Oleh : Ummu Hanan (Aktivis Muslimah)
wacana-edukasi.com– Pembahasan seputar perubahan iklim kembali diangkat beberapa waktu lalu. Melalui pertemuan yang dilakukan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB COP26 sejumlah pemimpin negara di dunia akan membuat komitmen untuk menanggulangi perubahan iklim. KTT yang diselenggarakan pada tanggal 31 Oktober-12 November 2021 di Glasgow Skotlandia ini juga mengikutsertakan perwakilan dari LSM serta organisasi dan perwakilan nasional. Dikabarkan tidak kurang dari 25.000 orang ikut berpartipasi dalam forum ini yang berasal lebih dari 190 negara. Pemerintah Indonesia ikut berpartipasi dalam forum ini dengan menghadirkan Presiden Joko Widodo bersama delegasi lain.
Isu sentral yang mengemuka dalam KTT COP26 adalah bagaimana dunia mampu menurunkan prosentase emisi karbon. Upaya menurunkan emisi karbon menjadi sangat penting jika dikaitkan dengan potensi kerusakan yang akan ditimbulkan. Polusi karbon telah berkontribusi dalam menaikkan suhu bumi. Diketahui bahwa suhu “aman” yang seharusnya dimiliki bumi ada pada kisaran 1,5C atau maksimal 2C. Realitasnya hari ini suhu bumi hari ini berada pada angka 2,7C. Tingginya suhu bumi menyebabkan konsekuensi bencana iklim seperti banjir, gelombang panas, badai serta kebakaran hutan dan semak (bbc.com, 11/10/2021).
KTT COP26 berkomitmen untuk mengurai pihak yang telah bertanggungjawab dalam mencetus kenaikan emisi karbon. Menurut badan lingkungan Eropa, Institut Lingkungan Stockholm dan Institut Kebijakan Lingkungan Eropa, sejumlah kecil elit super kaya telah menyumbang polusi karbon 30 kali tinggi dibanding dari yang lain. Adapun sejumlah besar penduduk termiskin bumi ini yakni sekitar 50% tidak memberikan kontribusi yang cukup signifikan (bbc.com, 07/11/2021). Besarnya emisi karbon yang berasal dari segelintir elit super kaya diketahui berasal dari kepemilikan atas jet prbadi, superyacht ataupun rumah dalam jumlah banyak dibanding peduduk umumnya.
Kehadiran Indonesia dalam KTT COP26 tidak kalah penting untuk dicermati. Melalui pidato yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo, Indonesia sedang dalam upaya mengurai transisi energi dalam bentuk target rehabilitasi 600 hektare mangrove pada 2024 mendatang. Selain ini presiden juga menegaskan keberhasilan Indonesia dalam menurunkan angka kebakaran hutan dan lahan atau Karhutla (rmol.id, 04/11/2021). Menanggapi pidato tersebut, Greenpeace Indonesia menilai tidak lebih dari sebuah omong kosong. Greenpeace Indonesia menyoroti komitmen transisi energi yang disebutkan presiden belum serius dilakukan pemerintah, termasuk soal penurunan angka karhutla.
Upaya menurunkan polusi karbon sangat berpengaruh bagi keberlangsungan hidup di bumi. Peningkatan emisi karbon yang berakibat pada munculnya beragam bencana alam haruslah dilihat secara menyeluruh apa yang menjadi persoalan mendasarnya. Tidak dipungkiri hari ini begitu banyak ragam industri yang berjalan di mayoritas negara maju maupun berkembang. Kondisi padatnya penduduk bumi dan aktivitas yang berkaitan dengan pembuangan karbon juga tak dapat dielakkan. Namun dari sekian fakta yang ada, faktor apa yang paling berpegaruh dan mendasar dalam menaikkan emisi karbon?
Suasana kehidupan yang dipengaruhi cara pandang kapitalistik merupakan faktor terbesar dan mendasar. Cara pandang semacam ini telah membentuk pola sikap materialistik dan kapitalisasi di segala aspek. Kita dapat melihat masifnya aktivitas industri serta pabrik-pabrik beremisi karbon terus bermunculan tanpa dapat dikendalikan dampaknya terhadap lingkungan. Orientasi kapital menjadi prioritas usaha para kapitalis global dalam meraup keuntungan sebanyak-banyaknya. Belum lagi ketika kita berbicara soal keberadaan segelintir elit super kaya dengan gaya hidup hedonis mereka. Bagaimana gaya hidup mereka telah berkontribusi dalam melepaskan jutaan karbon dan merusak lingkungan.
Kapitalisme telah gagal dalam menempatkan kelestarian lingkungan sebagai prioritas mereka. Karenya wajar jika para kapitalis global hanya berpikir bagaimana cara agar bisnis yang mereka jalankan dapat terus bergerak tanpa terganggu oleh isu lingkungan. Disinilah kepentingan bagi kita untuk menggarisbawahi bahwa kapitalisme tidak serius dalam memperbaiki kondisi lingkungan. KTT COP26 yang disokong oleh para kapitalis global tidak lebih dari sekadar propaganda yang mereka gencarkan untuk lepas dari tanggungjawab. Sejatinya kapitalis global yang telah berperan besar menimbulkan kerusakan lingkungan melalui gaya hidup kapitalistik mereka.
Pelestarian lingkungan hanya mampu terwujud melalui cara pandang yang benar tentang kehidupan. Bagaimana manusia seharusnya menjalankan kehidupan mereka dan bersinergi dengan alam. Tidak masalah jika harus berbicara soal keuntungan berupa materi namun faktor ini bukanlah yang mendasar dan prioritas. Cara pandang semacam ini harus lahir dari Dzat yang Maha Mengetahui hakikat kehidupan manusia, yakni Allah SWT. Allah SWT telah memerintahkan kepada manusia untuk bijak dalam memanfaatkan apa yang ada di alam sekitar mereka dan tidak merusaknya. Allah SWT berfirman ”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah (Allah) memperbaikinya..”(TQS Al-A’raf: 56).
Berbicara pelestarian lingkungan meniscayakan bicara soal sistem kehidupan manusia. Sistem kapitalisme telah menjadikan kapital (materi) sebagai orientasi terbesar dalam membangun interaksi di tengah manusia. Alhasil, kapitalisme melalui para kapitalis modal justru menjadi biang kerusakan lingkungan dengan naiknya pemanasan global. Hanya ada satu alternatif untuk mengembalikan bumi dan kehidupan umat manusia pada fitrahnya yakni dengan sistem kehidupan yang berasal dari Pencipta, Allah SWT. Dengan kembali pada aturan Pencipta niscaya pengaturan hidup akan menjadi benar dan terarah serta mewujud pada terjaganya kelestarian lingkungan.
Views: 17
Comment here