wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA-– Palestina masih membara, mengorbankan banyak nyawa dan menyisakan banyak luka yang menganga. Boikot produk masih menjadi pokok bahasan utama.
Menanggapi peperangan yang terjadi antara entitas Yahudi dan Palestina, MUI menetapkan fatwa terkait pemboikotan barang-barang produk Zionis Yahudi dan pihak yang terafiliasi dengannya. Fatwa terkait pemboikotan ditujukan agar mampu mengerem aliran dana dari muslim melalui perdagangan produk Yahudi dan afiliasinya. Tidak hanya itu, MUI pun menghimbau agar rakyat secara massif mendukung perjuangan dan pembebasan Palestina.
Berbagai platform media sosial ramai dengan info tentang produk yang diboikot dan barang-barang substitusinya. Banyak rakyat memboikot secara massif. Namun sayang, masih banyak juga yang belum paham tentang masalah ini.
Pemboikotan massif yang dilakukan berbagai kalangan masyarakat patut diacungi jempol. Masyarakat mulai menyadari bahwa kita harus sama-sama berjuang membela sesama saudara muslim. Namun sayang, di tengah aksi pemboikotan ini, justru negara bungkam, tak berkutik sama sekali. Kebijakan boikot sebetulnya akan efektif jika ditetapkan sebagai regulasi oleh negara. Ini karena negara memiliki kekuasaan politik penuh atas aktivitas yang dilakukan rakyatnya.
Di sisi lain, sebetulnya boikot produk ini tidak berpengaruh besar terhadap kekuatan perdagangan dan ekonomi negara penjajah ini sangat bergantung pada negara-negara nonmuslim di dunia. Namun, ada satu kelemahan mereka, yakni ketergantungan sumber daya energi pada mayoritas negeri-negeri muslim dunia.
Semestinya, para penguasa jeli dalam menetapkan kebijakan. Blokade suplai energi seharusnya mampu kompak dilakukan oleh seluruh negeri muslim dunia. Dari satu sisi ini saja, negeri penjajah ini telah mati kutu. Sayangnya, kebijakan ini mustahil ditetapkan. Parahnya lagi, dalam keadaan urgent, justru para penguasa kian mesra membuka hubungan dengan negara-negara kapitalis penjajah yang menjadi donatur penyerangan Palestina. Miris.
Semua ini terjadi karena sistem kapitalisme. Sistem ini menjadikan materi sebagai tujuan hidup, tidak peduli dengan nasib saudara sendiri. Sistem ini pun diperparah dengan penerapan nasionalisme yang terus meracuni pemikiran umat dan para penguasa.
Nasionalisme yang digadang-gadang mampu menyatukan umat dunia ternyata gagal total. Bahkan, negara terdekat Palestina pun tidak mampu mengirimkan pasukan militer yang nyata-nyata mampu membela. Ini karena nasionalismelah yang membatasi kebijakan setiap negara. Bahkan, lembaga dunia yang katanya menyerukan perdamaian, hanya mampu bungkam seribu bahasa. PBB dan OKI terbukti gagal mewujudkan perdamaian, tidak mampu menghentikan peperangan dan berbagai penderitaan.
Sistem destruktif inilah yang semestinya diboikot secara totalitas. Karena sistem rusak tersebut melemahkan ukhuwah muslim dunia. Paham nasionalisme menciptakan konsep berpikir yang keliru. Nasionalisme memberikan batasan bahwa masalah Palestina bukanlah masalah muslim dunia dan jihad hanya wajib bagi warga Palestina. Tentu saja konsep ini keliru dan melemahkan fungsi jihad.
Sistem Islam menetapkan akidah Islam sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan. Palestina sangat membutuhkan pembelaan dari seluruh kaum muslim dunia. Hanya akidah Islam-lah yang mampu menyatukan seluruh kaum muslim dunia, tidak ada pilihan lain. Hanya dengannya pula, umat Islam mampu bersatu karena memiliki satu aturan dan perasaan yang sama. Akidah Islam hanya mampu diterapkan dalam sistem Islam berinstitusikan khilafah. Hanya dengannya, nasionalisme kapitalistik akan luluh lantak.
Khilafah-lah satu-satunya institusi yang mampu menyatukan semua wilayah kaum Muslim dalam satu kepemimpinan dan pengaturan amanah. Hanya dengannya pula, ukhuwah (persaudaraan) kaum Muslim dunia terbentuk sempurna dan senantiasa terjaga.
Jelas, boikot suatu produk hanyalah solusi parsial yang tidak efektif untuk menyelesaikan masalah Palestina. Pembebasan Palestina hanya bisa diwujudkan dengan jihad dan penerapan Khilafah. Inilah satu-satunya solusi paripurna, tidak ada yang lain. Wallahu a’lam bisshawwab.
Dwi Ariyani
Sedayu, DIY
Views: 5
Comment here