wacana-edukasi.com, OPINI– Oleh: Sriyama (Relawan Media)
Sudah menjadi hal yang biasa, saat menjelang pilkada suara rakyat diburu untuk mendapat kursi kekuasaan. Tak luput, rakyat diberi janji-janji menggiurkan yang tak ada buktinya. Rakyat disuguhi berbagai popularitas para calon pemimpin yang tidak jelas kapabilitas kepemimpinannya.
Seperti yang terjadi di Bandung, setengah tahun menjelang hari H pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Bandung, 27 November 2024 mendatang. Sejumlah nama artis mulai muncul ke permukaan. Mereka tidak terang-terangan ingin mencalonkan kursi bupati, namun lebih dibidik untuk posisi wakil bupati (RRI [dot] co id, 10/05/2024).
/ Pemimpin Yang Amanah Mustahil Lahir Dalam Sistem Batil /
Kontestan setiap pilkada sejatinya bukan untuk kepentingan rakyat, namun lebih berpihak kepada para oligarki elit politik. Hal ini terlihat jelas, saat terpilih menduduki kursi kekuasaan atau sebagai pejabat negara, justru sibuk memperkaya diri beserta para anggotanya yang mensuport dana pada saat mencalonkan.
Kekuasaan dimanfaatkan untuk kehidupan hedonisme dan berfoya-foya serta memuluskan kepentingan jalan bisnis mereka. Sementara legalitas kekuasaan dalam sistem demokrasi ditentukan oleh banyaknya suara. Dalam rangga memperpanjang masa eksistensi kekuasaan, maka para parpol menggandeng orang-orang yang punya popularitas artis misalnya. Jelas kapabilitas kepemimpinan menjadi sesuatu yang diabaikan atau bisa mungkin direkayasa dengan berbagai pelatihan singkat.
Inilah suatu gambaran dalam sistem demokrasi. Para elit politik dan oligarki memburu kedudukan sebagai kekuasaan, sebab kekuasaan adalah sebagai sarana meraih sebanyak-banyaknya materi dan kedudukan. Padahal rakyat sangat membutuhkan pemimpin amanah yang bisa mengayomi, melindungi dan melayani. Sejatinya pemimpin yang amanah tidak akan pernah lahir dalam sistem demokrasi buatan manusia yang batil dan menyengsarakan rakyatnya.
Pemimpin Yang Amanah Hanya Lahir Dalam Sistem Yang Shahih Yakni Islam
Sejatinya pemimpin yang amanah tentu lahir dari sistem yang shahih yakni sistem dari Allah Sang Pencipta manusia dan alam semesta yakni sistem pemerintahan Islam. Hal ini karena Islam memiliki cara pandang khusus terkait kekuasaan yaitu sebuah amanah dengan konsekuensi ri’ayah atau pengurusan terhadap rakyatnya. Islam pun memandang bahwa kepemimpinan juga akan dimintai pertanggung jawaban di dunia maupun di akherat.
Oleh karena itu kekuasaan dalam sistem politik Islam bukan sesuatu yang perlu diperebutkan seperti hal sistem hari ini. Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Imam atau kholifah adalah raa’in atau pengurus urusan rakyat dan Ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR.al- Bukhari).
Selain itu Rasulullah Saw telah memberikan peringatan pada siapapun yang mendapatkan amanah kekuasaan agar berhati-hati, sebab kekuasaan atau jabatan bisa menjadikan orang itu mulia juga menjadikan orang itu tercela dan hina.
Adapun terkait dengan kepala daerah dalam sistem Islam mereka di kenal dengan sebut wali atau amil, seorang wali bertanggung jawab di wilayah setingkat propinsi. Wilayah propinsi dibagi menjadi beberapa imalah atau setingkat kabupaten, penanggung jawab imalah disebut amil.
Adapun wewenang dan syarat-syarat amil, sebagaimana wewenang dan syarat seorang wali, baik wali maupun amil mereka adalah wakil dari pada khalifah untuk memerintah dan mengurus suatu daerah atau negeri. Oleh karenanya mereka adalah perpanjangan tangan khalifah untuk meri’ayah atau mengurusi rakyat, bukan penguasa tunggal daerah.
Tata cara pemilihan seorang kepala daerah dilakukan dengan cara yang sederhana, simpel , murah, efektif dan efesien. Kepala daerah wali maupun amil dipilih langsung oleh Khalifah. Wewenang wali atau amil ditentukan oleh khalifah, dengan adanya akad tertentu antara keduanya.
Kebijakan ini sebagaimana yang telah di lakukan oleh Rasulullah Saw ketika menjadi kepala negara Islam di Madinah, dalam riwayat shahih dituturkan bahwa Rasulullah Saw pernah menunjuk Utab bin Usaid untuk menjadi wali di Mekah setelah kota itu ditaklukan. Kemudian setelah masuk Islam Badzan bin Sasan diangkat menjadi wali di Yaman.
Selain itu Beliau pernah mengangkat Muadz bin Jabbal al-Khazraji menjadi wali di Janad, Khalid bin Walid menjadi amil di Shun’a, Ziyad bin Lubaid bin Sa’labah al-Anshariy menjadi wali di Hadramaut, Abu Musa al-Asy’ariy menjadi wali di Zabid dan ‘Adn, Amr bin al-Ash di Oman, Abu Dujanah menjadi amil di Madinah dan lain sebagainya.
Adapun untuk mencegah terjadinya penyelewengan hukum, seorang wali bertanggung jawab di depan Khalifah dan majelis syura dan bisa dipecat oleh Khalifah jika di adukan oleh majelis syura. Majelis syura adalah perwakilan dari masyarakat wilayah setempat wali atau amil berkuasa.
Yang perlu dipahami bahwa kekuasaan Islam hanya ditujukan untuk menegakan hukum Allah Ta’ala secara praktis dan amar ma’ruf nahi mungkar. Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya al-Hisbah mengatakan, “Sesungguhnya seluruhnya kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan agama Allah dan meninggikan Kalimatnya. Juga di tunjukan untuk menegakan amar ma’ruf nahi mungkar, sama saja apakah pada wilayah al-Harbi al-Kubro seperti pendelegasian kekuasaan negara. Ataukah wilayah al-Harbi al-Kubro seperti kekuasaan kepolisian, hukum, atau kekuasaan malyah atau harta, yakni kekuasaan diwan-diwan keuangan maupun peradilan atau hisbah”, Ibnu Taimiyah al-Hisbah 1/9.
Tujuan yang demikian hanya bisa diwujudkan manakala tugas pemerintahan didelegasikan kepada ahlul-taqwa atau amanah dan ahlul kifayah yakni orang-orang yang memiliki kapabilitas. Prinsip umum pendelegasian tugas pemerintahan adalah ketaqwaan dan kaffa’ah. Hal ini hanya bisa terwujud jika sistem Islam hadir di tengah-tengah umat. Walahualam bhishowab[]
Views: 19
Comment here