Oleh: Sumariya (Anggota LISMA Bali)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari, menuturkan calon anggota legislatif (caleg) terpilih dalam Pemilu 2024, tidak perlu mengundurkan diri bila mengikuti Pilkada serentak 2024. Dia menjelaskan caleg terpilih yang wajib mundur dari jabatannya adalah anggota DPR/DPD/DPRD untuk jajaran provinsi/kabupaten/kota, Pemilu 2019 dan kembali terpilih dalam Pemilu 2024. (antaranews.com)
Suara rakyat kembali diburu untuk kursi panas Pilkada. Seperti biasanya, rakyat akan diberi janji manis tanpa bukti. Tak hanya itu, rakyat juga hanya disuguhi popularitas calon pemimpin tanpa tahu bagaimana kapabilitas kepemimpinannya.
Seperti yang terjadi di Bandung, setengah tahun menjelang hari H pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bandung, 27 November 2024 mendatang, sejumlah nama artis mulai muncul ke permukaan. Mereka tidak terang-terangan ingin mencalonkan kursi Bupati, namun lebih dibidik untuk posisi Wakil Bupati. (www.m.co.id)
Kontestasi Pilkada sejatinya bukanlah untuk kepentingan rakyat, namun demi kepentingan elit oligarki. Sudah banyak bukti setelah para pemimpin terpilih menjabat, mereka justru sibuk memperkaya diri dan golongan mereka. Kekuasaan digunakan untuk gaya hidup hedon ataupun memuluskan kepentingan bisnis mereka. Sementara itu, legalitas kekuasaan sistem Demokrasi, ditentukan oleh banyaknya suara. Untuk memperpanjang masa eksistensi kekuasaan, parpol mengusung orang-orang yang memiliki popularitas, artis misalnya.
Kapabilitas kepemimpinan bisa menjadi opsi kesekian atau bahkan di rekayasa dengan pelatihan singkat. Inilah satu keniscayaan dalam sistem Demokrasi, para elit oligarki berburu kedudukan sebagai penguasa, sebab kekuasaan menjadi sarana untuk meraih materi dan kedudukan atau prestis. Sejatinya, umat membutuhkan pemimpin yang amanah, lagi berjiwa ri’ayah (pengurus). Pemimpin tersebut tidak akan pernah lahir dari sistem batil bernama Demokrasi.
Pemimpin yang baik hanya akan lahir dari sistem shahih yakni sistem politik Islam, bernama sistem Khilafah. Pasalnya, Islam memiliki cara pandang khusus terkait kekuasaan, yakni sebuah amanah yang ber konsekuensi ri’ayah (pengurus) dan akan dimintai pertanggungjawaban baik di dunia maupun di akhirat. Karena itu, kekuasaan dalam sistem Khilafah bukan hal yang diperebutkan.
Rasulullah SAW bersabda:
“Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.
(HR. al-Bukhari)
Rasulullah SAW juga memberi peringatan bagi siapapun yang mendapatkan amanah kekuasaan agar berhati-hati, sebab kekuasaan bisa menjadikan seseorang mulia atau sebaliknya kekuasaan malah membuat seseorang itu hina.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya, orang yang paling dicintai Allah kelak dalam pada Hari Kiamat dan paling dekat tempat duduknya dengan Allah SWT adalah seorang pemimpin adil.
Adapun orang yang paling dibenci Allah kelak pada Hari Kiamat dan paling jauh tempat duduknya dengan Allah SWT adalah seorang pemimpin yang lalim.”
(HR. At-Tirmidzi)
Adapun terkait kepada daerah dalam sistem Khilafah, mereka dikenal dengan sebutan Wali atau Amil. Seorang Wali bertanggung jawab di wilayah (setingkat Provinsi). Wilayah setingkat Provinsi dibagi ke dalam beberapa imalah (setingkat Kabupaten), penanggung jawab imalah disebut Amil. Adapun wewenang dan syarat-syarat Amil itu, sebagaimana wewenang dan syarat seorang wali. Baik Wali atau Amil, mereka adalah wakil Khalifah (naib al-khalifah) untuk memerintah dan mengurus suatu daerah/negeri, dengan kata lain mereka adalah perpanjangan tangan Khalifah dalam me-ri’ayah rakyat, bukan penguasa tunggal daerah.
Adapun tata cara pemilihan kepala daerah dalam Islam berlangsung secara sederhana, cepat dan murah, efektif dan efisien, sebab kepala daerah (Wali/Amil) dipilih oleh Khalifah. Wewenang Wali dan Amil ditentukan oleh Khalifah dengan adanya akad tertentu antara keduanya. Kebijakan ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW ketika menjadi kepala negara Islam di Madinah.
Di dalam riwayat shahih dituturkan bahwa Rasulullah SAW pernah menunjuk Utab bin Usaid untuk menjadi Wali di Makkah setelah kota itu ditaklukan. Kemudian setelah masuk Islam, Badzan bin Sasan, diangkat menjadi Wali di Yaman. Beliau juga pernah mengangkat Mu’adz bin Jabal al-Khazraji untuk menjadi Wali di Janad. Khalid bin Walid menjadi Amil di Sun’a’, Ziyad bin Lubaid bin Tsa’labah al-Anshariy menjadi Wali di Hadramaut, Abu Musa al-Asy’ariy menjadi Wali di Zabid dan ‘Adn, ‘Amr bin al-‘Ash di Oman, Abu Dujanah menjadi Amil di Madinah dan lain sebagainya.
Untuk mencegah adanya penyelewengan hukum, seorang Wali bertanggung jawab di depan Khalifah dan Majelis Syura dan bisa dipecat oleh Khalifah, bila diadukan oleh Majelis Syura. Majelis Syura adalah perwakilan dari masyarakat wilayah setempat Wali atau Amil berkuasa. Dan perlu dipahami pula, kekuasaan dalam Islam hanya ditujukan untuk menegakkan hukum Allah SWT secara praktis dan amar makruf nahi munkar.
Imam Ibnu Taimiyah dalam Kitab Al-Hisbah, menyatakan “Sesungguhnya seluruh kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan agama Allah dan meninggikan kalimat-Nya, juga ditujukan untuk menegakkan amar makruf nahi munkar, sama saja apakah pada wilayah al-harbi al-kubra, seperti pendelegasian kekuasaan Negara, ataukah wilayah al-harbi al-shugh, seperti kekuasaan kepolisian, hukum atau kekuasaan maaliyah (harta), yakni kekuasaan-kekuasaan diwan-diwan keuangan maupun peradilan (hisbah).”
(Ibnu Taimiyah, Al-Hisbah, 1/9)
Tujuan yang demikian hanya bisa diwujudkan, manakala tugas pemerintahan didelegasikan kepada ahlut-taqwa (amanah) dan ahlul-kifayah (orang-orang yang memiliki kapabilitas). Untuk itu, prinsip umum pendelegasian tugas pemerintahan adalah ketakwaan dan kafa’ah, semua ini hanya akan terwujud manakala sistem Khilafah hadir di tengah-tengah umat.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 4
Comment here