Oleh Nurmilati
Wacana-edukasi.com — Sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia, kolak menjadi salah satu menu pilihan saat berbuka puasa. Makanan populer di setiap bulan suci Ramadan ini menjadi menu favorit setiap keluarga sehingga momen Ramadan akan lebih terasa apabila hidangan ini tersaji di meja makan.
Kolak dengan bahan dasar gula merah atau putih, santan, dan daun pandan sebagai pewangi, tidak selalu identik dengan pisang. Namun, boleh juga dikombinasikan dengan labu kuning, kolang-kaling, ubi jalar, nangka, singkong, dan mutiara dari tapioka, bisa menjadi pilihan lainnya sesuai selera masing-masing.
Gampangnya mendapatkan bahan-bahan kolak di pasaran serta mudah dan cepat dalam proses pembuatannya, menjadikan kolak banyak dipilih ibu rumah tangga sebagai menu takjil.
Dikutip dari Tribunnews.com 24/4/2020 kolak bukan sekadar pelengkap menu saat berbuka puasa. Namun jika ditelusuri lebih jauh, ternyata kolak mempunyai nilai filosofis. Pada zaman masyarakat Jawa belum begitu mengenal Islam dengan baik, para ulama bermusyawarah untuk mencari uslub (cara) supaya masyarakat dapat memahami Islam lebih dalam. Maka, selain melalui perkawinan dan budaya, lewat makanan pun bisa menjadi kegiatan penyebaran Islam. Cara sederhana ini diyakini akan lebih mudah dimengerti oleh masyarakat untuk mempelajari Islam lebih luas lagi pada masa itu.
Begitulah gambaran bagaimana para ulama terdahulu jeli menangkap ide dan mengemas penyebaran Islam dengan cara yang damai sehingga mudah mendapat simpati masyarakat Jawa dan kemudian hatinya tergerak mempelajari agama Islam lebih mendalam. Maka dari situlah perkembangan Islam di Jawa mulai semakin pesat, ini dibuktikan dengan berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa yaitu Demak.
Lantas, bagaimana dengan kita yang hidup di zaman sekarang? Apakah sudah peka mengambil peluang dakwah di tengah zaman penuh fitnah? Di mana kondisi umat saat ini dalam keadaan mengabaikan dan mencampakkan aturan Allah? Umat lebih memilih aturan manusia untuk menentukan hidupnya daripada mengambil hukum Sang Maha Pencipta dalam mengatur hidupnya. Mirisnya, ada segelintir umat Islam dengan terang-terangan menentang dan menjegal dakwah saudara seimannya.
Sebagaimana diketahui bahwa kita sebagai makhluk-Nya, baik laki-laki maupun perempuan yang sudah balig dan berakal mempunyai kewajiban untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar atau lebih dikenal dengan istilah dakwah, selain aktivitas kewajiban shalat, zakat, haji, puasa, dan ibadah lainnya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang diriwayatkan Imam Muslim. “Siapa pun yang melihat kemungkaran hendaklah ia mengubahnya dengan kekuatan, jika tidak mampu maka dengan lisannya, apabila tidak mampu ia mengubahnya dengan hati, maka ini adalah selemah-lemahnya iman.”
Namun sayangnya, saat ini banyak umat Islam yang beranggapan bahwa kewajiban dakwah adalah tugas para ulama atau para ustaz dan ustazah saja, bukan keharusan bagi masyarakat biasa. Bahkan menurut sebagian umat, persoalan dakwah hanya di ranah ibadah dan akhlak mulia saja serta disampaikan hanya di masjid dalam forum diskusi dakwah semata.
Mirisnya, jangankan menjalankan kewajibannya dalam berdakwah, untuk melakukan tanggung jawab individu sebagai hamba-Nya saja sudah sering diabaikan bahkan dilupakan, apalagi dituntut berkontribusi dalam dakwah. Pasti akan merasa berat dan enggan untuk melakukannya, sementara untuk menyampaikan amar makruf nahi mungkar harus terlebih dahulu tertanam keimanan dalam jiwa dan raga seseorang.
Harus Ada Sinergi Dakwah
Namun, dakwah tidak cukup hanya bermodalkan keimanan saja, harus ada dukungan keluarga, guru, orang sekitar, dan kawan yang sangat dibutuhkan dalam menjalani medan dakwah yang terjal serta butuh keberanian. Oleh sebab itu, berada dalam komunitas dakwah adalah sebuah keniscayaan yang harus dijalani agar bisa bersinergi dan saling menguatkan, terlebih tabiat manusia itu lemah, terbatas ,mudah teperdaya dan gampang bosan sehingga membutuhkan motivasi untuk saling memberikan support satu sama lain.
Namun demikian, dakwah yang dilakukan baik secara individu maupun berkelompok harus pula ada dukungan dari pemerintah dalam menjalankan syiar Islam ke tengah-tengah umat, karena peran negara sangat dibutuhkan dalam hal ini, pembentukan organisasi dakwah yang diperbolehkan penguasa dapat memberi keleluasaan bagi rakyatnya untuk menjalankan kewajibannya sebagai perintah Allah SWT dalam berdakwah.
Sejatinya dakwah Islam adalah mengemban ide-idenya, menyampaikan dan menjelaskan kebenaran Islam di mana pun dan kapan pun. Seiring dengan perkembangan zaman, metode dakwah terus mengalami perubahan di setiap masanya, terlebih di era sekarang di mana kita ketahui bersama, perkembangan dan kecanggihan teknologi demikian cepatnya, sehingga keberadaannya dapat kita manfaatkan sebagai metode dakwah yang sesuai dengan abad ini. Apalagi masih dalam kondisi pandemi Covid-19, majelis-majelis ilmu yang biasa dilakukan secara tatap muka terpaksa harus dihentikan.
Sehingga untuk menyampaikan kebenaran Islam tidak bisa lagi dijalankan dengan duduk manis di majelis ilmu yang terbatas oleh ruang dan waktu, melainkan dengan kejelian memanfaatkan kehadiran teknologi melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, Telegram, Podcast, WhatsApp, dan lain-lain bisa menjadi wasilah dakwah.
Jeli Mengambil Peran
Dengan demikian tatkala kita hidup di era serba canggih ini, alangkah baiknya mengambil kesempatan dan berperan aktif dalam barisan dakwah dengan memanfaatkan media yang ada sebagai uslub (cara) berdakwah.
Tidak bisa dimungkiri, media sosial merupakan kekuatan terbesar, terlebih pada masa pandemi saat ini, masyarakat dituntut untuk menggunakan media sosial guna melakukan sebagian aktivitasnya. Maka, keberadaan media sosial telah memberikan kemudahan untuk menembus batas ruang dan waktu sehingga syiar Islam yang disampaikan dapat menjangkau masyarakat lebih luas.
Maka dari itu, tidak ada alasan bagi kita sebagai insan beriman menolak perintah Allah SWT untuk melaksanakan Seruan-Nya berdakwah ke tengah-tengah umat dengan uslub yang beragam, menarik, dan tidak melanggar hukum syara sesuai dengan tuntutan zaman. Sebagaimana yang termaktub dalam hadis Rasulullah SAW:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ
“Barang siapa mencontohkan jalan/kebiasaan yang baik dalam Islam, maka ia mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelahnya, tanpa mengurangi pahala mereka sedikit pun.( HR. Muslim).
Wallahu a’lam bishshawab.
Views: 45
Comment here