Oleh: Chaya Yuliatri, S.S.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah.” (HR al-Hakim, al-Baihaqi dan ath-Thabrani)
Hadis tersebut sangat relevan dengan kondisi masyarakat yang saat ini kian rusak, kemaksiatan merajalela. Musibah dan bencana silih berganti datang menyapa.
Awal tahun 2021 berbagai bencana terjadi di tanah air. Diawali jatuhnya pesawat Sriwijaya SJ182 pada 9 Januari 2021, disusul longsor Cimanggung, Sumedang, yang menelan puluhan korban jiwa. Berselang satu pekan, Gempa bumi bermagnitudo 6,2 mengguncang Majene, Sulawesi Barat pada Jumat (15/1/2021). Belum kering air mata, banjir bandang merendam beberapa kota dan kabupaten di Kalimantan Selatan (news.detik.com, 17/1/2021).
Belum lagi, hingga saat ini banjir terus mengancam di berbagai wilayah Jakarta dan Semarang.
Bencana seakan-akan enggan meninggalkan bumi pertiwi. Tersebab zina yang kian merajalela. Jika dulunya zina dilakukan dengan malu-malu dan sembunyi, kini justru terang-terangan dan tanpa rasa malu. Bahkan, tak jarang didokumentasikan lewat video dan disebarluaskan. Terbukti banyaknya video mesum tersebar luas di media sosial. Dari sekadar ciuman, hingga melakukan hubungan badan layaknya suami istri. Miris, sebagian besar pelaku adalah para remaja yang masih berstatus pelajar. Bukan hanya remaja berseragam putih abu-abu, tetapi juga mereka yang masih mengenakan seragam putih merah (baca: SD). Seperti kasus video mesum siswa SD di Magetan yang sempat viral di Whatsapp (Surabaya.tribunnews.com, 19/7/2019).
Maraknya zina di kalangan pelajar terjadi akibat beberapa faktor. Pertama, adanya hak asasi pribadi (Personal Rights) yang tercantum dalam hak asasi manusia (HAM). Hak asasi ini berkaitan dengan kehidupan pribadi setiap manusia. Di dalamnya terdapat kebebasan berperilaku. Artinya, setiap orang bebas melakukan apa pun yang mereka inginkan tanpa terikat aturan tertentu. Hal ini dilakukan sebagai pembenaran melakukan seks bebas atas dasar suka sama suka. Di negara-negara Barat, seks bebas bukanlah hal yang tabu. Melakukan hubungan layaknya suami istri tanpa ikatan pernikahan adalah suatu hal yang wajar. Inilah yang diadopsi oleh generasi muda saat ini.
Berawal dari pacaran, berakhir hingga ke ranjang. Akhirnya, terjadi kehamilan yang tidak direncanakan dan biasanya berujung aborsi. Berdasarkan hasil penelitian Guttmacher Institute yang dikutip Solopos.com, Senin (17/2/2020), diperkirakan terjadi dua juta aborsi di Indonesia setiap tahun. Bahkan, Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS PA) pernah melakukan penelitian mengenai kasus aborsi yang diketuai oleh Arist Merdeka Sirait, dan hasilnya terdapat sebanyak 21% remaja atau satu dari lima remaja pernah melakukan aborsi.
Kedua, lemahnya iman akibat rendahnya pemahaman agama. Ini adalah dampak diterapkannya sistem sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Islam hanya dianggap sebagai agama ritual yang membahas seputar salat, zakat, puasa, dan haji. Akhirnya, generasi muda malas mengkaji agama, bersikap pasif dan apatis. Apalagi, bisa dikatakan bahwa generasi saat ini adalah generasi yang malas berpikir dan maunya serba instan.
Ketiga, lemahnya kontrol orang tua terhadap anak-anaknya. Saat ini ketahanan keluarga sedang mengalami goncangan berat. Para pegiat gender terus berupaya mengeksploitasi kaum perempuan dengan dalih kesetaraan. Kondisi ekonomi yang pas-pasan seringkali menjadi alasan para ibu berjibaku untuk menopang ekonomi keluarga. Hal ini, menyebabkan para ibu melalaikan tugasnya sebagai madrasah pertama anak-anaknya. Padahal, keluarga adalah lingkup pertama yang mengajarkan anak tentang pondasi beragama, yaitu akidah. Jika, fungsi ini diabaikan, maka akan melahirkan generasi miskin moral dan akhlak.
Keempat, absennya periayahan negara terhadap hak-hak rakyat. Salah satu penyebab zina merajalela adalah kemudahan mengakses konten-konten porno. Perkembangan teknologi tanpa diimbangi filter dari pemerintah, nyatanya lebih banyak membawa kemudaratan. Hanya bermodal smartphone, para remaja dengan mudah berseluncur di dunia maya dan menikmati konten-konten dewasa. Tak puas hanya menonton, akhirnya langsung dipraktikkan. Di sinilah urgensi peran negara untuk melindungi generasi dari budaya asing yang melanggar norma agama. Sayangnya, pemerintah tidak menanggapi serius permasalahan ini. Akhirnya, hanya membuat solusi tambal sulam. Padahal, akar permasalahan ini adalah sistem kapitalisme yang diemban oleh negara. Segala kebijakan dibuat tidak berorientasi pada kepentingan rakyat, tetapi kepentingan para kapitalis dan elite politik.
Kondisi ini berbanding terbalik dengan sistem Islam. Islam dengan tegas mengharamkan zina, dan memberikan sanksi yang tegas bagi para pelakunya. Selain itu, Islam juga mengatur interaksi pria dan wanita harus terpisah atau infishal. Islam juga memiliki seperangkat aturan untuk menutup pintu zina. Pertama, tidak diperbolehkan adanya ikhtilat atau campur baur antara pria dan wanita tanpa uzur syar’i. Kedua, larangan tegas untuk mendekati zina, misalnya pacaran. Pacaran adalah salah satu pembuka pintu zina. Karena, orang pacaran pasti sering berduaan atau berkhalwat. Akhirnya, tergelincir melampiaskan nafsu syahwat. Ketiga, menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Keempat, menikah bagi yang mampu, dan berpuasa bagi yang belum mampu.
Jelas sudah bahwa sistem kapitalisme sekuler adalah sumber seluruh permasalahan negeri ini. Semua musibah dan bencana adalah akibat dari manusia yang mencampakkan hukum Allah dan menuhankan aturan buatan manusia. Tiada solusi lain kecuali kembali kepada aturan Islam.
Wallahua’lam bishshawab
Views: 38
Comment here