Bahasa dan SastraCerpen

Bisikan Merusak

blank
Bagikan di media sosialmu

Karya: Eva Liana

Wacana-edukasi.com — Rutinitas dinas pagi, setelah mengisi presensi kerja di station nurse dan mengiringi visite dokter, kujalani dengan perasaan tidak biasa. Aku mengkhawatirkan seorang pasien luka bakar yang unik. Teman aplusan dinas malam mengabarkan bahwa pasien itu berteriak-teriak tadi malam. Untungnya tidak mengamuk seperti awal masuk.

“Tidak terlihat indikasi ingin suicide lagi, kan?” tanyaku pada Nurse Rona, yang bersiap pulang setelah dinas malam.

“Sejauh ini stabil, sih, Kak. Malam tadi, dia bilang ada suara-suara aneh yang mengganggu tidurnya. Terus kami beri obat tidur dan antidepresan sesuai instruksi dokter. Tapi Kak Nayla tetap harus hati-hati, ya.”

Aku mengangguk sambil menyiapkan satu set instrumen bedah untuk keperluan merawat luka bakar. Rekan setimku yang dinas pagi itu, sudah bergerilya ke ruangan pasien yang menjadi tanggung jawab mereka masing-masing.

Kumasuki bangsal bedah yang terkategori kelas tiga. Tempat berkapasitas enam bed itu, kebetulan pagi ini hanya terisi satu pasien. Dia, hanyalah seorang ibu muda dengan tatapan kosong.

“Nyeri, Bu?” tanyaku sambil mengoleskan lembut kain kasa yang dibaluri salep Bioplacenton ke atas permukaan kulit leher yang mulai mengering dari luka bakar hari kesepuluh.

Ia berkedip, mengiyakan, menggantikan anggukan sulit. Dagunya telah menyatu dengan dada. Nyaris tak ada cekungan leher yang dulunya jenjang, seperti foto diri yang kulihat di KTP-nya.

Derita luka bakar hebat sepanjang dagu, leher sampai ke perut, meninggalkan parut penyembuhan yang menebal. Hipertrofi istilahnya. Tak hanya itu, penebalan itu merekatkan dagu dan leher, sehingga ia jadi mirip katak raksasa.

Pada awal masuk di ruang bedah rumah sakit ini, tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Seandainya ia tidak mendesis nyeri tiap kali lukanya dibersihkan, kami, para perawat, pasti akan mengira fungsi berbicaranya terganggu. Ternyata ia masih beruntung. Api lampu teplok tidak melahap pita suaranya pula. Beruntung? Ya. Setidaknya wajah manisnya tidak rusak. Dan ia masih bisa bicara serta merespons sesuatu.

“Apakah saya masih bisa sembuh?” sengaunya dengan mata berkaca-kaca.

“Insya Allah, Bu.” Aku memberikan senyuman tulus. “Asalkan dirawat dengan baik.”

“Tapi bekas lukanya ….” Mata yang dinaungi bulu lentik berkedip-kedip. Meruntuhkan setetes bening.

Aku terdiam sejenak. Mencari kalimat supportif yang tepat dengan kondisinya. Kartu BPJS dengan fasilitas kelas tiga, tak menjamin operasi bedah plastik untuk kasus kecelakaan yang disengaja seperti ini.

Ya, disengaja.

Apalagi yang bisa kukatakan? Kronologis terpampang jelas di register medik, dari para saksi. Ditambah bukti sebuah lampu teplok yang kacanya pecah. Ibu muda ini, telah menyiram dirinya sendiri dengan bensin, lalu melemparkan lampu teplok yang menyala ke tubuhnya.

“Bukan salah saya, Bu ….” Ia menghiba, minta dimengerti.

“Ibu mau bercerita?” Aku duduk di sampingnya. Memperlihatkan sikap sabar, tak terburu-buru. Padahal aku begitu ingin tahu dari versinya sendiri, penyebab kecelakaan ini. Selama sepuluh hari, ia menutup diri. Hanya bicara satu dua patah kata. Itu pun sekadar respons terhadap tindakan medis untuk perawatan lukanya saja. Baru hari ini satu kalimat lebih dari tiga kata meluncur dari mulutnya.

“Ada yang sering membisiki saya.” Akhirnya ia memberikan pengakuan.

“Oh, ya?” Aku menunjukkan sikap tertarik. Menyentuh tangannya. “Siapa yang membisiki?”

“Entahlah, Bu. Bisikan-bisikan itu sering muncul di pikiran jika saya sedang banyak masalah. Dan terakhir, bisikan itu mengatakan hidup saya sia-sia, dan lebih baik saya membakar diri untuk membuang sial.”

Aku tertegun.

Menurut penuturan saksi mata dari keluarga, ibu muda ini membakar diri untuk mencari perhatian suaminya. Suami yang berpoligami dengan zalim, karena melepaskan tanggung jawab menafkahi.

“Suami saya bilang, saya ini gila karena sering bicara sendiri. Gara-gara itu dia kawin lagi! Padahal saya tidak gila, Bu. Suara-suara itu memang ada. Sangat jelas.” Air matanya semakin deras mengalir seiring kata-katanya.

Aku kehilangan kata-kata. Memutuskan untuk menjadi pendengar setia. Menyadari, bahwa yang kuhadapi bukan sekadar pasien dengan luka bakar, tetapi seseorang yang sedang terganggu jiwanya. Entah sebesar apa pukulan yang dihadapinya jika kelak kembali ke tengah masyarakat dengan kecacatan penampilannya sekarang.

Ingatanku terhubung dengan pelajaran psikologi dalam mata kuliah Ilmu Keperawatan Jiwa saat di akademi dulu.

Ibu muda ini tampaknya mengalami halusinasi dengar. Sebuah gangguan perilaku, yang merupakan salah satu dari sekian jenis halusinasi penginderaan lainnya.

Ia selalu merasa mendengar suara yang membicarakan, mengejek, mengancam, padahal tidak ada sumber dari sekitarnya. Tingkat halusinasinya sudah parah karena mendorongnya untuk melukai diri sendiri. Bahkan dikhawatirkan bisa merusak orang lain.

Aku ingat, penyebab gangguan perilaku ini adalah ketegangan jiwa yang tak teratasi, sehingga timbul kecemasan dan depresi. Jika kecemasan meningkat, terjadi penurunan kemampuan berpikir. Bingung membedakan antara realitas dan khayalan.

Pada fase awal, kecemasan, stress, perasaan dibuang dan kesepian, akan mendorong penderita melamun atau mengalihkan pikiran pada hal yang menyenangkan untuk menghilangkan kecemasan. Bisa dengan mengkhayal, jalan-jalan, atau mencandu narkoba. Sementara, masalahnya sendiri tak berusaha untuk diselesaikan. Pada fase ini, ia masih bisa mengontrol kesadaran dan diajak komunikasi.

Ketika berkembang menjadi kronik, ia akan tenggelam dalam halusinasi, terputus koneksi dengan dunia luar. Dan berada di bawah kontrol halusinasi.

Sumber kecemasan bisa berupa tekanan ekonomi, merasa terancam, tuntutan gaya hidup, bullying, dan lain-lain, termasuk tekanan sistem sekuler kapitalistik.

Ini semua karena lemahnya prinsip mendasar yang bernama iman atau keyakinan terhadap ketetapan Yang Maha Kuasa. Menyebabkan ketidaktahuan dan ketidaksiapan menghadapi berbagai persoalan hidup. Masyarakat yang cenderung individualistik turut meninggikan tingkat stress. Menurunnya rasa saling peduli. Sebagian tolong menolong atau nasihat menasihati hanya karena manfaat. Memperparah penyimpangan perilaku yang dialami seseorang dengan halusinasi.

Selain itu, persoalan sistemik berantai yang tak kunjung usai, memicu depresi yang menyebabkan gangguan halusinasi cenderung berulang. Kambuh dan kambuh lagi. Dan gejala ini terlihat pula pada kasus gangguan jiwa lainnya, seperti elgebete.

“Jadi, saya tidak salah, ‘kan, Bu?” Suara si ibu muda memecah lamunanku.

Seulas senyum terbit di bibirku. Genggaman pada tangannya kupererat. Ia tampak terhibur. Air matanya telah lama surut.

“Tidak ada yang salah dalam ketetapan Allah,” sahutku lembut, tapi dengan batin gemetar. “Ibu menderita sakit karena luka, tidaklah akan dihitung sebagai dosa. Tetapi yang akan dinilai adalah tindakan melukai diri. Dan itu tidak disukai Allah. Jika suatu perbuatan tidak disukai Allah, maka perbuatan itu pasti tidak benar.”

Si ibu muda terdiam sesaat, meresapi kata-kataku.

“Bisikan itu yang memaksa saya …,” ungkapnya lagi, setengah membela diri.

“Bu, pian jelas tak ingin kejadian seperti ini terulang lagi, ‘kan?”

Ibu itu mengedip-ngedipkan matanya. Mengekspresikan antusias untuk menggantikan anggukan kuat.

“Maukah pian belajar mengendalikannya?”

“Tentu mau, Bu ….” Matanya berkilauan.

Aku terharu, tahu semangatnya mulai bangkit. Serasa ada yang terangkat dari dada ini. Pendekatan selama sepuluh hari sudah menunjukkan titik cahaya. Gerbang tembok depresinya sedikit demi sedikit telah menunjukkan celah.

“Jika bisikan itu datang lagi, sampaikan ke saya, ya, Bu. Izinkan saya membantu Ibu untuk menghadapinya.”

“Berat, Bu …. Ini saja saya udah mulai dibisiki. Katanya, saya tak mungkin sembuh.” Matanya tampak menerawang ke langit-langit kamar. “Apa lagi kondisi saya seperti ini.”

“Bu,” panggil saya sungguh-sungguh. “Tak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Pian percaya saya?”

Tatapan matanya beralih. Kami berpandangan sesaat. Lalu ia tersenyum. Membalas genggamanku.

Sungguh, sebuah kebahagiaan bagiku, ketika dipercaya oleh seseorang sebagai tempatnya berbagi. Satu lagi peluang pahala, insya Allah akan kudapatkan hari ini. Semoga bisa menjadi wasilah hidayah, yang nilainya lebih dari seekor unta merah.

**

Kandangan, HSS, November 2020

 

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 7

Comment here