wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Ibadah haji adalah rukun Islam kelima yang wajib dilaksanakan bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat, baik secara materi maupun fisik yang kuat. Orang Islam tentunya ingin menyempurnakan keislamannya dengan dengan menunaikan ibadah haji ke Baitullah.
Namun faktanya di negeri tercinta, warganya tidak mudah untuk melaksanakan perjalanan spiritual yang panjang ini. Polemik haji dari tahun ke tahun semakin mencengangkan. Rumitnya regulasi pelaksanaan ibadah haji menjadi catatan. Semenjak pandemi, pelaksanaannya haji dibatalkan, pembatasan kuota, visa, akomodasi, dan lainnya. Ditambah antrean haji kian mengular hingga puluhan tahun. Terlebih dalam hal pemanfaatan dana haji. Dari mulai rencana pemerintah Indonesia menginvestasikan dana haji ke proyek infrastruktur. Kenaikan biaya haji yang semakin melangit dari tahun ke tahun.
Bahkan tahun ini pelaksanaan haji kian kontroversi. Dikutip dari CNBC Indonesia (20/01/2023), Kementerian Agama (Kemenag) bersama Komisi VIII DPR melakukan rapat membahas mengenai biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH). Dalam rapat tersebut, Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholis Qoumas mengusulkan biaya perjalanan ibadah haji (Bipih) 2023 senilai Rp.69 juta. BPIH meliputi biaya penerbangan, visa, biaya hidup, dan sebagian akomodasi di Mekkah dan Madinah. Bipih adalah biaya yang harus jemaah haji bayarkan, sementara BIPH adalah biaya keseluruhan penyelenggaraan haji pada tahun tersebut.
Nominal ini merupakan 70 % dari usulan BPIH 2022 yang mencapai Rp 98.893.909,11 atau naik Rp514.888,02 (59,46%) dibandingkan tahun lalu. Menag Yaqut, menerangkan usulan biaya haji 2023 mengalami perubahan signifikan atas pertimbangan untuk memenuhi prinsip keadilan dan keberlangsungan dana haji. Formulasi telah melalui proses kajian untuk menjaga keberlangsungan dana nilai manfaat di masa depan. (www.cnbcindonesia.com, 22/01/2023)
Mengamati kenaikan biaya haji yang kian melambung, tentu menimbulkan pertanyaan akan komitmen negara memudahkan ibadah rakyatnya yang mayoritas muslim. Di tengah kesulitan ekonomi, negara seharusnya memfasilitasi rakyat agar lebih mudah beribadah. Kenaikan biaya justru menimbulkan dugaan adanya kapitalisasi ibadah, keberadaan dana umat dipertanyakan. Tidak sedikit yang menduga negara mencari keuntungan dari dana haji rakyat.
Sungguh disayangkan di tengah tingginya niat suci untuk mengunjugi Tanah Haram, malah harus ternodai dengan pengelolaan dana haji dan penyelenggaran haji yang mengarah kepada spirit bisnis ala kapitalisme sekulerisme. Dana besar yang berasal dari umat semakin menggiurkan untuk menjalankan prinsip-prinsip investasi dalam sistem kapitalistik.
Terlebih jika dilihat dari UU 34/2014, wewenang BPKH dalam pengelolaan keuangan haji, BPKH tidak hanya mengelola penerimaan dana haji, melainkan juga pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawabannya. Maka berdampak pada hitung-hitungan untung-rugi, dalam pengelolaannya. Alhasil, meningkatkanya biaya haji bukan semata karena kurs rupiah, melainkan konsekuensi dari spirit bisnis dalam pengelolaan dana.
Mahalnya biaya haji hanyalah dampak dari rantai kepentingan kapitalis dalam pengurusan haji. Dalam pandangan kapitalisme penyelenggaraan ibadah haji menjadi ladang bisnis yang kemudian dieksploitasi, mulai dari bisnis transportasi, perhotelan, catering, sampai jasa perizinan, termasuk jasa pembimbingan dan yang lainnya.
Hal ini tidak akan terjadi, jika kita merujuk pada solusi Islam. Institusi pemerintahan Islam menaungi negeri-negeri muslim merupakan satu-kesatuan. Termasuk Tanah Haram yang merupakan tanah seluruh kaum muslim. Maka tidak boleh adanya komersialisasi penyelenggaraan haji oleh pihak mana pun. Jemaah haji dari berbagai negara dilayani sebaik-baiknya sebagai tamu-tamu Allah tanpa ada unsur bisnis dan mengambil keuntungan dari ibadah haji. Semua merupakan kewajiban negara yang harus dijalankan.
Ibadah haji dilaksanakan sesuai prinsip syariat yang diperintahkan Allah swt. Khilafah akan memberikan pelayanan maksimal kepada para jemaah, membangun infrastuktur serta menyediakan berbagai fasilitas sebagai bentuk ri’ayatu syu’un al-hujjaj wa al-‘ummar (mengurusi urusan jamaah haji dan umrah). Opsi rute akan dibuka, baik rute darat, laut, dan udara. Begitu juga Khalifah akan mengatur kuota haji dan umrah. Kewajiban haji hanya berlaku sekali seumur hidup dan hanya berlaku bagi mereka yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Semua aktivitas itu dilakukan dengan prinsip ri’ayah (pelayanan), bukan bersifat komersil atau mengambil keuntungan dari Jemaah . Maka prinsip syariat yang diterapkan dalam penyelenggaraan haji akan efisien dan berkah bagi seluruh kaum muslim.
Oleh Yulia Hastuti, SE, M.Si
Views: 15
Comment here