Oleh : Watini (Pemerhati Masalah Umat)
wacana-edukasi.com– Pendidikan vokasi memang sedang digeruskan di tengah krisis multidimensi saat ini. Di mana orientasinya meliputi penyiapan SDM agar mampu menghadapi revolusi industri. Ditambah Indonesia tengah menghadapai era demografi, tentu hal ini menjadi tantangan tersendiri. Salah satunya makin ketatnya persaingan dalam dunia kerja. Sebab negara telah membuka pintu investasi industri lokal dan asing secara besar-besaran. Tak heran jika pendidikan vokasi ini terus digencarkan guna mengisi kebutuhan tenaga kerja pemutar roda perindustrian.
Bahkan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) memberi sinyal positif akan adanya kenaikan upah minimum provinsi (UMP) di tahun 2023 yang besarannya masih dirahasiakan. Kepastian soal kenaikan UMP buruh pada tahun depan juga sudah dipastikan oleh wakil menteri ketenagakerjaan. Ia mengatakan kenaikan UMP akan disesuaikan dengan inflasi dan kondisi perekonomian yang kemungkinan terjadi di tahun depan (CNN Indonesia, 30/10/2022).
Namun sejatinya, pendidikan vokasi hanya mencetak generasi menjadi tenaga kerja teknis, bukan ahli. Tentunya standar gajinya tidaklah tinggi. Meski sejahtera tidak hanya ditentukan dari gaji, tapi faktanya hingga kini kesejahteraan masih jauh dari kata “terealisasi”. Apalagi dengan beban biaya pendidikan dan kesehatan yang masih menghantui. Menjadi bukti kesejahteraan yang didambakan hanyalah mimpi.
Janji kenaikan UMP juga tak menjamin sejahtera. Sebab kapitalisme memiliki mekanisme pengupahan yang tak memungkinkan. Keuntungan hanya bisa dinikmati oleh para pemilik modal, bukan pekerja biasa. Ditambah dengan situasi ekonomi yang terancam resesi, PHK bisa jadi takkan terelakkan lagi. Tentunya akan beresiko pada lulusan pendidikan vokasi.
Seperti yang terjadi belum lama ini, perusahaan Philips akan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), menyusul anjloknya penjualan akibat penarikan ventilator dan peralatan medis dari pasar. Jumlah pekerja yang bakal terkena PHK mencapai 4.000 orang. Ini merupakan imbas dari menurunnya permintaan di beberapa negara, terutama China dan merambat di Eropa Barat akibat inflasi (m.kumparan.com, 24/10/2022).
Ini membuktikan bahwasanya output pendidikan vokasi hanyalah untuk kepentingan korporasi dan agenda hegemoni. Bukan untuk meningkatkan mutu generasi. Di saat bersamaan, potensi generasi terancam dibajak. Sehingga yang dihasilkan adalah kerusakan akibat penjajahan yang dilakukan secara tersembunyi.
Terlebih dalam sektor ekonomi, penjajahannya dalam bentuk jeratan utang dan investasi. Penguasa negeri seolah tak menyadari bahwa masa depan bangsanya telah tergadai oleh utang ribawi. Hingga besaran utang dan investasi dianggap sebagai sebuah prestasi. Sementara generasi mereka diposisikan sebagai kacung oleh negeri sendiri. Dimana melalui sistem pendidikan mereka disiapkan sebagai robot pemutar mesin industri yang menjadi nyawa bagi korporasi.
Untuk itu diperlukan sistem yang benar-benar menjamin kesejahteraan bagi rakyatnya, bukan sekedar retorika semata. Seperti sistem ekonomi Islam yang telah terbukti kegemilangannya. Asas sistem ekonomi Islam berdiri atas tiga pilar. Pertama, cara harta diperoleh (menyangkut kepemilikan); kedua, terkait pengelolaan kepemilikan; dan ketiga terkait distribusi kekayaan di tengah masyarakat agar tidak terjadi kesenjangan ekonomi. Sistem ekonomi Islam juga menjamin kebutuhan pokok per individu bukan per kapita, sehingga negara benar-benar me-riayah (mengurusi) rakyat, bukan sekedar atas dasar manfaat untuk segelintir orang atau korporat.
Mekanisme kepemilikan yang baku dalam sistem Islam menjadikan kepemilikan swasta dibatasi hanya pada apa-apa yang dibolehkan syariat. Syariat membaginya menjadi tiga bagian, kepemilikan individu, umum dan negara. Dengan demikian, swasta apalagi asing tidak bisa mencaplok kepemilikan umum. Hal tersebut untuk mencegah adanya hegemoni perekonomian dari pihak kuat pada yang lemah. Sehingga, tak ada lagi perusahaan yang menggurita bahkan mengeksploitasi SDA. Selain itu, negara yang mengelola SDA-nya sendiri akan mampu mengurusi umat dan mendatangkan sumber pemasukan Baitul Mal yang melimpah.
Dalam Islam juga ketika masih ada rakyat yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidupnya, bahkan masih banyak yang pengangguran dan mengakibatkan ekonomi mengalami kemacetan. Maka negara wajib segera mengelola dan mengendalikan perekonomian. Mengendalikan distribusi dan mengatur proses produksi agar merata hingga ke pelosok negara. Misalkan memberikan modal bagi yang tidak memiliki pekerjaan dengan mengambil anggaran dari baitul mal.
Seperti yang dicontohkan pada masa Nabi saw., jaminan atas kebutuhan hidup rakyat telah berjalan dengan sempurna. Nabi saw,.bersabda:
“Siapa (yang mati) dan meninggalkan utang atau tanggungan, hendaklah dia mendatangi aku karena aku adalah penanggungjawabnya” (HR. Al-Bukhori).
Imam Asy-Syaukani berkata, “Ketika Allah SWT memberikan kemenangan (kepada kaum muslim) pada suatu negeri dan berlimpah harta, maka siapa saja yang meninggal dalam keadaan memiliki utang, ia berhak dilunasi utang-utangnya dari Baitul mal kaum muslim” (Tuhfah Al-Ahwadziy, 3/142).
Jika Kas Negara atau Baitul mal tidak mencukupi kebutuhan darurat, negara diizinkan memungut pajak (dharibah) untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Namun, pungutan pajak ini bersifat temporer. Hanya saat mendesak/darurat saja. Dalam islam, tidak semua warga dipungut pajak. Hanya kaum Muslim yang kaya yang dikenakan pajak. Muslim yang bukan kalangan kaya tidak dipungut pajak. Hebatnya lagi, warga non-Muslim sama sekali tidak dipungut pajak, sekalipun ia kaya.
Wallahua’lam bish-showab.
Views: 9
Comment here