Oleh : Habiba Mufida (Pegiat Literasi)
wacana-edukasi.com, OPINI– Miris! Kembali terjadi kekerasan di pesantren. Setelah sebelumnya, kekerasan di Gontor hingga menyebabkan kematian santrinya. Baru-baru ini, berita kekerasan di pesantren juga terjadi di salah satu pondok pesantren di Malang, Jawa Timur. Sebagaimana diberitakan, belum usai kasus bullying yang terjadi di Pondok Pesantren (Ponpes) Annur 1 Bululawang, Kabupaten Malang. Kini, terjadi kembali kasus perundungan di Ponpes Annur 2 Bululawang terhadap inisial DF yang berusia 13 tahun.(mediaindonesia.com)
Sebelumnya, juga ada pengeroyokan di Ponpes Darul Qur’an Lantaburo, Cipondoh, Tangerang, pada Agustus lalu. Salah satu santri meninggal dunia diduga akibat dikeroyok. Polisi telah menetapkan 12 santri sebagai tersangka dalam kasus ini. Pada bulan yang sama, perkelahian di Ponpes Daar El-Qolam Tangerang menyebabkan seorang santri meninggal dunia usai berkelahi dengan temannya di lingkungan pondok.
Sangat menyedihkan, padahal lembaga pendidikan pesantren merupakan lembaga pendidikan yang diharapkan bisa mencetak santri yang bisa memberikan manfaat bagi masyarakat. Pesantren juga diharapkan bisa menjadi wadah pencetak pemimpin bagi umat. Sistem pendidikan pesantren juga telah ada sejak sebelum Indonesia merdeka. Bahkan, kiai dan santri berjuang di garis terdepan dalam mengusir penjajah di tanah air. Tak bisa dipungkiri, pondok pesantren memiliki andil besar dalam kemerdekaan Indonesia serta terus mewarnai perjalanan negeri ini.
Namun, seiring dengan perjalanannya pula berbagai persoalan akhirnya muncul di dunia pendidikan kita termasuk di pesantren. Patut dipertanyakan, mengapa di lembaga pendidikan berbasis agama masih terjadi kekerasan? Mengapa santri saat ini seolah kehilangan identitas diri, menjadi arogan sehingga emosinya tidak terkontrol?
*Kekerasan Tidak Hanya Terjadi di Pesantren*
Nyatanya, perundungan dan kekerasan tidak hanya terjadi di pesantren atau di lembaga yang berbasis agama. Sepanjang tahun kekerasan juga terjadi di berbagai lembaga non-pesantren. Berdasarkan data dari Pengaduan anak kepada Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait perundungan (bullying) bisa dikatakan seperti fenomena gunung es. Artinya, masih sedikit yang terlihat di permukaan yakni jumlah kasus yang dilaporkan. Sementara itu, di bawahnya masih tersimpan kasus-kasus lain yang besar namun tidak dilaporkan.
Meskipun jika dibandingkan jumlah pesantren di seluruh Indonesia yang berjumlah 26.975, kejadian di satu atau dua pesantren tidak mencerminkan wajah pondok pesantren secara keseluruhan. Namun demikian, kita tidak boleh memaklumi kejadian kekerasan di beberapa pesantren. Kasus kekerasan yang terjadi di berbagai pesantren menunjukkan bahwa masalah ini tidaklah sederhana, namun bersifat sistematis. Begitu juga, kita tidak bisa menyalahkan individu santri semata atau keluarga juga institusi pesantren semata.
Kita ketahui, santri sebelum di pesantren berada di sebuah lingkungan baik rumah, sekolah ataupun masyarakat dengan segala kondisinya saat ini yang berlandaskan kapitalisme-sekuler. Seringpula, ada anggapan bahwa anak dimasukkan ke pesantren untuk mencuci anak yang sebelumnya nakal menjadi anak yang baik menurut persepsi orang tua. Tanpa diberikan pemahaman bahwa pendidikan pesantren merupakan wadah untuk menempa diri menjadi insan yang sholeh dan tangguh.
Sistem kehidupan di mana pesantren ada saat ini sedang terus diarahkan menuju arah pemikiran liberal bahkan dengan program moderasinya. Hal inilah yang menjadikan kehidupan umat Islam menganut gaya hidup bebas serta rentan stres sosial karena mengukur segala sesuatu dengan materi. Hal ini pula yang memicu seseorang mudah terpancing amarah hingga hilang akal dan melakukan sesuatu di luar nalar hingga bisa menghilangkan nyawa manusia. Astaghfirullah.
Media massa saat ini juga tidak digunakan untuk media edukasi justru memprovokasi generasi muda, tidak terkecuali para santri. Media dipenuhi dengan dengan berbagai konten “sampah” yang merusak untuk hidup dengan standar gaya hidup materialistis. Bahkan, ketika mereka pulang dari pesantren, mereka disuguhi dengan game, video, youtube, dll. Ditambah dengan pola asuh orang tua yang juga sekuler, materialistik dan miskin kasih sayang. Akibatnya, banyak santri yang menyelesaikan setiap permasalaham dengan serba instan, tanpa proses yang bijak, serta cenderung dengan kekerasan.
*Pengaruh Moderasi Beragama di Pesantren*
Program moderasi beragama bukan hanya diaruskan di sekolah umum, tetapi juga diarahkan di lembaga pendidikan pesantren. Moderasi mengarahkan pola berfikir para santri menjadi moderat yang menganggap semua agama sama dan sangat terbuka dengan nilai-nilai barat. Bahkan, orientasi pendidikan saat ini telah berubah hanya sekedar mengejar ketrampilan dan gelar semata.
Fokus Pendidikan pesantren yang harusnya adalah mencetak ulama yang faham betul terhadap agamanya, beramal sesuai dengan ilmu yang didapatkan, juga terdepan di dalam amar ma’ruf nahi mungkar. Namun semua itu telah dikebiri. Saat ini, bisa kita amati pesantren hanya menjadi pencetak pekerja dan wirausaha demi mendongkrak perekonomian bangsa yang telah ambruk akibat ekonomi kapitalisme. Mirisnya, saat ini santri yang terlalu dekat dengan agama, justru rentan distigma radikal dan ekstrem.
Di sisi lain, peran negara telah terkooptasi oleh paradigma sekuler-kapitalistik yang diembannya. Menjadikan fungsi strategis negara tersandera oleh kepentingan pemilik modal. Mereka tak mengurusi bagaimana kebutuhan pokok rakyat bisa dipenuhi semunya. Hasilnya, individu dan keluarga saat ini berjalan tanpa pegangan. Bahkan, beban ekonomi yang makin berat menjadi alasan mereka masuk dalam berbagai tindak amoral.
*Diperlukan Solusi Sistematik dan Komprehensif*
Jika kita melihat bahwa kondisi saat ini adalah akibat penerapan sistem kapitalis-sekuler, maka sejatinya hanya dengan Islam lah semua kondisi ini akan bisa terselesaikan. Islam sudah seharusnya menjadi asas berpikir dan beramal bagi semua pihak, meliputi para santri, orang tua, masyarakat dan juga negara. Proses pendidikan di dalam Islam adalah pendidikan dengan metode yang menjadikan ilmu menjadi pemahaman dengan proses berfikir, bukan sekedar dihafalkan. Dengan proses pendidikan ini akan menjadikan seseorang dengan kepribadian Islam sehingga memiliki pola pikir dan pola sikap islami sehingga mencegah hal-hal yang mengarah kepada kekerasan.
Dalam Islam, perundungan hingga kekerasan bisa terkategori perilaku yang dilarang atau diharamkan. Sebagaiman dalam QS Al-Hujurat: 11 dinyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olok) itu lebih baik dari wanita (yang mengolok-olok) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, mereka itulah orang-orang yang zalim.”
Islam juga memerintahkan setiap muslim memiliki sifat kasih sayang terhadap sesama muslim. Rasulullah saw. bersabda, “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam mencintai, saling mengasihi dan saling menyokong satu sama lain itu bagaikan satu tubuh. Jika satu tubuh sakit, maka seluruh bagian tubuh yang lainnya akan merasakan sakit.” (HR Muslim)
Jika, ada kasus kekerasan kepada sesama maka Islam memiliki sistem sanksi yang bersifat jawabir dan zawajir. Artinya, sistem Islam memiliki sifat untuk mencegah dan memberi efek jera. Penganiyaan di dalam Islam memiliki sanksi yang tegas, di antaranya dijelaskan dalam QS. Al-baqoroh: 178-179, yaitu berupa jinayah yang ditujukan atas penganiayaan terhadap badan yang mewajibkan kisas (balasan setimpal) atau diat (denda). Penganiayaan ini mencakup penganiayaan terhadap jiwa dan anggota tubuh.
Dengan sistem pendidikan yang berasas aqidah Islam dan didukung dengan sistem politik dan ekonomi Islam maka akan terwujud sistem pendidikan yang kondusif. Begitu juga ketika sistem media bisa diarahkan sesuai fungsinya yakni untuk memberikan informasi dan pendidikan bukan menyebarkan ide sekuler-liberal maka remaja akan didukung menjadi remaja yang berkepribadian yang benar. Begitu juga sistem sanksi yang adil akan mencegah adanya pelanggaran lanjutan. Demikianlah semua hanya akan terwujud dengan adanya penerapan islam secara komprehensif, Wallahu A’lam bi showab.
Views: 13
Comment here