan besar bagi kolonial ?. Sebab fanatisme kepada Islam menjadikan muslim Indonesia termotivasi untuk memberontak melawan kekristenan dan dominasi Eropa. Semua ini tidak lepas dari studi tentang Islam yang mereka lakukan, sehingga mengenal ‘pan Islamisme’.
Analisis di surat kabar Nieuwe Rotterdamsche Courant tahun 1915 menyampaikan, “Di masa lalu mungkin saja kita khawatir dengan keinginan berlebihan orang-orang Mohammaedanism [maksudnya Islam] di Indonesia untuk pergi haji, karena berbagai alasan. (…) Beberapa diantara mereka mendapat pengaruh pan-Islamisme di sana, dan kemudian mereka kembali memiliki pengaruh atas orang-orang sebangsanya”
Adapun apa itu Pan-Islamisme, dijelaskan oleh surat kabar Nieuw Tilburgsche Courant tahun 1900 :
“Istilah an-Islamisme dipahami oleh orang Eropa sebagai aspirasi di antara umat Islam untuk bersatu dalam satu negara. (…) Dimanakah ide pan-Islamisme ini berakar?. Dalam hukum Mohammedan ortodoks, (yang mengatakan) bahwa semua pengikut Mohammad (mohammedan), terlepas dari bangsanya, terlepas dari bahasa yang digunakan, harus menjadi satu komunitas ideal; Dan bahwa semua penguasa Mohammedan harus mengakui satu penguasa tertinggi. (…) Apa akibatnya? Bahwa penguasa yang kafir, sebagai masalah prinsip, tidak akan pernah diterima oleh orang-orang Mohammed ortodoks sebagai penguasa mereka yang sah. (…) ini adalah suatu bahaya yang tak terbantahkan, untuk negara Kristen manapun yang menjadikan Islam sebagai subjeknya dalam tingkat yang lebih rendah atau lebih tinggi.”
Dengan uraian yang lebih pendek surat kabar Algemeen Handelsblad tahun 1910 mengatakan:
“Para penceramah menjelaskan bahwa bagi orang-orang Mohammedan hanya aturan Khalifah-Sultan Turki-yang merupakan aturan yang sah. Mereka melihat bahwa semua aturan lainnya tidak sah, termasuk aturan kita di Indonesia. Karena itu ajaran tentang khilafah adalah elemen yang sangat berbahaya”
Oleh karena itu dikatakan dalam surat kabar Het Nieuws Van Dag tahun 1897 :
“Pemerintah kita bisa mendapatkan banyak masalah dari ini. Karena bagi kita, pan Islamisme juga adalah musuh terbesar dan terhebat bagi perdamaian di wilayah koloni kita, sama seperti untuk semua negara Eropa lainnya yang menjadikan orang-orang Mohammedan sebagai subjek atau pihak yang mereka tundukkan”
Dengan demikian sesungguhnya Belanda memahami benar posisi penting khilafah sebagai pemimpin umat Islam, serta menyadari fungsinya untuk menerapkan aturan-aturan yang sah (Islam). Mereka juga mengetahui betapa luas jangkauan keterpengaruhan khilafah bagi kaum muslim, hingga mampu membangkitkan semangat perlawanan rakyat di nusantara atas dominasi kolonial Belanda. (Disarikan dari berbagai sumber)
Wallahu’alam-bishowab.
Views: 2
Comment here