Oleh : Rayani umma Aqila ( Muslimah Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com– Bandar Udara (Bandara) adalah kawasan yang digunakan untuk mendarat, bongkar muat barang dan lepas landas pesawat udara, naik turun penumpang, dan digunakan perpindahan moda transportasi. Namun, sangat disayangkan pengelolaan sejumlah bandara baru yang sepi penumpang, jadi salah satu penyebab membengkaknya utang BUMN pengelola bandara, PT Angkasa Pura I. Di antara bandara baru itu, seperti yang diungkapkan WAMEN (Wakil Menteri) BUMN Kartika Wirjoatmodjo, adalah Bandara Baru Yogyakarta (YIA). Kumparan.com (5/12/2021) Imbas dari membengkaknya biaya operasional bandara baru yang sepi penumpang memiliki beban utang mencapai Rp35 triliun.
Utang itu bahkan bisa naik menjadi Rp38 triliun. Terlebih lagi saat ini, Indonesia memiliki ratusan bandara yang diperuntukkan bagi penerbangan internasional ataupun domestik yang tersebar di seluruh 34 provinsi. Ini terjadi sebab jumlah bandar udara yang dimiliki tersebut dianggap tidak mencukupi sehingga dibutuhkan bandara tambahan di wilayah tertentu yang dapat menunjang mobilitas masyarakat di sejumlah daerah yang memilik jarak tempuh cukup jauh dengan sejumlah bandar udara yang sudah ada. Berangkat dari hal demikian, akhirnya pemerintah mengumumkan soal rencana pembangunan infrastruktur dan bandara lainnya yang diharapkan membantu dalam peningkatkan mobilitas masyarakat tanah air. Namun, pada akhirnya pengelola Bandara merugi biaya operasional mencapai ratusan milyar per bulannya sementara bandar udara sepi dan tidak menghasilkan pemasukan yang berarti.
Melihat kondisi ini mengapa pemerintah terus membangun bandar udara baru dan melibatkan pengelola dari asing? Jelas, karena lebih memenangkan kepentingan dari pengelola swasta asing, bukan mengelola harta negara dan mengutamakan kepentingan masyarakat, padahal Infrastruktur sejatinya diperuntukkan untuk kepentingan pemerataan ekonomi dan pembangunan masyarakat agar memberikan kesejahteraan dan kemakmuran. Namun, dalam aturan kapitalisme pembangunan infrastruktur hanya memberikan keuntungan kepada para pengusaha pemilik modal (kapital), sehingga infrastruktur yang dibangun yang tidak memberikan keuntungan kepada pemilik modal atau kapital akan dikesampingkan pembangunannya. Para pengusaha pemilik modal yang melakukan investasi terang saja melakukan kendali terhadap pembangunan.
Negara yang menerapkan sistem kapitalisme hanya mampu menjadi regulator dalam hal kelancaran investasi pagi para kapital atau pengusaha swasta. Pada akhirnya investasi yang dilakukan tentu saja akan menambah beban utang bagi negara. Hal tersebut akan berakibat naiknya pajak yang ditanggung oleh masyarakat. Sehingga pada akhirnya masyarakat lah yang akan dirugikan. Alih-alih rakyat mendapatkan perlakuan yang layak dan mendapat kesejahteraan, melainkan menambah beban dengan pembayaran pajak dari berbagai jasa dan barang. Berbeda halnya jika dengan tranfortasi umum yang digunakan masyarakat secara gratis atau cuma-cuma, pembangunan terkesan dibiarkan rusak, terhambat bahkan tak terurus. Semestinya hal demikian diharapkan untuk menata ulang visi pembangunan infrastruktur dan pembiayaan serta pemanfaatannya sesuai dengan pandangan islam. Oleh karenanya jalan keluar agar tuntas dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan manusia adalah dengan tidak mengambil sistem yang berasal dari pemikiran manusia.
Jika dilihat dari aspek pengadaan infrastruktur, maka dalam Islam terbagi menjadi dua bagian. Pertama, yaitu infrastuktur yang sangat dibutuhkan oleh rakyat jika menundanya akan menimbulkan dharar (bahaya) bagi rakyat. Misalnya, jalan atau tranfortasi umum bagi daerah yang belum memiliki transportasi seperti rumah sakit, jalan, sekolah, universitas, dan sebagainya. Kedua, infrastruktur yang dibutuhkan keberadaan nya tetapi tidak mendesak dan bisa ditunda pembangunannya. Misalnya jalan, perluasan masjid, pembangunan gedung sekolah tambahan, ataupun yang lainnya. Infrastruktur ini tidak boleh dibangun pengadaannya jika negara tak memiliki dana finansial hingga tidak diperbolehkan pembangunan infrastruktur dengan jalan utang dan pajak. Infrastruktur ini hanya boleh pengadaannya ketika dana atau Baitul Mal mencukupi.
Selanjutnya dalam pembangunan jalan yang merupakan infrastruktur transportasi, maka pembangunan tanpa memperhatikan ada atau tidak ada dana Baitul Mal, harus tetap dibangun. Sehingga negara dengan sistem pemerintahan Islam menggunakan pendanaan dari pos baitul mal yang mengatur kekayaan alam milik umum dengan jumlah banyak. Karena sesuai dengan sabda Rasulullah Saw, dalam (HR Abu Dawud dan Ahmad) “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api”. Oleh karena itu, tugas dalam pemerintahan Islam memiliki kewajiban dalam mengelola kekayaan alam milik umum dan menggunakannya dalam pembangunan jalan umum serta seluruh infrastruktur yang berhubungan dengan kemaslahatan masyarakat.
Akan tetapi, jika dana Baitul Mal tidak mencukupi maka negara wajib membiayai dengan memungut pajak atau dharibah dari masyarakat yang mampu saja. Selanjutnya, apabila pemungutan pajak atau dharibah memerlukan waktu lama, sementara infrastruktur untuk umum harus segera dibangun, maka negara boleh melakukan pinjaman kepada investor. Pinjaman tersebut tentu dibayar dari dana dharibah pajak yang dikumpulkan dari rakyat. Pinjaman yang diperoleh tidak boleh ada tambahan yaitu bunga atau menyebabkan negara bergantung kepada investor. Namun demikian, hanya dengan sistem Islam di bawah pemerintahan Islam, infrastruktur akan benar-benar diperhatikan dan menjadi prioritas, tentu saja demi kesejahteraan masyarakat. Wallahu a’lam Bish Shawab.
Views: 5
Comment here