Opini

Benarkah Utang Instrumen Penyelamat Rakyat dan Perekonomian? 

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Fina Ariyana, SE, Ak.

(Pemerhati Masalah Politik dan Ekonomi)

Utang luar negeri bukan saja bantuan cuma-cuma dengan sistem ribawi yang menempel dalam perjanjiannya. Utang luar negeri mengandung perjanjian lain yang disyaratkan di dalamnya.

Wacana-edukasi.com — Sri Mulyani Indrawati, Menteri Keuangan Republik Indonesia menyatakan akan mencari tambahan utang kembali pada semester II tahun 2021 sebesar Rp 515,1 triliun. Beliau menambahkan bahwa utang tersebut lebih rendah 18,6 % dari rencana Undang-Undang APBN 2021 (sindonews.com, 12/7/21)

Defisit APBN yang dirancang sebesar 5,7% membuat beliau harus berpikir keras untuk mencari tambahan utang dan menekan beberapa pengeluaran negara. Defisit APBN yang kian membengkak disebut-sebut akibat pandemi yang terus menggerogoti perekonomian secara berkepanjangan. Beliau menambahkan bahwa menyelamatkan nyawa manusia tidak bisa ditawar. Jadi Pemerintah harus menyediakan anggaran kesehatan sesuai kebutuhan penanganan pandemi (Kompas.com, 25/5/21)

Jika kita menilik ke belakang, selama pemerintahan presiden Jokowi baik di periode 1 maupun periode 2 telah mencatat lonjakan utang negara yang tinggi. Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan kekhawatirannya pada nilai utang pemerintah berikut bunga yang harus dibayar. Level utang negara saat ini sudah melebihi rasio wajar yang ditetapkan International Monetary Fund (IMF). Beberapa indikator menunjukkan betapa utang negara telah berada di level mengkhawatirkan. Rasio pembayaran bunga utang terhadap penerimaan negara pada 2020 sebesar 19,06%, padahal standar IMF 7-10%. Sedangkan rasio utang terhadap penerimaan negara pada 2020 mencapai 369%, padahal rekomendasi IMF 90-150% saja. (Kompas.com, 26/6/21)

Dalam realita negara-negara kapitalisme, APBN akan berpegang pada prinsip menjadikan pajak sebagai pendapatan utama negara. Swedia adalah negara dengan pungutan pajak tertinggi di dunia yaitu 57,19% penghasilan diserahkan kepada Negara. Seolah warga negaranya bekerja untuk disetorkan pada negara. Meski kemudian negara menyebut pajak adalah mekanisme distribusi kekayaan si Kaya kepada si Miskin. Di Indonesia sendiri struktur penerimaan APBN didominasi pajak. Tahun 2020 saja sebesar 89,3% dari total penerimaan APBN. Sisanya berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan hibah yang nilainya kecil. Selanjutnya, jika pajak dinilai tidak mampu mencukupi kebutuhan negaranya, maka defisit APBN akan ditutup dengan opsi pertama yaitu utang. Utang bisa diperoleh dari penerbitan surat berharga maupun utang luar negeri.

Utang luar negeri bukan saja bantuan cuma-cuma dengan sistem ribawi yang menempel dalam perjanjiannya. Utang luar negeri mengandung perjanjian lain yang disyaratkan di dalamnya. Dikutip dari kompasiana.com, Negara peminjam wajib menjalankan program penyesuaian struktural (SAP/Struktural Adjustment Program), yang terdiri dari komponen-komponen : Liberalisasi impor dan pelaksanaan aliran uang yang bebas. Devaluasi, dan kebijakan moneter dan fiskal dalam bentuk penghapusan subsidi, peningkatan suku bunga kredit, dan penekanan untuk tidak menaikan upah dan gaji.

Jelas syarat-syarat tersebut bukti bahwa lembaga utang dunia menjadikan utang sebagai alat penjajahan ekonomi liberalisme kapitalisme di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Negara dunia ketiga diberi arahan agar kebijakan perekonomian yang liberal dan menguntungkan para pemilik modal. Dengan kebijakan penghapusan subsidi misalnya, ini jelas merugikan rakyat kecil. Subsidi pendidikan dan kesehatan makin tak dapat diakses oleh rakyat kecil. Secara tidak sadar, bantuan utang tersebut telah menghapus kedaulatan negara yang dicengkeram kekuatan kapitalisme global. Negara tak ada lagi taring untuk melindungi dan mengurus warga negaranya sebab telah didikte untuk mengikuti skenario negara adidaya. Inilah bahayanya menjadikan utang sebagai solusi pertama. Alih-alih ingin menyelamatkan nyawa rakyat dengan menambah utang, malah membunuh perlahan rakyatnya dengan kebijakan kapitalisme yang mencekik rakyat.

Jauh berbeda dengan sistem ekonomi Islam. Daulah Islam tidak akan menggantungkan keuangan dalam negeri pada utang. Terlebih utang luar negeri kepada negara kafir harbi. Secara struktur, APBN daulah Islam terdiri dari pos-pos pendapatan dan pos pengeluaran yang diatur oleh hukum syara’. Pendapatan Daulah Islam terdiri dari tiga sumber. Yang pertama ialah pendapatan yang diperoleh dari aktivitas jihad fi sabilillah seperti ghanimah, fa’i, khums, kharaj, jizyah, ushr dan dharibah. Dari pos kharaj saja sangat besar pendapatan daulah islam mengingat luasnya wilayah daulah Islam. Jika setiap hektar tanah dikenai kharaj 1 dirham saja maka pos pendapatan kharaj terkumpul ratusan juta dirham.

Pendapatan kedua diperoleh dari sumber kekayaan alam yang merupakan milik umum namun dikelola oleh negara. Pendapatan ini sangat mencolok perbedaannya dengan sistem ekonomi kapitalisme yang menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta asing. Sedangkan Islam sepenuhnya menyerahkan pengelolaan kepada negara dan peruntukannya untuk kemaslahatan ummat.

Pendapatan ketiga diperoleh dari zakat dan harta-harta yang asalnya dari individu rakyat. Pos ini dipisah secara khusus untuk kelompok yang diatur oleh syara’ semisal zakat untuk delapan ashnaf saja.

Besarnya potensi pendapatan daulah khilafah islam menjadikan kecil kemungkinan bagi daulah Islam untuk mencari utangan pada negeri lain apalagi negeri kafir harbi. Sebab, itu  adalah termasuk bunuh diri politik. Tercatat dalam sejarah perekonomian Daulah Islam selalu gemilang sebab berkah yang Allah limpahkan dari langit dan bumi atas ketaqwaan individu maupun negara.

Pada masa Umar Bin Abdul Aziz sampai terjadi surplus zakat sebab tak ada lagi warganya yang merasa layak menerima zakat. Mereka semua berkecukupan. Meskipun paceklik pernah juga menjadi ujian pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Namun, solusi yang ditempuh adalah dengan mengirim surat pada gubernur di wilayah lain yang tak terdampak paceklik agar meminta bantuan mereka. Sebagai sesama muslim yang melihat saudaranya kelaparan maka dikirimlah bantuan yang sangat banyak dari Amr bin ash dan gubernur lain untuk membantu muslim di Madinah. Begitulah ketaqwaan yang diterapkan dalam level negara. Akan membebaskan manusia dari belenggu permasalahan yang datang menguji.

Jika negara mengalami defisit APBN, Khalifah juga akan memungut pajak dari para aghniya (orang-orang kaya) yang disebut dengan dharibah. Selain itu, Khalifah akan memangkas pengeluaran-pengeluaran yang tidak prioritas berdasarkan urutan maqasid syariah. Menyelamatkan jiwa rakyat dengan ketakwaan akan berbuah berkah. Sedangkan menyelamatkan jiwa rakyat dengan menambah utang yang kian menguatkan hegemoni kapitalisme adalah menambah masalah.

Wallahua’lam bish shawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 3

Comment here