Surat Pembaca

Body Checking, No Embracing

blank
Bagikan di media sosialmu

Kontes kecantikan jelas hanya sebagai ajang objektifikasi yang melanggengkan standar kecantikan yang tidak realistis dan manusiawi karena mereka yang berkompetisi rentan menjadi objek seksual. Definisi kecantikan yang sering digembar-gemborkan justru telah direkonstruksi oleh pasar.

Oleh : Alfiah, S.Si

wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA– Perhelatan kontes Miss Universe Indonesia (MUID) 2023 telah berakhir. Namun polemik seputar Miss Universe Indonesia belum berakhir. Masyarakat Indonesia dan dunia Internasional dihebohkan oleh pengakuan peserta ajang Miss Universe Indonesia 2023 yang berani melaporkan pelecehan seksual yang mereka alami ke polisi. Ini merupakan sejarah baru dalam ajang kontes kecantikan di Indonesia.

Body checking, terlebih dilakukan tanpa busana bahkan difoto adalah jelas pelecehan yang menjatuhkan martabat perempuan. Apalagi jika hal tersebut dilihat laki-laki dan di ruangan terbuka tanpa privacy. Mungkin kita akan bertanya mengapa peserta kontes berani mengungkapkan pelecehan seksual yang terjadi? Padahal ketika mereka berpakaian terbuka dengan memamerkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya, hakikatnya mereka berpakaian tapi telanjang?

Wajar kritikpun akhirnya bermunculan terhadap beauty pegeant (kontes kecantikan) karena realitasnya cenderung mengeksploitasi tubuh perempuan. Kontes ratu-ratuan tidak lebih dari cara kapital mempromosikan produknya atau cara kapital menarik wisatawan. Karena memang kontes kecantikan ini lahir dari sebuah kontes bikini di Amerika untuk menarik wisatawan.

Kontes kecantikan bermula sebagai ajang yang seksis dan rasis. Pada 1921, kontes kecantikan pertama kali diadakan di Atlantic City, Amerika Serikat, di mana perempuan muda berkulit putih berkompetisi menggunakan pakaian renang-sementara itu perempuan berkulit hitam tidak diperbolehkan mengikuti kompetisi ini. Tujuan utama dari ajang ini, tidak lain tidak bukan, adalah untuk menarik pengunjung agar menghabiskan liburan di Atlantic City. Kontes inilah yang menjadi cikal bakal Miss America, yang sekarang mengusung tagline “Empowering Women to Lead”.

Sungguh, kontes ratu-ratuan sebenarnya merupakan arena untuk mempromosikan kepentingan-kepentingan ekonomi kapitalis. Demi pertarungan produk minuman Coca-Cola dan Pepsi-Cola, misalnya, ternyata tidak lepas dari kontes kecantikan. Atas nama sponsor, Sushmita Sein (Miss Universe) dan Aishwarya Rai (Miss World) berusaha memikat masyarakat India untuk membeli dua minuman cola produk Amerika Serikat.
Jelaslah kontes ratu-ratuan hanya dijadikan pemikat untuk menarik konsumen untuk membeli produk mereka atau dijadikan whistle blower terhadap isu-isu penting yang sudah kapitalis rancang. Bagaimana bisa mereka akan bebas menyuarakan hak-hak keperempuanan jika mereka sendiri tidak bebas melindungi tubuh dan kehormatannya?

Seperti apa yang diungkap salah satu finalis Miss Universe Indonesia 2023, Priskilla Jelita Tamariska, bahwa ia dibentak saat menutupi tubuh bagian atas, dan dianggap tidak bangga dengan tubuhnya sendiri. Apalagi para panitia menekan mereka dengan dalih “di ajang internasional bakal lebih keras”. Bahkan ada panitia yang menjawab keluhan finalis dengan menyampaikan, ‘Loh kamu jangan malu, kamu harus percaya diri, embrace yourself, kamu kalau di luar negeri nanti akan lebih parah, lebih ditelanjangi dan ditonton banyak orang’,

Selain di Indonesia, hal serupa ternyata pernah terjadi di Filipina pada 2018 ketika beberapa kontestan Miss Earth mengaku dilecehkan oleh salah satu sponsor. Oleh seorang sponsor, mereka dihubungi dan diminta untuk memberikan nomor kamar hotel dengan iming-iming akan dibantu untuk menjadi pemenang.

Ajang kontes kecantikan jelas hanya sebagai ajang objektifikasi yang melanggengkan standar kecantikan yang tidak realistis dan manusiawi karena mereka yang berkompetisi rentan menjadi objek seksual. Definisi kecantikan yang sering digembar-gemborkan justru telah direkonstruksi oleh pasar.

Pada akhirnya, meski dibumbui istilah “pemberdayaan perempuan”, kecantikan tetap menjadi pilar utama dalam ajang ini. Padahal kalau memang ingin mengangkat derajat perempuan dan membuat perempuan berdaya justru dengan memposisikan perempuan pada fitrah penciptaannya yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Inilah peran mulia perempuan yang akan memajukan peradaban.

Jika perempuan mampu memerankan diri sebagai madrasah pertama dan utama bagi anak-anaknya sungguh ia berarti sedang mempersiapkan generasi harapan. Perempuan bermartabat, meski ia bekerja ia tidak akan mengabaikan peran utamanya, yaitu sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Ia tidak akan merendahkan diri dengan menonjolkan kemolekan tubuhnya. Ia tidak akan mengeksploitasi kecantikannya demi kepentingan materi dan bisnis semata. Hal itu dilakukannya semata karena ketundukannya kepada Pencipta.

Sesungguhnya kemuliaan dan martabat perempuan ditentukan kadar ketakwaannya. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam QS. Al Hujarat ayat 13 :

” Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti”

Alhasil tubuh dan kecantikan pada hakikatnya bukanlah standar yang harus dinilai. Apalagi jika penilaian yang dilakukan malah dengan cara-cara serampangan yang melecehkan kehormatan perempuan. So, Body Checking No Embracing!

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 28

Comment here