Wacana-edukasi.com — Pemerintah telah mengeluarkan aturan baru yang mewajibkan warga memiliki BPJS Kesehatan sebagai syarat mengurus beberapa layanan publik. Mulai dari mengurus SIM, STNK, SKCK, hingga jual beli tanah memerlukan BPJS Kesehatan.
Kewajiban itu tercantum dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (tribunnewsbogor.com/20/2/2022).
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan, kebijakan kepesertaan BPJS Kesehatan yang kini menjadi syarat untuk mengakses pelayanan publik adalah upaya pemerintah untuk menjamin kesehatan dan hak hidup bagi rakyat Indonesia (wartaekonomi.co.id/24/2/2022).
Aturan ini pun dikritik oleh Wakil Ketua Komisi II DPR RI sekaligus politisi dari fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Luqman Hakim. Kebijakan BPJS Kesehatan harus menjadi syarat jual beli tanah adalah kebijakan yang konyol dan irasional. Menurutnya ini adalah salah satu bentuk pemaksaan kebijakaan kepada masyarakat.
Pemerintah seperti tak pernah kehabisan akal untuk memaksakan kebijakan kepada rakyat. Apakah benar memang demi rakyat? Ataukah “pemaksaan” kepesertaan BPJS Kesehatan dalam layanan publik memiliki maksud lain? Terlepas benar tidaknya, praduga itu pasti menyeruak ke ruang publik. Karena pada faktanya, premi atau iuran yang dibayar rakyat tidak berbanding lurus dengan pelayanan kesehatan yang selama ini digembar-gemborkan BPJS Kesehatan.
Melihat aturan yang mengharuskan kepesertaan BPJS Kesehatan dalam beberapa layanan publik, kesan yang bisa kita lihat ialah pemaksaan. Negara memaksakan kehendaknya demi menarik untung dari rakyat.
Dari beberapa fakta berlangsungnya program BPJS ini, semakin jelas bahwa prinsip BPJS ini merupakan konsep yang tidak lahir dari syariat Islam dan bertentangan dengan Islam.
Karena BPJS ini menggunakan prinsip asuransi sosial, yakni setiap individu rakyat wajib membayar iuran per bulan kepada BPJS. Sifat pembayarannya pasti, alias paksaan. Di sisi lain praktik BPJS merupakan pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang seharusnya ada di pundak pemerintah/negara, lalu dipindahkan ke pundak institusi yang dianggap berkemampuan lebih tinggi dalam membiayai kesehatan atas nama peserta jaminan sosial. Hal ini pun tidak dibenarkan dalam Islam, haram hukumnya.
Sistem layanan kesehatan yang bertumpu pada kapitalisasi dan liberalisasi tidak akan pernah menjadikan kesehatan rakyat sebagai perhatian utama. Negara minim peran. Penyelesaian sistem kesehatan hanya bisa dilakukan secara tuntas jika beralih pada sistem kesehatan Islam.
Dalam Islam, pelayanan kesehatan termasuk kebutuhan dasar masyarakat yang wajib disediakan oleh negara secara gratis. Fasilitas kesehatan merupakan fasilitas publik yang diperlukan oleh rakyat. Semua itu merupakan kemaslahatan dan fasilitas publik yang wajib dipenuhi negara, sebab termasuk apa yang diwajibkan oleh ri’ayah negara.
Hal ini didasarkan pada dalil umum yang menjelaskan peran dan tanggung jawab seorang Khalifah (kepala negara Islam) untuk mengatur seluruh urusan rakyatnya. “Imam adalah pemelihara dan dia bertanggung atas rakyatnya.” (HR al-Bukhari dari Abdullah bin Umar)
Dalam Islam dari aspek pembiayaan, Baitulmal adalah sumber pemasukan negara, termasuk di dalamnya sektor kesehatan. Salah satu sumber pemasukan Baitulmal adalah harta milik umum berupa tambang, gas alam, minyak bumi, batu bara, emas, listrik, hutan, laut, sungai, perairan, mata air, dan lainnya. Pengelolaan harta ini sangat cukup membiayai sistem kesehatan.
Dari ‘Aisyah berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, “Ya Allah, Barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas dia membuat susah mereka, maka susahkanlah dia. Dan barang siapa yang mengurusi urusan umatku, lantas dia mengasihi mereka, maka kasihilah dia.” (HR. Muslim no. 1828)
Khoirotiz Zahro Verdana, S.E. (Muslimah Jateng)
Views: 13
Comment here