Oleh: Poppy Fauziah
Wacana-edukasi.com — Kulihat butiran air mata terlihat menetes di ujung mata Ibu. Meski sesekali Ibu membalikkam badan sambil menyeka air matanya demi tak terlihat olehku, aku merasakan sebuah perpisahan yang pilu. Sementara Bapak terlihat tegar meski matanya berkaca-kaca.
Ya, hari itu, tepat bulan syawal 1438 H adalah saat itu kuputuskan untuk mengikuti suami tinggal di perantauan setelah empat tahun kami menjalani LDM (Long Distance Marriage). Orang tuaku sadar betul anak perempuan yang telah menikah, tidak ada hak bagi mereka untuk tetap menahannya. Bahkan ketaatannya pun berpindah kepada suaminya.
Berat rasanya aku pergi meninggalkan Ibu dan Bapak berdua, mengingat usia mereka sudah di atas 60 tahun. Ibu kini sering kali terbaring lemah akibat penyakit komplikasi yang dideritanya. Bapak juga sering mengalami sesak napas karena beliau memiliki penyakit asma. Ditambah lagi dengan cuaca di Bandung Selatan yang tak jarang mencapai 12-14° C bila musim dingin tiba, sehingga sering kali dapat dipastikan penyakit mereka kambuh.
Membayangkan hal ini saja, aku tak sanggup. Lemah diri ini tak berdaya, mengingatnya membuat hatiku berkecamuk, pikiranku membuncah. separuh napasku seolah terhenti. Ingin rasanya selalu membersamai mereka di usia senjanya.
Di tempat perantauan, tepatnya di Kec. Sindang Kab. Indramayu, 150 km lebih jaraknya dari kampung halamanku. Aku tinggal bersama suami dan anak lelakiku satu-satunya yang bulan depan genap berusia enam tahun.
Di awal kepindahanku ke sini, aku sering merasakan jenuh dan kesepian yang sangat hebat. Aku mengalami masa-masa sulit menjalani hidup di tempat asing untuk pertama kalinya. Suamiku bekerja setiap hari, anakku berangkat sekolah yang kala itu sudah masuk Play Group.
Aku mengalami pergolakan batin yang luar biasa. Sering kali kutanyakan dalam hatiku, kapan ajalku akan datang, aku pun kerap membayangkan dosa-dosa terdahulu yang pernah aku lalui. Hidupku terasa begitu kosong, tak jarang aku menangis dalam kesendirianku, aku pun sering ketakutan tanpa sebab.
Hingga satu hari Allah mempertemukanku dengan orang-orang baik dan saleh. Dari mereka aku belajar banyak tentang Islam. Aku belajar tentang Islam secara kaffah. Memperbaiki penampilanku sebagai muslimah secara syar’i.
Sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 31, “Katakanlah kepada wanita yang beriman: Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhisannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka.”
Aku pernah mengkaji kitab-kitab kuning sewaktu aku remaja, di sini aku seperti mengulang kembali apa yang sudah aku pelajari. Dapat kupastikan bahwa ini adalah jalan untuk lebih menyempurnakan apa yang aku kaji dahulu.
Banyak hal yang baru aku ketahui, seperti larangan berikhtilat dan berkhalwat, kewajiban berdakwah bagi seluruh umat muslim, apa yg Allah ridai dalam berpolitik, dan menggunakan jilbab ketika keluar rumah.
Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Ahzab ayat 59, “Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbab ke seluruh tubuh mereka.’ Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Sujud syukur aku panjatkan kepada-Nya atas nikmat ini, karena genap tiga tahun ini, aku lebih menyempurnakan cara berpakaianku. Ini adalah salah satu hal yang sangat signifikan di dalam diriku, mengingat dulu mengenakan rok saja ketika kuliah adalah suatu kehinaan menurutku. Dasar aku yang dahulu sangat miskin pengetahuan!
Di kampung halamanku, aku berprofesi sebagai guru Bahasa Inggris di sebuah Madrasah Tsanawiyah, semua itu aku tinggalkan demi menaati perintah suami. Namun, kini profesi tersebut sudah kujalani kembali. Ya, Bapak berpesan meskipun aku sibuk dengan urusan rumah tangga, aku harus tetap menyempatkan untuk mengamalkan ilmu yang sudah kudapat di bangku kuliah. Alhamdulillah, suamiku pun mendukung langkahku untuk mengajar kembali, selama aku berada di dalam koridor Islam.
Aku sadar betul bahwa kewajiban mencari nafkah ada di pundak suami. Namun, ketika seorang perempuan mukmin ingin membantu perekonomian keluarga dengan bekerja, maka itu diperbolehkan selama dia menerapkan aturan-aturan Islam di dalamnya. Karena sejatinya tugas seorang istri adalah ummun warabbatul bait.
Meski bekerja, tetap menjadi ibu rumah tangga dan mendidik putra-putrinya adalah yang utama. Selain bekerja, wajib bagi seorang muslimah tetap menerapkan adab-adab islami, seperti ghudul bashar yaitu menjaga pandangan, mengenakan pakaian syar’i, tidak bertabaruj, tidak memakai wewangian dan tidak melembutkan suara kepada pria yang bukan mahram.
Memang tidak dipungkiri pandemi membuat ekonomi kian menghimpit. PHK massal terjadi, sementara sulit mencari ekonomi. Di satu sisi ketiadaan campur tangan pemerintah untuk mensejahterakan rakyat bak pepesan kosong. Maka tak heran, saat ini perempuan berbondong-bondong bekerja demi perut keluarga terisi.
Fakta banyaknya perempuan terdorong baik secara sukarela maupun dengan terpaksa untuk bekerja, di dalam negeri bahkan hingga ke luar negeri disebabkan karena sistem ekonomi kapitalis. Para suami dirumahkan, perempuan dipekerjakan karena lebih murah dalam pandangan kapitalis, tidak sedikit pula perempuan bekerja karena faktor kebanggaan dari perempuan itu sendiri. Pangkalnya sekularismelah yang membuat para perempuan mengesampingkan fitrahnya sebagai ummu wa rabbatul bait, yang kemudian memicu keretakan rumah tangga, tugas utama sebagai seorang istri terabaikan, anak tidak terdidik. Akhirnya timbul jemawa dari dalam diri perempuan dan tidak menutup kemungkinan merendahkan posisi suami sebagai kepala keluarga.
Dari Rithah, istri Abdullah bin Mas’ud ra, ia pernah mendatangi Nabi saw dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya perempuan pekerja, saya menjual hasil pekerjaan saya. Saya melakukan ini semua, karena saya, suami saya, maupun anak saya, tidak memiliki harta apa pun.”
Ia juga bertanya tentang nafkah yang ia berikan kepada mereka (suami dan anak). Rasul menjawab, “Kamu memperoleh pahala dari apa yang kamu nafkahkan pada mereka.” (HR. Imam Baihaqi)
Betul memang Islam memperbolehkan perempuan untuk bekerja dan menafkahi keluarganya, tetapi di sini perempuan dituntut untuk menguatkan iman, berpegang teguh pada syariat Islam, dan menyadari bahwa semua adalah kehendak Allah.
Sejatinya sebuah pekerjaan tidak serta merta membuat perempuan lupa akan kodratnya. Tetap saja, naungan keridhaan suami bagi seorang istri dan rida orang tua bagi perempuan yang belum menikah adalah ridha pula dari Allah Azza wajalla.
Semua peristiwa dalam hidup adalah catatan Allah di lauhul mahfuz. Maka tekankanlah pada diri kita bahwa tidak ada yang sia-sia. Allah ciptakan jalan untuk semua rencana manusia. Alhamdulillah wa syukurillah.
Views: 117
Comment here