wacana-exukasi.com– PT Pertamina (Persero) pada Minggu ini kembali menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi serta elpiji nonsubsidi jenis Bright Gas. (www.suarakalbar.co.id, 10/07/2022).
Sejatinya, kenaikan harga BBM dan gas tidak luput dari pengaruh dunia internasional. Sesuai peraturan Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM 62/K/12/MEM/2020, harga jenis bahan bakar umum (JBU) akan terus mengalami penyesuaian mengikuti tren pasar internasional. Jika harga minyak dunia naik, minyak di dalam negeri pun ikut-ikutan. Hal yang cukup aneh telah terjadi di negeri ini. Harga minyak dunia dalam tiga bulan terakhir ini justru mengalami penurunan. Pertama kalinya harga minyak dunia berada di bawah US$100 per barel. Nilainya turun hingga US$99,49 per barel pada 11 April lalu (CNN Indonesia, 13/06/2022).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa kenaikan harga BBM dan gas tidak hanya terpengaruh oleh harga minyak dunia. Bisa jadi, kebijakan kenaikan BBM dan gas ini adalah langkah awal sebelum ada pengurangan subsidi, bahkan pertanda lampu kuning penghapusan subsidi dan betul betul akan dihapus.
Jika benar demikian kenaikan harga yang mengikuti tren dunia ini tidak lepas dari perjanjian yang dilakukan Indonesia. Dengan mengikuti pasar global, mau tidak mau negeri ini harus menuruti situasi yang sudah ditentukan. Jadi, jika harga komoditas naik di dunia internasional, Indonesia juga harus menaikkan.
Kenaikan harga minyak sendiri tidak lepas dari permainan perdagangan negara yang masuk pada Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC). Mereka bisa saja menurunkan harga minyak dengan menambah pasokan, tetapi itu tidak dilakukan karena salah satu negara yang berpengaruh (Rusia) tidak menginginkannya. Semua karena masalah keuntungan.
Namun pada akhirnya, OPEC pun harus bertekuk lutut kepada AS, negara adidaya pengemban kapitalisme. Saat ini setiap transaksi di dunia internasional harus memakai dolar AS. Mau tidak mau, negara yang memiliki mata uang berbeda harus menukar uangnya dengan dolar terlebih dahulu.
Ini mengakibatkan dolar menguat dan penguatan ini pun menyebabkan harga minyak dunia turun. Melihat hal ini, Indonesia salah satu negara pengimpor bahan baku minyak, tidak bisa berbuat apa-apa. Negara ini tampak hanya sebagai peran pembantu tanpa mampu menjadi pemain utama. Perjanjian-perjanjian yang menguntungkan setan kapitalis tidak bisa ditangkal. Apalagi jika sudah bicara masalah keuangan yang telanjur masuk jerat riba, tidak bisa berkutik barang setitik.
Minyak dan gas merupakan kebutuhan pokok rakyat. Islam tidak akan membiarkan kedua komoditas itu “mencekik” masyarakat. Pemimpin ibarat pelayan rakyat, maka Islam mewajibkan mereka mengurusi seluruh kebutuhan rakyatnya, bukan malah mencari untung demi kepentingan penguasa dan pengusaha.
Islam juga melarang pemimpin melakukan kesepakatan dengan negara kafir (yang jelas memusuhi Islam) atau kesepakatan yang justru menjerumuskannya pada kezaliman kepada rakyat. Itulah sebabnya, Islam tidak akan membenarkan perjanjian pasar global seperti saat ini. Oleh karenanya, negara tidak boleh semata mengambil keuntungan atas pengelolaannya. Rakyat cukup mengganti biaya produksi komoditas tersebut untuk memperolehnya sehingga harganya akan tetap murah. Kalaupun mengambil sedikit untung, akan dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat juga.
Sabrina
Pontianak-Kalbar
Views: 9
Comment here