Oleh: Sri Suarni
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Kelompok perempuan pengampu alam sudah lama bermunculan. Di Indonesia, ada perempuan Dayak Benawan di Kalimantan Barat, perempuan Kendeng di Jawa Tengah, Kelompok Perempuan Peduli Lingkungan Taman Nasional Kerinci Seblat, atau perempuan Mollo di Nusa Tenggara Barat.
Di Aceh, kini ada kelompok Mpu Uteun (istilah dari bahasa Gayo yang berarti penjaga hutan) muncul di Desa Damaran Baru, Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh. Menurut pengamatan warga sekitar hutan, pelaku penebangan yang tertangkap hampir selalu laki-laki. Budaya patriarki yang masih kental di Indonesia membuat sektor hutan dan lahan masih didominasi oleh laki-laki. Perempuan hanya memegang peran marginal dalam proses pembuatan kebijakan di sektor ini.
Pengaduan masyarakat ke otoritas setempat seputar penebangan dan perburuan liar juga nyaris menemui jalan buntu. Di sinilah kelompok Mpu Uteun terbentuk Tahun 2015 karena merasa resah dengan risiko bencana akibat perambahan hutan. Pada tahun itu, Desa Damaran Baru dilanda banjir bandang yang merusak puluhan rumah dan membuat warga mengungsi.
Menurut Penelitian The Conversation, kelompok ini penting karena menjadi contoh gerakan ekofeminisme untuk melawan tradisi patriarki yang menjadi sebab perambahan hutan di provinsi Aceh. Ekofeminisme adalah gerakan yang melihat hubungan antara eksploitasi serta kerusakan lingkungan hidup dengan subordinasi dan pengekangan perempuan.
Pakar filsafat lingkungan dari Macalaster College Minnesota di Amerika Serikat, Karen Warren, dalam bukunya Ecofeminist Philosophy menjelaskan bahwa filosofi ekofeminisme berfokus pada tiga aspek yang saling berhubungan: 1) feminisme; 2) alam, ilmu pengetahuan (terutama ekologi), pembangunan, dan teknologi; dan 3) perspektif lokal dan masyarakat asli.
Gerakan ekofeminisme di Indonesia sebenarnya lahir dari ketidakberdayaan dan keresahan perempuan akan resiko bencana akibat perambahan hutan, juga merupakan bentuk perlawanan terhadap tradisi patriarki akibat adanya dominasi laki-laki yang kental dalam sektor hutan dan lahan.
Kesetaraan gender sejatinya dapat menimbulkan dampak yang sangat destruktif, dan merusak perempuan secara keseluruhan. Kampanye menyuarakan kesetaraan gender dilakukan seolah-olah perempuan berada dalam keadaan tertindas hingga menciptakan keengganan terhadap peran sejati perempuan. Bersamaan dengan itu kecurigaan terhadap laki-laki dan ketakutan akan tidak diterimanya perlakuan adil berkaitan hak-hak mereka meningkat.
Kesetaraan gender adalah mimpi feminis perempuan untuk memiliki kesuksesan serta kehidupan yang stabil dan sukses. Padahal kesalahan serius mereka bukan semata menyerukan hak perempuan untuk menikmati nilai dan hak yang sama dengan laki-laki. Melainkan untuk mengukur keberhasilan mereka dengan mengadobsi semua hak, peran, dan tugas laki-laki.
Dalam batasan tertentu, terjunnya kaum perempuan ke ranah publik secara berbondong-bondong, adalah pencapaian terbesar gerakan feminis yang memiliki keyakinan tentang kekuatannya. Mereka sepakat untuk mendorong perempuan untuk lebih mengaktifkan waktunya di ruang publik. Mereka giat menyadarkan perempuan bahwa mereka adalah golongan tertindas.
Sebaliknya, ide beracun feminisme yang egois, selalu abai terhadap dampak sosial pada kehidupan anak, keluarga dan masyarakat secara keseluruhan. Mereka memperjuangkan hak-hak perempuan di sistem kapitalisme, namun luput melihat bahwa kapitalisme memandang perempuan rendah. Peran puncak perempuan hanya sekedar pekerja dan mesin pertumbuhan ekonomi. Yakni bagaimana menghasilkan materi dan keuntungan bagi bisnis kapitalis.
Sejatinya dalam Islam peran utama perempuan didefinisikan sebagai pengatur rumah tangga, ibu dan pengasuh anak-anak generasi peradaban yang wajib benar-benar dihargai, dilindungi, oleh masyarakat muslim. Dimana peran ini tidak merampas hak perempuan atas pendidikan, pekerjaan, atau suara politik.
Sebuah identitas yang menganugerahkan peran yang memberinya waktu bersama anak-anaknya, menghilangkan kebingungan dan konflik mengenai prioritasnya, dan yang melengkapi kodrat alaminya, bukan bertentangan dengannya. Dan semua pemenuhan hak-hak kewargamegaraan yang bisa dinikmati secara penuh. Sebab, terganggunya peran ibu selain mengguncang lembaga pernikahan, juga melahirkan generasi terlantar yang rapuh dan penuh masalah.
Islam mewajibkan perempuan untuk dijamin nafkahnya oleh suami atau kerabat laki-laki mereka. Jika tidak ada maka negara yang akan menjamin nafkahnya. Islam menolak model keuangan rusak kapitalisme yang berbasis riba. Melarang menimbun kekayaan atau privatisasi sumber daya alam dan melarang investasi asing dalam jumlah besar. Sehingga tidak akan terjadi keresahan masyarakat akibat perambahan hutan bahkan resiko bencana. Sebab Islam menerapkan sistem ekonomi yang sehat yang terstruktur dan menjaga.
Negeri-negeri kaum muslim di dalam Islam, wajib bersatu dalam naungan Khilafah Islam. Yang merupakan perisai sejati umat Islam yang menjamin ketahanan keluarga, kehormatan kaum ibu dan kemuliaan generasi muslim. Melalui perisai-Khilafah akan tercipta ketahanan keluarga di era terjangan badai materialistik yang kian melanda keluarga-keluarga muslim.
Wallahu’alam bishawab.***
Views: 17
Comment here