Oleh Sujilah (Pegiat Literasi)
Program 5M yang menjadi andalan pengendalian seperti testing misalnya tidak cukup efektif untuk memisahkan yang sudah terpapar dengan yang belum, sebab biayanya tidaklah murah kemudian berlaku acak hanya bagi mereka yang akan bepergian jauh.
Wacana-edukasi.com— Hampir dua tahun wabah Covid-19 melanda di negeri ini. Alih-alih selesai, angka penyebarannya justru semakin meningkat. Menghantam semua aspek kehidupan: ekonomi, kesehatan, sosial, dan yang lainnya. Penguasa dianggap telah gagal dalam menangani wabah hingga berimbas pada menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah yang tidak mampu mengendalikan lonjakan Covid.
Sebagaimana dilansir dari cinunuk.desa.id, Puskesmas Cinunuk yang bertempat di Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, ternyata kewalahan dalam menangani lonjakan sebaran Covid-19. Dari dua desa yang ditangani yaitu Desa Cinunuk dan Cimekar, puskesmas hanya bisa mengandalkan 37 tenaga kesehatan (nakes) sementara pasien positif covid yang harus ditangani mencapai 450 orang.
Kepala Puskesmas Cinunuk dr. Hj. Yan Elfy mengkonfirmasi, bahwa pihaknya kewalahan dalam menangani penyebaran Covid-19 di desa ini. Belum lagi ditambah klaster Pesantren Alkasyaf, dimana puluhan santrinya juga terpapar Covid-19. Di samping itu nakes di tempat tersebut tidak hanya menangani pasien Covid-19, juga menangani vaksin dan swab test, juga pasien lain dengan penyakit di luar penyakit Covid-19. Maka dari itu pihak puskesmas sangat mengharap kepedulian dari semua pihak terutama masyarakat untuk terlibat dalam memutus mata rantai penularan Covid-19.
Walaupun masih ada sebagian masyarakat yang tidak mengindahkan prokes, tapi yang lebih menonjol dari kegagalan menangani karena kebijakan. Pengendalian virus tidak bisa hanya diserahkan kepada kepatuhan masyarakat agar tidak melakukan banyak kegiatan di luar rumah. Apalagi untuk memenuhi kebutuhan perut. Kecuali negara menjamin ketersediannya. Diam di rumah mati kelaparan, ke luar rumah virus mengintai. Daripada kelaparan terpaksa ke luar rumah.
Lonjakan penyebaran ditengarai mulai meningkat sejak larangan mudik banyak dilanggar. Seharusnya tidak serta merta menyalahkan masyarakat, sebab berbarengan dengan larangan mudik, pemerintah justru membuka lagi tempat wisata yang sempat ditutup, serta pusat perbelanjaan tetap dibolehkan beroperasi dengan dalih untuk menjaga stabilitas ekonomi rakyat. Maka wajar pelanggaran larangan mudik masih terjadi. Mengapa tidak seluruh celah ditutup rapat agar penanganan covid bisa tertangani dengan cepat? Tapi begitulah selalu beralasan bahwa kebijakan tersebut sudah tepat agar rakyat tidak kelaparan. Itu artinya adalah pembiaran, akibatnya menangani gelombang pertama belum selesai sudah dihantam gelombang berikutnya.
Program 5M yang menjadi andalan pengendalian seperti testing misalnya tidak cukup efektif untuk memisahkan yang sudah terpapar dengan yang belum, sebab biayanya tidaklah murah kemudian berlaku acak hanya bagi mereka yang akan bepergian jauh.
Untuk mengurangi lonjakan penyebaran virus sebenarnya ada banyak para ahli menyarankan agar pemerintah memberlakukan karantina wilayah atau Lockdown, tapi hal itu tidak digubris. Justru pemerintah lebih cenderung menerapkan PPKM Mikro (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat), begitupun saat ini, ada sedikit perubahan istilah yaitu PPKM darurat. Menurut pemerintah PPKM adalah kebijakan tepat karena jika lockdown yang dipilih otomatis penguasa harus menyediakan semua kebutuhan rakyat.
PPKM dan kebijakan lainnya yang dinilai plin plan sebab mempertimbangkan ekonomi adalah kebijakan khas kapitalisme-sekular. Untung dilakukan, rugi ditinggalkan. Pengorbanan demi rakyat sulit terealisasi. Pemimpin hadir bukan untuk mensolusikan berbagai kesulitan rakyat, tapi hanya sekedar regulator yang banyak berpihak kepada para kapital. Suara pengusaha besar wajib diapresiasi, sementara rakyat yang kelaparan tidak menggerakkan hatinya untuk sekedar empati. Rakyat terus dipalak dengan kewajiban pajak. Utang terus ditumpuk, hilanglah kemampuan melakukan karantina wilayah.
Kepemimpinan dalam kapitalis berbeda dengan Islam. Seorang pemimpin paling bertanggung-jawab memberikan perhatian yang besar pada keselamatan jiwa masyarakat. Dalam Islam ada 3 prinsip dalam menanggulangi wabah: Pertama, dengan cara Lockdown pada daerah yang terkena wabah agar penyebaran tidak meluas ke wilayah lain, sementara semua kebutuhan daerah yang terkena wabah akan ditanggung oleh negara. Seperti sabda Rasulullah saw. :
“Apabila kalian mendengar wabah di suatu tempat maka janganlah memasuki tempat itu, dan apabila terjadi suatu wabah dan kalian sedang berada di tempat itu, maka janganlah kalian keluar darinya.” (HR Muslim)
Kedua, pengisolasian orang sakit dari yang sehat melalui mekanisme yang dilakukan negara. Ketiga, mengobati pasien sampai sembuh dengan pelayanan yang maksimal, semua ini diberikan secara cuma-cuma agar masyarakat bisa merasakan pengayoman penguasa terhadap mereka.
Negara sangat berkemampuan memenuhi segala kebutuhan rakyat selama wabah, karena penerapan sistem ekonomi Islam telah memperkayanya. Selain itu kepatuhan masyarakat terhadap peraturan negara terlaksana karena negara mengurusi, tidak membiarkan. Tanggung-jawab penuh kepada Allah Swt. sengaja dibentuk dalam jiwa-jiwa pemimpin. Tidak ada pertimbangan untung rugi demi ekonomi.
Kepemimpian yang berkemampuan menyelesaikan pandemi secara benar, tegas, dan tuntas hanya ada dalam sistem yang menerapkan Islam kaffah. Pada masa kepemimpinan Rasulullah Saw. juga Khalifah Umar bin al Khaththab sudah membuktikannya. Keseriusan pemimpin ditambah kebijakan lockdown tidak lama wabah bisa dikendalikan.
Wallahu’alam bishshowab
Views: 0
Comment here