Opini

Bukit Algoritma, Mimpi Sillicon Valey Indonesia

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh Sholi Ummu Uwais (Aktivis Muslimah)

Wacana-edukasi.com — Rencana pemerintah membangun pusat startup kembali memanas, yakni pembangunan Silicon Valley Indonesia bernama Bukit Algoritma di Sukabumi, Jawa Barat yang rencananya akan dimulai Mei mendatang. Proyek ini disinyalir akan memakan biaya sebesar 18 triliun rupiah. Silicon Valley sendiri adalah kawasan yang berada di selatan San Francisco Bay Area, California, Amerika Serikat. Kawasan yang memiliki konsentrasi terpadat di dunia ini menampung 2.000 perusahaan teknologi yang bergerak dalam bidang komputer dan semikonduktor. Di kawasan ini lahir sejumlah perusahaan teknologi yang kita kenal sekarang seperti Facebook, Google, Apple, Netflix, Tesla, Twitter, Yahoo, dan eBay.

Berbagai pendapat mencuat terkait proyek ini. Pendapat pertama datang dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, menurutnya ada beberapa syarat agar proyek Silicon Valley berhasil, yakni ada universitas untuk melakukan riset, ada industri yang mengambil riset jadi barang dan ada pembiayaannya dari investor. (www.finsnce.detik.com) .

Sedangkan Oki Earlivan, salah satu diaspora Indonesia lulusan Universitas Oxford menyarankan agar Indonesia memperbanyak riset yang berkesinambungan karena selama ini riset yang ada di Indonesia berbasis  project. Setelah ganti  project dijual sehingga tidak berkelanjutan. Oki menilai harus ada riset yang berkesinambungan. (www.news.detik.com).

Pendapat berbeda datang dari Kepala Center of Innovation and Digital Economy di Institute of Development of Economics and Finance (INDEF), Nailul Huda yang menilai Bukit Algoritma berpotensi gagal. Dikutip dari media www.teknologi.id, dia mencatat ada tiga kondisi yang membuat proyek ini berpotensi gagal, antara lain:

1. Ekosistem R&D di Indonesia masih sangat rendah.
Menurutnya hal ini karena pertama, proporsi dana Research and Development (R&D) terhadap Produk Domestik Bruto masih rendah. Kedua, produk high-tech Indonesia sangat sedikit. Ketiga, kebijakan insentif fiskal belum optimal.

2. Ketimpangan digital masih tinggi dalam hal skill dan penggunan produk digital.
Dasar yang digunakan adalah data Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, yang menyatakan bahwa pengembangan TIK hanya berpusat di Pulau Jawa, khususnya DKI Jakarta dan DIY.

3. Sumber daya manusia yang ada masih belum mencukupi untuk masuk ke dalam industri 4.0.
Jumlah peneliti di Indonesia berkisar antara 216 orang per 1 juta penduduk (Menurut data Indef tahun 2020). Dibandingkan dengan Vietnam, jumlahnya 707 orang per 1 juta penduduk. Alhasil, paten tanah air juga rendah dibandingkan negara lain di ASEAN.

Proyek Bukit Algoritma ini seakan menjadi mimpi besar yang tidak berisi, Tampak prestisius tetapi tanpa visi pasti. Bermimpi membangun Silicon Valley tetapi justru potensi riset sains dan teknologi yang merupakan fondasi membangun sains dan teknologi malah dikebiri. Terbukti peleburan Kemenristek dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) banyak dipertanyakan oleh publik.

Untuk mampu menguasai sains dan teknologi sebuah negara seharusnya bisa membangun ekosistem riset sains dan teknologi dalam rangka menyesaikan problematika bangsa. Nyatanya, kemajuan sains dan teknologi justru dikendalikan oleh para kapitalis dengan prinsip knowledge based economy (KBE)-nya sehingga negeri-negeri Islam hanya dijadikan obyek dan pasar para kapitalis. Asas untung rugi ala kapitalisme menjadi dasar riset sains dan teknologi yang ada. Maka tidak heran, jika berbagai program riset sains dan teknologi yang ada diadakan dan didanai oleh asing untuk melayani kepentingan industri asing milik para kapitalis global.

Industri dalam Paradigma Islam

Mewujudkan mimpi ‘Silicon Valley’ di Indonesia melalui Bukit Algoritma rasanya mustahil, selama negeri ini masih dicengkeram kapitalisme. Bukannya mendatangkan kemaslahatan bagi rakyat, proyek investasi berdalih teknologi ini justru bisa berpotensi mendatangkan kerugian yang besar meskipun digembor-gemborkan dibiayai oleh investor dalam dan luar negri. Proyek ini juga semakin mengokohkan kekuasaan kapitalis global atas negeri ini. Kembali rakyat lagi yang dirugikan.

Sedangkan dalam paradigma Islam, proyek industri akan disinergikan dengan tujuan mewujudkan kemaslahatan umat dengan paradigma kemandirian. Dalam hal ini Negara tidak boleh memberi peluang ketergantungan kepada asing baik dari segi teknologi (melalui aturan-aturan lisensi) juga sisi ekonomi (melalui aturan pinjaman ataupun ekpor impor) juga sisi politik. Oleh karena itu masalah perindustrian dalam Islam tidak bisa berdiri sendiri, tetapi harus terpadu dengan aturan-aturan Islam yang lain. Sehingga bisa membuat seluruh aturan-aturan ini berkolaborasi secara apik, tentu saja hanyalah revolusi akidah di tengah-tengah masyarakat. Sebab seluruh sistem itu harus terpancar dari akidah Islam. Dari Aqidah yang sahih akan membuat kepemimpinan yang sahih pula, sehingga seluruh cara berpikir masyarakat berubah.

Masyarakat sedang menuju industrialisasi dan perkembangan teknologi harus dibangun di atas kekuatan akidah Islam dan motivasi yang berkesinambungan. Berupaya berpegang teguh pada tuntunan Allah SWT dan utusan-Nya yang mulia Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu untuk mewujudkan mimpi ‘Silicon Valley’ Indonesia, hal ini dapat diwujudkan dalam sebuah sistem yang sahih dan mumpuni, sehingga dapat mendatangkan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia yang dibangun di atas fondasi ruhiah, yakni ketakwaan kepada Allah SWT.

Wallahu’alam bishshawab.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 5

Comment here