Surat Pembaca

BBM Bioetanol, Solusi atau Ilusi bagi Rakyat?

blank
Bagikan di media sosialmu

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Rakyat Indonesia digegerkan dengan BBM jenis baru yang akan diluncurkan Pertamina dalam bulan Juni ini. Melalui direktur utama Pertamina Nicke Widyawati, produk baru yang dimaksud ialah BBM Bioetanol yang merupakan campuran antara Pertamax dengan etanol. Produk ini diklaim dapat mengurangi tekanan atas impor BBM yang memberatkan neraca perdagangan Indonesia, menurunkan polutan emisi kendaraan, dan menciptakan potensi lapangan kerja di sektor pertanian dan produksi bioethanol (jambiekspres.disway.id 11/06/2023).

Meskipun BBM Bioetanol ini memiliki potensi yang besar, hanya saja produksi dari bioethanol sendiri di Indonesia masih terbilang rendah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) melaporkan kapasitas produksi bioetanol fuel grade baru mencapai 40.000 kiloliter (KL) per tahun. Sedangkan terdapat 696.000 KL yang dibutuhkan untuk implementasi bauran bioetanol dengan bahan bakar minyak (BBM) jenis bensin (Bisnis.com 21/05/2023). Artinya, masih ada PR bagi pemerintah ketika ingin mengembangkan proyek BBM bioethanol ini.

Pada proyek pengembangan bahan bakar nabati (BBN) berbasis biji jarak yang digaungkan tahun 2017 lalu, juga tersendat dan tidak ada kejelasan. Ini disinyalir karena keberpihakan sumber energi terbarukan itu belum dinikmati petani pengelola lahan. Minyak jarak di tingkat petani dihargai amat rendah yaitu Rp 500 per kilogram, sehingga membuat enggan petani dalam memeliharanya (kompas.id 07/02/2017). Lalu, akankah proyek BBM Bioetanol ini menghadapi nasib serupa? Ini mengingat bahwa produksi bioethanol tersebut paling banyak dihasilkan dari molasses yang merupakan produk sampingan dari produksi gula. Adapun produksi gula dalam negeri masih minim dan masih bergantung dari impor negara-negara tetangga.

Selain masalah produksi yang menjadi tantangan besar dalam proyek ini, masalah harga juga tak luput dari pertanyaan masyarakat. Ini disebabkan karena perkiraan BBM Bioetanol mendatang akan jauh lebih mahal dibandingkan BBM yang sudah beredar. Tentu saja, ini diperkuat dengan pernyataan VP Corporate Communication, Fadjar Djoko Santoso bahwa harga BBM Bioetanol ini akan lebih tinggi dari BBM Pertamax (cnnindonesia.com 09/06/2023).

Alih-alih untuk menekan impor BBM yang tinggi, ataupun demi menurunkan polutan emisi, kebijakan ini justru terlihat masih belum matang, khususnya dari sisi apakah masyarakat mampu untuk beralih menggunakan BBM Bioetanol ini. Sebab, Pertamax saja yang memiliki harga lebih rendah, masih belum terjangkau di kantong masyarakat menengah ke bawah. Jangan sampai, kebijakan ini mirip seperti kebijakan BBM Pertalite sebelumnya. Yakni dengan alasan mengurangi emisi, justru BBM Pertalite ini berimbas terhadap hilangnya BBM Premium yang kala itu paling terjangkau oleh masyarakat. Dikhawatirkan, ini pula yang akan terjadi jika BBM Bioetanol muncul yang akan berakibat pada hilangnya BBM Pertalite. Ini menjadi masalah karena seolah masyarakat dipaksa untuk mengonsumsi BBM yang lebih mahal di saat kondisi perekonomian tak kunjung membaik. Dan tentu saja, secara teori ekonomi, ini juga akan mempengaruhi naiknya harga-harga barang disebabkan BBM termasuk ke dalam rantai distribusi.

Jadi, bagaimana semestinya kebijakan BBM ini dibuat bagi rakyat?

Bahwasanya negara itu adalah ra’in, pengurus yang mengurusi urusan kesejahteraan rakyatnya. Maka, tak semesterinya suatu kebijakan dibuat namun harus mengorbankan kepentingan rakyat itu sendiri. Islam mewajibkan negara untuk membuat kewajiban yang memudahkan hidup rakyatnya, maka negara tersebut wajib pula menjalani perencanaan matang untuk mampu merealisasikannya. Negara wajib melibatkan para ahli dalam hal ini, sehingga benar-benar membawa manfaat bagi rakyat, terjangkau, juga aman bagi lingkungan. Tidaklah boleh mengorbankan salah satunya, karena akan menjadi kebijakan dzolim baik bagi rakyat pun juga bagi lingkungan. Ini agaknya susah diwujudkan tatkala sistem dan cara pandang yang digunakan berbasis materi dan penyokongnya adalah para elit korporasi. Karena harus ada untung dari setiap kebijakan, yang didapatkan tidak boleh sama dengan modal di awal. Maka wajar jika kepentingan rakyat menjadi nomor ke sekian. Oleh karenanya, perlu dipikirkan ulang bahwasanya persoalan BBM tidak hanya tentang pencemaran dari emisi kendaraan, tetapi sistem dengan asas yang memang salah dari akarnya, yakni menihilkan peran agama di dalamnya.

Allahu’alam bisshowab.

Siti Hariati H., S.Stat., M.Si.
(Dosen, Aktivis Muslimah, Pemerhati remaja dan lingkungan)

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 29

Comment here