wacana-edukasi.com– Hampir 2 tahun sudah pandemi mengubah hidup kita. Memberikan dampak yang signifikan disegala lini kehidupan. Mulai dari ibadah yang dilakukan dengan segala macam pembatasan, para pekerja yang kehilangan pekerjaan dan berdampak pada kondisi ekonomi masyarakat.
Kondisi tersebut membuat masyarakat mencoba untuk memutar otak. Mencari jalan agar tetap menghasilkan cuan ditengah kondisi yang mencekam. Bukan hanya mereka yang terjepit keadaan yang mencoba memutar otak, namun juga mereka yang mencari keuntungan dengan memanfaatkan keadaan.
Banyak jenis bisnis yang bermunculan dimasa pandemi ini. Dari sekian banyak bisnis, salah satu bisnis yang menjanjikan adalah berbisnis PCR, yang belakangan ini menuai sorotan dari masyarakat.
Pasalnya, bisnis PCR melibatkan beberapa pejabat yang notabenenya merupakan pengambil kebijakan dalam penangan pandemi Covid-19. Belum lagi, kebijakan yang diberlakukan untuk penanganan Covid-19 yang mewajibkan melakukan tes PCR ataupun antigen bagi pengendara yang menempuh jarak minimal 250 km. Dengan ketentuan PCR diambil 3×24 jam sebelum keberangkatan dan tes antigen 1×24 jam sebelum keberangkatan. Lantas, timbul pertanyaan. Benarkah peraturan tersebut diambil demi kepentingan kesehatan atau keuntungan?
Sangat disayangkan jika pengambilan keputusan publik dicampuradukkan dengan kepentingan beberapa golongan.
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pusat, Cholil Nafis, memberikan tanggapannya mengenai berita tersebut di akun twitternya. “Bisnis itu sunnah Nabi saw. Tapi, mengeksploitasi Covid-19 untuk bisnis PCR bahkan sengaja bikin kebijakan untuk kepentingan bisnis itu kezaliman,” kata Cholil di akun twitternya pada selasa (2/11/2021).
Tidak heran rasanya jika di negeri ini sering kali terjadi hal-hal demikian karena memang dasarnya kita hidup di sistem kapitalis yang menilai segala sesuatu atas dasar materi dan keuntungan semata bahkan tidak lagi memandang halal ataukah haram.
Oleh karena itu, kita membutuhkan sebuah sistem untuk mengatur kehidupan bernegara yang mementingkan kepentingan umat dibanding kepentingan segelintir golongan. Sistem tersebut tidak lain adalah sistem yang bersandar pada syariat Islam. Kita dapat berkiblat, bagaimana ketika sistem Islam diterapkan di muka bumi yang bertahan selama berabad-abad.
Jauh sebelum pandemi Covid-19, telah terjadi banyak wabah virus yang mengerikan, salah satunya wabah virus ‘Amwas terjadi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dan sedikitnya menelan korban 25.000 jiwa.
Dalam menangani wabah tersebut, Kalifah Umar bin Khattab melakukan beberapa kebijakan, antara lain:
Pertama, musyawarah. Khalifah Umar melakukan musyawarah dengan pemimpin-pemimpin Syam untuk mengambil langkah dalam menghadapi wabah untuk menyelamatkan umat.
Kedua, lockdown. Khalifah Umar mengambil kebijakan untuk tidak memasuki wilayah yang terjangkit virus.
Ketiga, menerima masukan dari bawahan. Kalifah Umar menerima keputusan Amru bis Ash tatkala waktu-waktu mendesak. Dalam artian bahwa, Khalifah Umar bin Khattab menerima segala kebijakan selama itu bermanfaat untuk umat manusia, tanpa ada kepentingan sepihak.
Keempat, memberikan bantuan sosial. Khalifah Umar berangkat dari Madinah menuju Syam untuk melihat dan membersamai keluarga korban, memberikan bantuan yang selama pandemi dan setelahnya tentu terjadi kemerosotan ekonomi.
Begitu sistematisnya cara penanganan pandemi masa kekhilafahan. Dan tolak ukur dalam menentukan kebijakan selain berpegang pada syariat, tentunya untuk kemaslahatan umat. Semoga, hal tersebut dapat menjadi teladan para tokoh bangsa ini dalam menangani pandemi Covid -19.
Nur Indah
Views: 7
Comment here