Oleh : Dyahwin
(Aktivis Muslimah DIY)
wacana-edukasi.com– Pada tahun 1997 dan 1998 terjadi kebakaran hutan yang dahsyat di Indonesia. Peristiwa karhutla tersebut disebut World Wide Fund for Nature (WWF) sebagai insiden kebakaran hutan terbesar sepanjang sejarah. Dampak buruk terjadi menyeluruh baik lingkungan, ekonomi, kesehatan dll. Salah satunya, hasil penelitian menyebutkan bencana tersebut menyebabkan stunting pada anak yang lahir saat itu dikarenakan pasokan oksigen yang mengandung racun.
Pada perkembanganya, kebakaran hutan dan lahan (karhutla) telah menjelma menjadi bencana tahunan di beberapa tempat di Indonesia. Tahun ini kahutla juga kembali terjadi. Karhutla yang terjadi di Provinsi Riau mencapai 1.060,85 hektare. Angka luas karhutla tersebut dihimpun selama periode Januari hingga Juli 2022 (sumut.poskota.co.id, 06/08/2022).
Narasi Lama
Dahulu narasi yang dikembangkan sebagai penyebab kebakaran hutan di Indonesia adalah aktivitas perladangan berpindah, meski mereka mempunyai mekanisme kearifan lokal. Pada saat itu, pemerintah kemudian mengkriminalisasi mereka yang membersihkan lahan dengan cara membakar yang notabene adalah masyarakat lokal, dan dihadapkan dengan aparat senjata.
Saat ini menyematkan narasi tersebut sebagai alasan sangatlah tidak relevan dan sudah basi, karena semua sudah tahu bahwa diluar masyarakat setempat yang nomaden, banyak pihak luar yang dengan rakusnya menyerobot lahan hutan untuk dikelola sebagai usaha komersiil. Narasi-narasi yang digulirkan terkait penyebab kebakaran seperti cuaca, aktivitas peladang, seakan menutupi fakta besar yang ada dibaliknya. Eksploitasi besar besaran hutan yang terjadi tenyata dipicu keserakahan para kapitalis.
Spirit manfaat dalam kapitalisme bisa membuat orang menggunakan segala cara untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Alih fungsi lahan dengan cara menyerobot, membuka lahan dengan pembakaran begitu santai dilakukan. Diantaranya terjadi di tahun 2014, seorang pengusaha terkaya ke-28 bernama Surya Darmadi diduga menyuap gubernur Riau pada saat itu untuk mengubah lokasi pekebunan sawit PT Duta Palma menjadi bukan kawasan hutan. Ditemukan penyerobotan lahan hutan seluas 37 rb Ha oleh perusahaan tersebut. (www.portal-islam.id, 07/08/2022). Bahkan dilansir dalam Kompas.com, memaparkan bahwa 6 dari 10 orang terkaya di republik ini adalah konglomerat sawit. Dan pastinya mereka melakukan alih fungsi lahan dari hutan ke lahan sawit.
Keserakahan atau kerakusan menjadi kritikan mendasar diterapkanya sistem kapitalisme. Pada akhirnya sifat serakah yang didasari sebuah standar yang dibangun dari asas manfaat dan pengagungan terhadap prinsip kepemilikan pribadi ini, benar-benar merugikan segala hal. Sumber daya hutan yang seharusnya menjadi milik umum tidak lepas dari babatan liar, dan cara membukanya pun liar. Pembakaran menjadi pilihan yang dianggap “low budget” dan “high margin”, pun dengan cara yang ilegal.
Prediksi Kegagalan
Pada tahun 1960, ramalan (prediksi) tentang bencana global sudah dikemukakan. Adanya eksploitasi dan konsumsi sumber daya alam yang melampaui batas yang akan merusak keseimbangan ekologi. Prinsip-prinsip pasar ekonomi liberal yang dianut kapitalisme memungkinkan adanya kerusakan ekologi akibat parahnya eksploitasi sumber daya alam oleh para pemilik modal. Pemanasan global, udara yang kotor, hilangnya plasma nutfah, banyaknya spesies yang hilang, berkurangnya luasan hutan, dan lain-lain merupakan dampak buruk lainnya. Pemanasan global dan polusi hanya menjadi fenomena alam biasa jika tidak dibarengi dengan keserakahan manusia.
Pada akhirnya, musibah kebakaran hutan dan lahan yang terus-menerus terjadi menjadi bukti kegagalan sistem kapitalisme. Sehingga, tidak ada lagi alasan untuk tidak mengganti sistem yang merugikan dunia akhirat ini. Jika tidak maka manusia sendiri yang dirugikan, karena pada dasarnya Allah swt. menciptakan semua untuk manusia, untuk mewujudkan kehidupan yang rahmatan lil alamiin.
Terapkan Sistem Islam
Konsep pembangunan berkelanjutan yang digadang-gadang bisa mengatasi kerusakan dan mengendalikan ekologi tidak akan ampuh bahkan kerdil jika tidak dibarengi dengan pemahaman dan penyelesaian persoalan secara fundamental. Karena ternyata praktek ilegal loging masih ada. Pembukaan dan pemanfaatan hutan oleh korporasi pun masih ada. Penerapan pembangunan berkelanjutan dalam sistem kapitalisme tidak bisa mencegah resiko ekologis yang ternyata sangat dahsyat. Rakyat sebagai pemilik hutan masih juga diselingkuhi negara dengan ber-uvoria dengan para pemilik modal. Artinya, persoalan mendasarnya adalah pada sistem yang diterapkan. Kapitalisme tidak akan pernah kondusif untuk berpihak pada keadilan dan keseimbangan lingkungan, apalagi kehidupan yang rahmatan lil allamiin.
Apabila dikaji secara menyeluruh dan fundamental, satu-satunya sistem yang berpihak pada terwujudnya rahmatan lil alamiin adalah sistem Islam. Islam punya konsep yang utuh dan menyeluruh, yang menjamin keadilan untuk semua pihak. Adil tidak hanya untuk manusia, adil juga untuk udara, plasma nutfah, dan semua spesies di atas muka bumi.
Islam mengatur kepemilikan dengan indah. Sistem Islam juga mampu mengatur pengelolaan dengan detail, mengatur pasar dengan adil. Sehingga, jika kebijakan dan tata kelola berbasis pada Islam maka jika akan mewujudkan keadilan dan keselarasan untuk semua. Bagaimana pun juga perlu disadari dan diakui bahwa akidah Islam merupakan kunci utama terciptanya sistem kehidupan manusia yang benar dan menjadikan rahmat bagi semesta alam. Maka menjadi PR kita semua untuk mengkaji dan memahami akidah, sehingga bisa memastikan mana akidah yang benar. Karena itu akan menentukan cara pandang dalam memecahkan persoalan hidup dan tentunya pilihan terhadap sistem yang dianut dengan penuh kesadaran dan pemahaman.
Wallahu A’lam Bish Shawab.
Views: 35
Comment here