Opini

BPJS Hapus Kelas, Adakah Jaminan Pelayanan Lebih Baik?

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh: Yulweri Vovi Safitria

wacana-edukasi.com– BPJS Kesehatan akan menerapkan aturan baru terkait iuran BPJS dengan menghapus kelas 1, 2, dan 3, dan menggantinya dengan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS). Aturan ini akan berlaku mulai Juli mendatang. Besarnya iuran akan disesuaikan dengan besaran gaji yang diterima oleh setiap orang. Hal ini dilakukan dengan dalih prinsip gotong royong sebagaimana yang diinginkan oleh UU SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional) (detik.com, 24/6/2022).

Dengan begitu, yang berpenghasilan tinggi akan membayar lebih mahal dari masyarakat yang berpenghasilan rendah, dengan fasilitas rawat inap yang sama, hanya disesuaikan dengan kebutuhan medis.

Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Asih Eka Putri menyebutkan bahwa peleburan ini akan memperhatikan prinsip keadilan dan asuransi sosial. Salah satu prinsipnya adalah sesuai dengan besar penghasilan (kompas.com, 13/6/2022)

Lantas apakah keadilan dalam bidang kesehatan akan dirasakan oleh masyarakat? Atau ini adalah alasan untuk menaikan iuran BPJS Kesehatan?

BPJS dalam Jerat Kapitalisme

Dengan dihapusnya kelas 1, 2 dan 3, dan menggantinya dengan Kelas Rawat Inap Sementara (KRIS), sepintas nampak sebagai bentuk keadilan dan tidak diskriminatif. Namun faktanya skema BPJS Kesehatan tetap berkelas, salah satunya karena masih adanya skema Coordination of Benefits (CoB) dengan sejumlah asuransi swasta.

Dalam hal ini kelas BPJS Kesehatan memang dihapus, namun akan ada pasien CoB dan pasien BPJS. Alih-alih menciptakan keadilan, justru dikhawatirkan akan menimbulkan diskriminasi makin besar di antara pasien. Pelayan buruk diduga akan tetap terjadi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa BPJS Kesehatan pernah defisit. Dan bukan tidak mungkin kejadian tersebut akan kembali terulang, mengingat pembayaran BPJS bertumpu pada iuran peserta. Sedangkan ekonomi masyarakat kian sulit, jangankan untuk membayar tagihan BPJS, untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari saja sudah mengalami kesulitan.

Begitu juga dengan membayar iuran berdasarkan besaran gaji, bukanlah solusi. Tidak ada jaminan peserta BPJS bergaji besar tidak akan beralih ke asuransi kesehatan non BPJS, begitu pula dengan masyarakat dengan gaji pas-pasan, bukan tidak mungkin akan terjadi penunggakan pembayaran iuran.

Pun, ketika aturan baru yang menjadikan Kartu BPJS sebagai syarat mendapatkan sejumlah layanan publik. Bukan dana yang terhimpun, yang ada tunggakan semakin besar. Sebab rakyat dipaksa mendaftar sedangkan mereka tidak sanggup membayar.

Orientasi Sistem Kapitalisme

Jika dicermati, persoalan diskriminasi BPJS Kesehatan bukan terletak pada iuran, melainkan pelayanan yang diperoleh oleh masyarakat. Tidak bisa dipungkiri, sistem kapitalisme berorientasi pada materi. Tidak jauh berbeda dengan rumah sakit yang notabene adalah milik swasta yang berorientasi pada profit.

Alhasil rumah sakit swasta, dan kelas VIP ataupun VVIP akan menjadi pilihan karena pelayanannya yang maksimal, serta fasilitas kesehatan yang fantastis. Namun hanya bisa dinikmati oleh segelintir orang. Ada uang, apa saja bisa didapatkan. Sehingga keberadaan rumah sakit swasta bak jamur di musim hujan.

Berbeda jauh dengan rumah sakit milik permerintah, jumlahnya sedikit, dan sumber dananya juga terbatas, yaitu dari APBN/APBD dan iuran. Wajar saja jika pelayanan dan fasilitas kesehatan sangat minim.

Saatnya Umat Sadar

Meskipun ini baru rancangan, namun perlu dipahami bahwa pelayanan kesehatan adalah tanggung jawab negara. Dengan adanya prinsip gotong royong pada BPJS Kesehatan, seakan menjelaskan kepada publik bahwa negara ingin lepas tangan dari kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan.

Betapa ironisnya, kala rakyat diburu dengan iuran BPJS, namun dana yang dihimpun tidak sepenuhnya dinikmati oleh rakyat sendiri. Kesejahteraan rakyat menjadi nomor sekian ketimbang kepentingan koorporasi. Ya, begitulah hidup dalam sistem kapitalisme.

Tentu berbeda dengan sistem Islam, di mana kesehatan menjadi tanggung jawab penguasa. Seorang penguasa berkewajiban memberikan pelayanan kesehatan dengan sebaik-baiknya tanpa memandang seberapa banyak gaji atau uang yang dimiliki seseorang. Baik muslim atau nonmuslim, semua mendapatkan pelayanan yang sama.

Pengelolaan kesehatan yang langsung di bawah kendali pemerintah, menghindari terjadinya diskriminasi terhadap pelayanan kesehatan. Alhasil rumah sakit swasta tidak lagi menjamur, karena rumah sakit pemerintah telah memenuhi kebutuhan masyarakat secara adil dan merata, dengan fasilitas kesehatan yang memadai pula. Tentu ini menjadi dambaan kita semua, lantas kenapa masih enggan bahkan menolak untuk diterapkan syariat-Nya?

Wallahu’alam bisshawab

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 8

Comment here