Opini

Bisnis Prostitusi Kian Menjamur, Sistem Kapitalis Biang Keladi?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Ratni Kartini, S.Si (Muslimah Cinta Qur’an Kendari)

blank

Prostitusi atau PSK (Pekerja Seks Komersil) sepertinya menjadi bisnis menjanjikan pada saat ini. Sudah menjadi rahasia umum bahwa bisnis   ini juga menjadi salah satu daya tarik para pengunjung. Tak heran sejumlah tempat prostitusi di kota-kota besar di Indonesia semakin menjamur, bak jamur tumbuh di musim hujan. Tidak terkecuali Kota Kendari. Walaupun memiliki moto sebagai Kota Bertakwa, Kota Kendari juga memiliki sisi kelam yang mencengangkan.

Sebagaimana yang telah diungkap dari hasil penyelidikan wartawan salah satu portal online yaitu Telisik.id bahwa di area Kendari Beach (Kebi), ditemukan fakta bahwa bisnis haram ini memang benar-benar ada. Lokasi eksekusi bisnis prostitusi ini tak hanya terpusat di satu titik saja, melainkan tersebar di berbagai titik kawasan Kebi. Terlebih lagi pengguna jasa haram ini ternyata selain laki-laki (om-om) hidung belang, juga mahasiswa (Telisik.id, 17/07/2020)

Kasus prostitusi bukanlah masalah baru di Indonesia. Pelakunya bisa dari kalangan mana saja. Mungkin kita tidak lupa beberapa waktu lalu, kasus artis yang terjerat bisnis prostitusi. Hanya saja, mengapa prostitusi ini masih tetap ada meskipun prostitusi dinilai masyarakat kita sebagai perbuatan yang melanggar nilai dan norma masyarakat? Apakah ini hanya kepentingan bisnis semata atau ada faktor lain.

Sistem Kapitalis Biang Keladi

Dalam kaca mata sistem kapitalis sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, mengukur segala sesuatu itu dengan materi. Standar perbuatan bukan lagi halal dan haram. Selagi bisa menambah pundi-pundi rupiah, maka akan dijalankan. Begitu pun bisnis prostitusi ini. Berlaku teori permintaan dan penawaran. Jika masih ada permintaan jasa prostitusi, maka akan selalu ada penawaran. Ada simbiosme mutualisme.

Penulis menilai bahwa ada beberapa faktor mengapa bisnis prostitusi ini kian menjamur yaitu:

pertama, karena lemahnya pemahaman Islam sehingga para pelaku prostitusi mudah dipengaruhi pandangan hidup yang permisif (serba boleh). Mereka biasa hidup dalam budaya hedonis, yang memandang arti kebahagiaan hanya sebatas pada kepuasan jasadiyyah dan materi semata. Akhirnya mereka berani menabrak norma-norma sosial dan agama. Apalagi dalam alam demokrasi kebebasan berperilaku telah dijamin oleh undang-undang. Selama perbuatan itu dianggap tidak mengganggu orang lain dan dilakukan atas dasar suka sama suka.

Kedua, karena keuntungannya menggiurkan. Beberapa negara bahkan memiliki pendapatan besar dari bisnis prostitusi. Havocscope, sebuah situs yang memantau aktivitas pasar gelap dunia telah merilis daftar negara yang memiliki pendapatan tertinggi dari dunia prostitusi. Ternyata Indonesia termasuk di antaranya yaitu peringkat ke-12 (Hipwee.com, 22/12/2019)

Ketiga, dari sisi hukum tidak mampu menjerat pelaku prostitusi (pemakai dan yang dipakai). Hukum yang ada hanya bisa membidik mucikari atau germo karena sudah diatur dalam undang-undang. Itu pun dengan sanksi yang tidak menimbulkan efek rasa jera.
Di dalam KUHP, pelacuran diatur pada Pasal 296 yang menyebut “Barang siapa dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul oleh orang lain dengan orang lain, dan menjadikannya sebagai pencarian atau kebiasaan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak lima belas ribu rupiah”. Jadi hal yang wajar akhirnya prostitusi sulit diatasi.

Ketiga hal tersebut dimungkinkan menjadi penyebab menjamurnya bisnis prostitusi dikarenakan adanya penerapan sistem kapitalis sekuler di negeri ini. Sehingga sangat wajar akhirnya negara tidak mampu memutus rantai panjang dunia prostitusi.

Upaya Sistemis Memutus Rantai Prostitusi

Jika negara kapitalis sekuler saat ini terbukti tidak mampu mengatasi kasus prostitusi, tentu harus ada upaya sistemis yang dilakukan oleh negara dalam memutus rantai bisnis prostitusi ini. Dan tentunya hal ini tidak akan berhasil jika tidak ada kerja sama antara pihak individu rakyat dan masyarakat.

Langkah yang harus ditempuh untuk memutus rantai dunia prostitusi sebagai berikut:

Pertama, memberikan pemahaman Islam yang benar kepada setiap individu terkait tujuan hidup manusia, konsep rezeki dan arti kebahagiaan hidup kepada individu masyarakat. Artinya harus ada aktivitas dakwah di tengah masyarakat. Sebagaimana di dalam surat Ali Imran ayat 104 yang artinya “Hendaklah di antara kamu ada satu golongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Dan mereka itulah orang yang beruntung”.

Kedua, negara memberikan peluang usaha kepada rakyatnya dengan menyediakan lapangan pekerjaan yang halal. Walaupun dalam Islam perempuan tidak diwajibkan untuk mencari nafkah melainkan suatu kebolehan saja, akan tetapi ketika negara menyediakan lapangan pekerjaan semata-mata agar para kepala keluarga (laki-laki) bisa memenuhi kewajibannya untuk menafkahi keluarganya. Sehingga perempuan tidak terjerumus menjadi pelacur, dengan alasan untuk membantu memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Islam memandang bahwa negara memiliki kewajiban menyediakan lapangan pekerjaan. Tentunya hal itu menjadikan pemimpinnya harus melaksanakan amanah tersebut dalam rangka mengurusi rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda: “Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus” (HR al-Bukhari dan Ahmad).

Ketiga, negara membuat aturan dan sanksi yang tegas agar tidak ada lagi warga negara yang terjerumus ke lembah hitam dunia prostitusi. Yaitu dengan menentukan larangan prostitusi dan menentukan hukuman bagi mucikari/germo, pelacur dan pemakai pelacur yang dilakukan dengan kerelaan masing-masing, tanpa paksaan dari siapa pun. Karena pelacuran adalah perzinaan.
Islam memandang perzinaan adalah perbuatan pidana (jarimah) yang hukumannya ditentukan langsung dalam Al-Quran surat An-Nur ayat 2 yang artinya “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.”

Dalam hadits Rasulullah, hukuman rajam diberlakukan bagi pezina laki-laki dan pezia perempuan yang pernah menikah atau pezina yang sedang terikat dalam perkawinan (muhshan dan muhshanah). Sebagaimana dalam kasus Ma’iz Bin Malik dan juga kasus Ghamidiyah yang dijatuhi hukuman rajam karena terbukti berzina.

Semua itu bisa dijalankan ketika Islam dijadikan aturan dalam sistem bernegara dan bukan sekadar dipakai untuk mengatur ibadah mahdah semata. Agar keberkahan akan senantiasa menaungi negeri sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya“ (QS. Al Araf : 96).

Walllahu ‘alamu bisshowwab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 11

Comment here