Oleh: Agnia Malika (Penulis Remaja dan Homeschooler)
Wacana-edukasi.com — Hari ini generasi telah kehilangan muru’ah. Harga diri pengemban estafet peradaban tak lagi peduli dengan sakralnya nilai akidah. Kemajuan nisbi mencerabut akar-akar hakiki, moral kian runtuh karena cengkeraman dekadensi. Dunia hari ini sedang dihentak oleh budaya Korea yang memang dibuat sedemikian rupa, agar menarik dan menjadi kiblat baru peradaban. Lampu pijar yang menyilaukan, sebuah menu kebebasan dari dunia Timur yang siap menggempur. Istilah tren budaya Korea lebih dikenal dengan Korean Wave terdiri dari drama, K-Pop, film, dan lain sebagainya. Budaya Korea Selatan semakin luas merambah tiap ruang utama dan sudut-sudut dunia.
Di tengah corona yang kian mewabah, pandemi peradaban pun semakin parah. Generasi kian lalai dan abai akan keharusan serius menjadi perisai dan garda terdepan. Lebih sibuk dengan pertengkaran membela idol, lupa bahwa sesungguhnya yang dibela tak pernah melirik sedikit pun, bahkan tak mengenali sama sekali. Dunia semu yang diramu sebenarnya hanya pengalihan besar-besaran atas kondisi mental generasi Korea Selatan yang di ambang kehancuran. Keindahan yang disajikan tidaklah seperti kenyataan. Banyak jiwa yang rapuh hingga bunuh diri kerap menjadi pilihan. Pantaskah kita mengidolakan mereka?
Melansir dari tirto.id–Wakil Presiden berharap tren Korean Pop atau K-Pop dapat mendorong munculnya kreativitas anak muda Indonesia.
“Maraknya budaya K-Pop diharapkan juga dapat menginspirasi munculnya kreativitas anak muda Indonesia dalam berkreasi dan mengenalkan keragaman budaya Indonesia ke luar negeri,” kata Ma’ruf Amin dalam keterangannya untuk peringatan 100 tahun kedatangan orang Korea di Indonesia, Ahad (20/9/2020)
Pernyataan wapres sangat mengejutkan, di tengah dekadensi tingkat parah di tubuh generasi, kemudian digiring dengan ungkapan penguasa yang lebih mementingkan nilai-nilai kerja sama antar negara dibanding peduli lebih banyak terhadap mutu aset bangsa.
Pernyataan Wapres Ma’ruf Amin soal K-Pop mendapat kritikan keras dari politikus Partai Gerindra Ahmad Dhani.
“Jadi Pak Wapres kita memang tidak paham benar soal industri musik. Harusnya sebelum kasih statement, diskusi dulu sama saya sebagai orang yang sangat paham industri musik,” kata Ahmad Dhani kepada wartawan, news.detik.com (20/9/2020).
Teladan Terbaik adalah Rasulullah
Sebaiknya teladan itu adalah panutan yang bisa memberikan banyak kontribusi menguatkan keimanan, menumbuhkan ruh takwa, dan mengokohkan sendi-sendi akidah. Seharusnya kita merilis ulang dalam pikiran, apakah layak budaya glamour yang menitikberatkan pada popularitas tanpa batas menjadi pola yang harus kita instal? Mereka saja dilatih untuk tidak menjadi dirinya sendiri, hidup dalam arahan dan penuh tekanan, maka bagi yang tak sanggup dengan pergolakan, bunuh diri menjadi pilihan. Kita bukan harus membenci, tetapi semestinya mawas diri.
Kemunduran demi kemunduran peradaban Islam semakin kentara, saat kita tidak sadar telah mengambil budaya asing sebagai panutan. Lupakah kita bahwa sesungguhnya Islam telah memberikan figur sempurna yang layak untuk diidolakan? Dialah Rasulullah saw.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik.” (QS. al-Ahzab: 21)
Gelombang Korean Wave begitu tinggi di dalam negeri bahkan sampai ada yang benar-benar fanatik. Sebaiknya kita bisa melihat fakta, apakah benar mereka pantas dijadikan idola, padahal mayoritas dari mereka tidak percaya terhadap dirinya sendiri? Tentu saat kita mengagumi berlebihan akan menjadi hal yang sia-sia. Bahkan mengerucut pada dosa, ketika semua rasa suka tersebut telah membuat kita melupakan hal-hal yang nyata.
Kapitalisme telah menyeret generasi untuk terbuai dengan hal-hal fatamorgana. Memandang fisik dan materi sebagai tujuan utama. Mengambil motivasi agar memiliki kreativitas tinggi, seharusnya disejajarkan dengan nilai-nilai yang tak melanggar akidah dan menyeret pada kondisi yang melepaskan keimanan perlahan-lahan.
Generasi muda Islam seharusnya sigap dan siap menghadapi kancah kehidupan yang dewasa, bukan membiarkan diri terseret pada arus yang merusak. Penguasa adalah orang tua yang memiliki kontrol luas, seharusnya tidak menjerumuskan anak-anak bangsa menjadi pengekor peradaban yang rusak. Gemerlap Hallyu tak mustahil membuat kita halu. Melupakan kondisi realistis menjadi khayalan-khayalan apatis.
Bagaimana sistem Islam membangun jati diri generasi? Jawabannya, Islam sangat selektif dalam memeriksa konten hiburan, jika tidak mendidik apalagi melanggar syariat, tentu itu tidak akan layak untuk diadaptasi. Atmosfer keluarga muslim pun akan kondusif karena pemerintah akan fokus dan ikut berkontribusi menghidupkan Al-Qur’an di tiap-tiap rumah, tak sekadar menghafalkannya.
Remaja yang menguatkan garda Islam telah terbukti riwayatnya, seperti: Usamah bin Zaid (18 tahun) memimpin pasukan yang anggotanya adalah para pembesar sahabat Rasulullah SAW, Sa’id bin Abi Waqqash (17 tahun) yang pertama kali melontarkan anak panah di jalan Allah termasuk dari enam ahlus syura, Zaid bin Tsabit (13 tahun) penulis wahyu dalam tujuh belas malam mampu menguasai bahasa Suryani sehingga menjadi penerjemah Rasulullah saw. hafal kitabullah dan ikut serta dalam kodifikasi Al-Qur’an, serta banyak lagi pemuda tangguh yang memiliki identitas luhur. Begitulah gambaran sistem Islam dalam mendidik generasi.
Seharusnya kita sadar bahwa pemahaman sekuler tak pernah takut membunuh identitas diri generasi secara perlahan dengan mengatasnamakan perkembangan zaman dan tren kekinian, membuat kita lupa akan semua konsekuensi di penghisaban nanti. Jika bukan kita yang membuka tabir menyilaukan dan mengembalikan kepada peradaban Islam yang sesungguhnya, lantas siapa lagi? Relakah hanya menjadi buih di lautan yang tak bertepi, kemudian hilang makna sebagai hamba, dan mati dalam wujud yang hidup?
Wallahu a’lam bishshawwab
Views: 16
Comment here