Opini

Bukan Rokok, Kapitalisme Biang Kemiskinan

blank
Bagikan di media sosialmu

wacana-edukasi.com– Akademisi dan pengamat ekonomi IAIN Pontianak Rasiam MA, mengatakan bahwa rokok sebagai salah satu penyebab kemiskinan di Kalbar sangatlah masuk akal. Bahkan bukan hanya pada kemiskinan, rokok juga telah menjadi bagian dalam masalah kesehatan. Ketergantungan masyarakat saat ini dengan rokok sangatlah tinggi, hal itu dapat dilihat dari tingginya konsumsi rokok di Kalbar ini. Harga rokok yang tinggi tidak membuat para perokok jera, mereka kemudian mensiasatinya dengan membeli rokok ilegal dengan harga yang lebih murah. Tapi di satu sisi negara dirugikan karena tidak ada pemasukan dari cukai/pajak. Konsumsi rokok masyarakat Kalbar yang tinggi ini menurutnya sudah berlangsung sejak lama. Bahkan masyarakat dinilai sudah sangat kurang memperhatikan konsumsi makanan yang bergizi seperti sayuran, buah dan daging dan cenderung lebih memprioritaskan rokok. Hampir 50 persen masyarakat Indonesia tidak mampu membeli makanan yang bergizi, hal ini dipengaruhi oleh problem kemiskinan yang menerpa masyarakat

(https://pontianak.tribunnews.com 30/09/2022).

Ia mengatakan menurut guru besar Ilmu Gizi Fakultas Ekologi Manusia IPB, Prof. Drajat Martianto bahwa saat ini kondisi ketahanan pangan Indonesia terjadi penurunan dalam skala Nasional. Karena kondisi ketahanan pangan yang menurun tersebut, Indonesia kini menghadapi triple burden of malnutrition, 3 masalah gizi sekaligus, yaitu gizi kurang (stunting dan wasting), obesitas dan kurang gizi mikro (KGM) atau disebut sebagai kelaparan tersembunyi (the hidden hunger).

Program Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (TPB/SDGs) adalah agenda 2030 untuk mengatasi masalah sosial dan ekonomi di negera yang membutuhkan bantuan. Untuk memastikan kesenjangan ekonomi tidak terjadi di tengah masyarakat. SDGs berprinsip universal, Integrasi dan Inklusif, untuk meyakinkan bahwa tidak ada satupun yang tertinggal atau disebut no one left behind.

Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Kalimantan Barat (Kalbar), Moh Wahyu Yulianto mengatakan bahwa rokok menjadi satu dari lima komoditi yang menyumbang garis kemiskinan perkotaan di Kalimantan Barat. Selain rokok, komoditi lain yang memberi sumbangan besar terhadap garis kemiskinan perkotaan di Kalbar adalah beras, telur ayam ras, daging ayam ras dan mie instan.

Dengan pendekatan kemiskinan makro BPS itu konsumsi atau pengeluaran. Baik konsumsi makanan dan non makanan. Variabel komoditasnya diukur dari sisi konsumsi, dimana 2.200 kalori dari beras kemudian sayur-sayuran, telur. Sementara ada komoditas rokok yang memang banyak dikonsumsi padahal itu tidak ada kalorinya. Kalau dari pengeluaran rokok misalnya Rp 25.000 sehari atau Rp340.000 sebulan dialihkan untuk membeli beras dan telur, pasti akan menambah kalori bagi perokok dan keluarganya.

Kemiskinan senantiasa menjadi masalah klasik yang nampaknya pula ‘dipelihara’ di sistem sekarang. Bagai hutan rimba, kapitalisme dengan jahat memainkan drama survival of the fittest. Tinggal menunggu waktu manusia kini akan berebutan sepotong roti untuk bertahan hidup. Tak terkecuali di Kalbar dengan angka stunting yang tinggi, rawan permurtadan, rawan bencana alam dan bencana sosial serta berbagai tantangan lainnya.

Semakin berkelindan problem di daerah dengan kondisi stagflasi di tingkat global dan nasional, akan mencuramkan lebih curam jurang kemiskinan, bahkan krisis kemanusiaan. Belum lagi edukasi kesehatan akan bahaya rokok yang tidak signifikan karena senantiasa berhadapan dengan kapitalis bisnis tembakau yang sudah punya simbiosis mutualisme dengan penguasa sistem ini.

Inflasi yang konon katanya teratasi dengan baik di Kalbar ini, nampaknya tidak boleh berhenti sampai sebuah penerimaan insentif dengan nilai Rp10,88 miliar yang telah digunakan untuk penyaluran bansos tempo hari. Karena tetap saja akan terdampak perfect storm akibat resesi global serta krisis pangan dan energi. Yang diistilahkan dengan 5C yaitu covid-19, conflict Rusia-Ukraina, climate change, commodity prices, dan cost of living. Paling dekat, krisis biaya hidup (cost of living crisis) paling terasa setelah kenaikan harga komoditi utama belanja kebutuhan pokok dan dasar masyarakat. Ditambah pencabutan subsidi dan pemaksaan konsumsi listrik akibat kebijakan bocor dengan Independent Power Producer (IPP).

Sudah saatnya menuntaskan kemiskinan di negeri ini dengan sistem alternatif yakni Sistem Islam. Dikenal pernah menekan angka kemisikinan dengan baik sehingga makanan sumbangan tiap orang kaya saja bisa kembali kepadanya karena sudah tak ada lagi yang memerlukan subsidi dan zakat pada masa kekhalifahan Islam tersebut khususnya masa Khalifah Ummar Bin Abdul Aziz. Adz-Dzahabi meriwayatkan dari Abdurrahman bin Yazid, dari Umar bin Usaid, ia berkata, “Umar bin Abdul Aziz telah membuat rakyat tidak membutuhkannya lagi.”.

Rahasia Sistem Islam itu adalah pada Sistem politik Islam yang mengharuskan negara sebagai raa’in (pemelihara urusan masyarakat) dan junnah (pelindung dari segala kerusakan) tidak akan menetapkan kebijakan yang tidak berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Distribusi harta dikelola dengan adil dan merata. Bahkan Islam melarang harta berputar pada golongan tertentu. Dalam praktiknya, ada kewajiban syariat yang dibebankan kepada orang kaya untuk membantu golongan tak mampu, seperti kewajiban zakat dan dorongan berinfak, sedekah, atau wakaf.

Zawanah FN
Pontianak – Kalbar

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 14

Comment here