Wacana-edukasi.com — Setiap tahun semarak peringatan Maulid Nabi menjadi pemandangan yang sejuk di tengah persoalan yang menimpa bangsa ini. Berbagai cara ditunjukkan oleh umat Islam sebagai ekspresi kecintaan kepada rasulullah. Ada pembacaan barzanji yang berisi kisah-kisah rasulullah saw. Lagu-lagu salawat rasul yang berisi puji-pujian kepada beliau menjadi pelipur hati yang rindu. Wujud kecintaan kepada rasulullah pun ditunjukkan dengan meniru akhlak beliau. Semua itu tentu didorong oleh kecintaan kepada rasulullah.
Fenomena ini tentu patut disyukuri. Kecintaan yang mendalam sebagai umat rasulullah memang sepatutnya tidak hanya sekadar diucapkan, tetapi juga dibuktikan dalam perbuatan.
Cinta kepada rasulullah, tidak hanya bicara perasaan yang lahir dari hati kemudian diekspresikan tanpa ada panduan. Mewujudkan cinta kepada rasulullah berpanduan pada rambu-rambu yang telah ditetapkan oleh syariat, bukan sekadar perasaan cinta menggebu tanpa ada pengetahuan tentang makna cinta sejati sesuai petunjuk Ilahi.
Dalam kitab Min Muqawwimat an-Nafsiyyah al-Islamiyyah, al-Azhari berkata, “Arti Cinta seorang hamba kepada Allah dan rasul-Nya adalah menaati dan mengikuti perintah Allah dan rasul-Nya.”
Cinta dalam arti yang dimaksudkan adalah kewajiban. Sebab, mencintai Allah dan rasul-Nya terikat dengan pengamalan syariat yang telah diwajibkan oleh keduanya. Artinya, ketika seseorang muslim menyatakan bahwa kecintaannya yang tertinggi adalah kepada Allah dan rasul-Nya, dia wajib untuk mengekspresikan cinta itu dengan meneladani seluruh perilaku rasul dalam segala aspek kehidupan.
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian.” (QS: al Ahzab: 21)
Cinta kepada rasulullah masih dangkal jika hanya diungkapkan dalam acara ritual peringatan mengenang kelahiran beliau. Kecintaan seperti ini tidak bermakna apa-apa jika ajaran yang dibawa oleh beliau disingkirkan dari kehidupan. Apakah dikatakan cinta kepada rasulullah, pada saat yang sama seseorang memuja-muja Adam Smith dan David Ricardo dalam menyelesaikan persoalan ekonomi? Bagaimana mungkin seseorang dikatakan cinta rasulullah sementara pada saat dia berpolitik merujuk pada Machiavelli dan Montesque, dalam pendidikan dan psikologi all out menerapkan teori Sigmund Freud. Padahal hanya rasulullah yang wajib dan layak dijadikan teladan pada semua aspek kehidupan.
Saatnya membuktikan cinta sejati sesuai petunjuk Sang Pemilik Bumi. Kecintaan dan pengagungan kita kepada rasulullah mengharuskan untuk menyelaraskan semua hal yang terkait pribadi, bermasyarakat dan bernegara dengan tuntunan syar’i.
Satu-satunya cara untuk mewujudkan cinta hakiki ini adalah dengan berjuang untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam secara kaffah. Inilah jalan para pejuang cinta sejati yang akan berbuah nikmat surga, suatu hari pada saatnya nanti.
Wallahu a’lam.
Zahida Arrosyida
Views: 17
Comment here