Wacana-edukasi.com — Pandemi covid-19 tidak hanya memberi dampak di sektor kesehatan, tetapi juga di bidang ekonomi. Dampak lain di bidang ekonomi tersebut menyebabkan banyaknya mahasiswa putus kuliah.
Menurut kemendikbud ristek sepanjang tahun 2020 angka putus kuliah di Indonesia mencapai 602.208 mahasiswa. Angka putus kuliah mahasiswa perguruan tinggi pada akhir 2020 naik menjadi 50% dari angka rerata dari tahun-tahun sebelumnya yang berkisar di angka 18%. Mayoritas kasus putus kuliah ini terjadi di Perguruan Tinggi Swasta. selain itu, informasi lainnya menyebutkan bahwa krisis pandemi covid-19 merupakan penyebab utamanya (16/8).
Hal tersebut terutama sangat dirasakan oleh mahasiswa dengan ekonomi menengah kebawah, dimana orang tua mereka tiba-tiba kehilangan pekerjaan atau mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya sehari-sehari.
Menyikapi kasus tersebut kemendikbudristek menganggarkan sebesar Rp 745 miliar untuk bantuan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang akan dicairkan pada bulan September. Kucuran dana tersebut disampaikan langsung oleh Kemendikbudristek pada Rapat Bersama Komisi X DPR RI pada tanggal 23 Agustus 2021 di Jakarta (25/8).
Bantuan UKT yang diberikan kepada mahasiswa sesuai dengan besaran UKT dengan nominal bantuan maksimal Rp 2,4 juta per mahasiswa. Syarat penerima adalah mahasiswa aktif yang berasal dari keluarga kurang mampu, dibuktikan dengan pernyataan orang tua dan diketahui RT atau kelurahan. Selain itu, syarat penerima bantuan UKT yaitu tidak dalam menerima beasiswa dan atau penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP).
Lalu, bagaimana nasib mahasiswa yang telah dinyatakan putus kuliah jika bantuan pendidikan hanya untuk mahasiswa yang berstatus aktif saja? Tentu saja masalah di atas dapat menimbulkan menurunnya potensi intelektual di tengah-tengah masyarakat.
Tingginya angka putus kuliah tentu tidak terjadi secara tiba-tiba, akan tetapi dipengaruhi oleh serangkaian kebijakan terkait pendidikan di awal munculnya pandemi, dimana mendikbudristek bungkam dalam menyikapi aksi protes mahasiswa menyangkut Uang Kuliah Tunggal. Dana bantuan yang dikucurkan setelahnya pun juga belum dapat menyelesaikan masalah pendanaan UKT tersebut.
Dalam negara yang menerapkan sistem sekuler kapitalis neoliberal, masalah pendidikan seperti ini merupakan sebuah keniscayaan. Kemurahan penguasa seringnya harus disertai kondisi dan syarat tertentu. Faktanya dapat kita jumpai di setiap kebijakan yang diambil, dimana pemerintah selalu menghitung untung-rugi. Tujuan utama penguasa dalam sistem kapitalis tidak lagi mengurus rakyat, namun mendudukkan diri sebagai penjual jasa atau regulator saja. Maka tak heran, rakyat harus mengeluarkan dana yang cukup mahal untuk mendapatkan layanan kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Oleh karenanya, muncul banyak kesenjangan antara si kaya dan si miskin dalam memperoleh 3 hal tersebut.
Berbeda jauh dengan sistem Islam, dalam Islam pendidikan, kesehatan, dan keamanan merupakan bagian dari ikhtiar membentuk manusia dan umat berkualitas purna sesuai dengan misi penciptaannya. Sehingga, ketiga hal tadi merupakan hak seluruh rakyat yang dapat diakses secara gratis tanpa syarat apapun dan pemerintah memiliki kewajiban mewujudkannya semaksimal mungkin. Hal ini sejalan dengan ketetapan syariat bahwa fungsi negara atau penguasa adalah mengurus dan menjaga rakyatnya yang nantinya akan dimintai pertanggungjawaban.
Maka tak heran, jika negara Islam begitu maksimal dalam mewujudkan pelayanan pendidikan gratis dan berkelas bagi seluruh rakyatnya. Hal tersebut terbukti selama belasan abad, dimana sistem pendidikan Islam menjadi salah satu pilar peradaban cemerlang dalam praktiknya.Tentu saja, sistem pendidikan Islam harus ditunjang dengan sistem ekonomi Islam yaitu sebagai sumber modal pelaksanaan pendidikan.
Walidatul Widad
Views: 7
Comment here