Oleh: Cahya M. Azdarany, S.Si
(Aktivis Dakwah)
wacana-edukasi.com, OPINI-– Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana sebesar Rp 195 miliar dari luar negeri ke 21 rekening bendahara partai politik atau parpol. Ini merupakan hasil dari pemantauan Tim Khusus PPATK sejak awal tahun 2023. Kepala PPATK Ivan Yustiavandana juga menuturkan bahwa PPATK menemukan laporan transaksi besar dari luar negeri yang melibatkan para daftar caleg terdaftar (DCT). PPATK menganalisa 100 DCT. Dari hasil analisa tersebut, ditemukan adanya penerimaan senilai Rp 7,7 triliun. Sementara itu, PPATK mencatat nilai transaksi dari 100 DCT ke luar dengan total nilai Rp 5,8 triliun (cnbcindonesia.com). Hal ini dibuktikan dengan temuan PPATK terkait adanya tren peningkatan pembukaan rekening baru menjelang Pemilihan Umum atau Pemilu 2024. Ivan mengatakan bahwa acuan pembukaan rekening terlihat dari Customer Identification Form (CIF). Dia menduga pembukaan rekening ini berkaitan dengan kontestasi politik (liputan6.com).
Banyaknya kucuran dana pemilu dari berbagai pihak termasuk asing menunjukkan bahwa pemilu saat ini sangat berpotensi ditunggangi oleh kepentingan, intervensi asing, bahkan konflik kepentingan. Rakyat sudah seharusnya waspada terhadap bahaya dibalik pendanaan tersebut, yaitu tergadaikannya kedaulatan negara sehingga pemimpin yang terpilih bukan lagi mengurusi urusan rakyatnya, melainkan sibuk memuluskan agenda-agenda pihak yang telah memberi kucuran dana. Namun kondisi seperti ini adalah suatu keniscayaan terjadi di sistem hari ini. Bisa kita lihat bagaimana arah pembangunan penguasa saat ini yang justru semakin menguntungkan investor asing. Undang-undang dan kebijakan yang diterapkan pun lebih berpihak ke korporat asing sehingga membuat mereka semakin rakus mengeruk kekayaan negeri ini.
Siapapun yang Terpilih, Oligarki Pemenangnya
Pemilu dalam bingkai demokrasi tentu selalu menghabiskan dana yang luar biasa besar, entah yang dikeluarkan oleh negara maupun yang berasal dari partai politik, para sponsor, dan uang pribadi para kontestan. Mereka harus merogoh dompet untuk biaya berkampanye, mulai dari membayar tim pemenangan termasuk buzzer, membuat iklan di media cetak atau elektronik dan masih banyak lagi uang yang dihamburkan untuk membuat citra yang lebih baik. Belum lagi biaya untuk menyogok para pemilih melalui “serangan fajar”.
Situasi ini memang sangat wajar terjadi dalam sistem politik sekuler demokrasi. Sebab, demokrasi menyingkirkan sang pencipta sebagai pihak yang berhak membuat aturan, lalu mengandalkan aturan buatan manusia yang tentu saja dapat berubah-ubah sesuai kepentingan dan keinginan yang berkuasa. Pada faktanya, demokrasi memang tegak di atas asas sekulerisme, yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Sehingga tidak ada lagi aturan yang jelas tentang mana yang benar dan mana yang salah. Semuanya diukur dari asas kemanfaatan. Jelaslah, sudut pandangnya akan berbeda-beda. Sangat nampak bahwa jargon demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” hanyalah sebuah ilusi. Karena kenyataannya adalah “dari pemodal, oleh pemodal, untuk pemodal”. Lalu, apa yang rakyat dapatkan? Lagi dan lagi, rakyat terus-terusan menjadi korban. Harapan yang diberikan saat kampanye, hanyalah mimpi semata yang tidak pernah terwujud.
Tidak heran, banyak kasus korupsi menjamur di negeri ini yang disebabkan oleh mahalnya harga kekuasaan yang harus mereka bayar. Lihatlah, bagaimana pemilu yang digunakan sebagai metode baku untuk pergantian kepemimpinan dan wakil rakyat, tetapi kenyataannya malah dijadikan sebagai alat bagi industri bisnis oligarki. Pemilu dijadikan sebagai ajang adu kuat modal politik, yang sumbernya berasal dari cukong dan oligarki. Politik balas budi akan senantiasa mewarnai kepemimpinan yang terpilih. Siapapun yang terpilih, maka oligarkilah pemenangnya.
Pemilu dalam Sistem Islam
Pemilu dalam sistem Islam hanyalah cara alternatif (uslub) untuk memilih kepala negara, bukan menjadi metode baku pengangkatan kepala negara. Dalam Islam, metode baku pengangkatan kepala negara adalah dengan bay’at syar’i. Imam an-Nawawi, dalam kitab Nihayah al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj (VII/390) telah berkata, “Akad Imamah (Khilafah) sah dengan adanya baiat atau lebih tepatnya baiat dari Ahlul Halli wal ‘Aqdi…yang mudah untuk dikumpulkan”. Sebagai sebuah cara (uslub), pemilu dalam sistem Islam tidak akan menyelisihi nas-nas syariat. Pemilu hanya akan dilaksanakan bila diperlukan pada kondisi dan keadaan tertentu.
Dalam kitab Asy-Shakhshiyah al-Islamiah juz II bab syarat-syarat khalifah, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa seorang khalifah wajib memenuhi tujuh syarat agar ia berkompeten memangku tugas ketatanegaraan (kekhalifahan) dan agar bai’at pengangkatan dapat dilakukan. Tujuh syarat tersebut adalah muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu mengemban tugas kekhalifahan (memahami bagaimana menerapkan syariat Islam dengan benar). Tugas dan wewenang khalifah bukan untuk menjalankan keinginan manusia apalagi menerapkan hukum yang dibuat oleh manusia, tetapi untuk menerapkan hukum Allah (syariat Islam) secara kaffah.
Wajar, pemilu dalam sistem Islam tidak memerlukan biaya yang besar dan penyelenggaraannya cukup sederhana, para panitianya pun akan menjalankan amanah itu bukan karena mencari keuntungan, tetapi atas dasar dorongan keimanan. Hanya saja, pemilihan pemimpin melalui pemilu ini hanya dapat berlangsung benar jika ada di dalam naungan sistem pemerintahan Islam (Khilafah). Meski begitu, perlu diingat bahwa pemilu dalam sistem Islam hanyalah salah satu uslub untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat yang akan menjalankan syariat Islam, bukan menjalankan hukum buatan manusia. Wallâhu a’alam bish-shawâb.
Views: 31
Comment here