Oleh: Watini Aatifah
wacana-edukasi com, OPINI– Dikutip dari bbc.com, Syahrul Yasin Limpo menjadi menteri ke enam pada era pemerintahan Joko Widodo yang terjerat kasus dugaan korupsi. Para pegiat anti-korupsi menilai tren perkara korupsi di kalangan menteri terjadi karena pengawasan presiden yang lemah terhadap para bawahannya. Lantas bisakah perubahan terjadi sebelum kepemimpinan Jokowi berakhir?
Munculnya kasus dugaan patgulipat di kalangan Menteri, menurut peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yurius Kurniawan, tidak saja menunjukan pengawasan Jokowi yang lemah terhadap anak buahnya, tapi tidak adanya perubahan pemantauan oleh presiden terhadap para menteri.
“Sebagian besar kasus yang menjerat menteri terungkap bukan karena pengawasan internal oleh presiden, tapi laporan eksternal dari penegak hukum,’’ ujar Yuris via telepon, jumat (06/10)
KPK menyebut telah mendengarkan setidaknya keterangan 49 pejabat Kementerian Pertanian terkait perkara ini. Meski status Syahrul dalam kasus ini belum terang-benderang, dia telah megundurkan diri dari kursi menteri.
Perilaku di negeri ini kian menggurita, solah sudah membudaya setiap peluang korupsi akan diambil meraup keuntungan sebesar-besarnya dari uang rakyat. Proyek-proyek nasional pembangunan infrastruktur, pendanaan penanggulangan bencana adalah kesempatan bagi mereka mencicipi uang negara. Potensi korupsi dari proyek dan pendanaan pasti ada.
Sungguh miris lembaga pemerintahan yang dipercaya rakyat mengurusi urusan mereka malah berkhianat dan menjadi sarang ‘’tikus berdasi’’ ini nampak dari korupsi yang dilakukan dari satu menteri ke menteri lainnya.
Korupsi berjama’ah yang terjadi di sebuah Lembaga negara hari ini adalah buah dari sistem kapitalis demokrasi. Sitem kapitalisme yang berasakan sekuler atau pemisahan agama dari kehidupan telah menghasilkan individu yang kapitalistik dan tamak akan materi serta jauh dari takwa. Sistem ini justru melahirkan pemimpin khianat dan zalim.
Ditambah lagi sistem demokrasi yang berbiaya mahal meniscayakan keterlibatan pemilik modal dan partai politik mendanai para calon penguasa selama proses kampaye hingga terpilih. Maka tak heran kondisi seperti ini menuntut mereka ‘’balik modal’’ selama menduduki kursi pemerintahan selama lima tahun. Sementara gaji pokok plus tunjangan mereka selama lima tahun tidaklah sebesar biaya kampaye yang dikeluarkan yang nilainya milyaran hingga triliyunan rupiah. Sehingga untuk balik modal tak ada pilihan lain selain korupsi.
Penghianatan berlapis pun tak bisa dielak pasalnya bentuk balas budi penguasa wajib menuruti segala kemauan para kapitalis tersebut berupa kebijakan yang berpihak kepada mereka bukan kepada rakyat. Dari sini pula lah potensi korupsi bermunculan.
Tidak seperti demokrasi yang cacat sejak lahir sistem pemerintahan Islam memiliki jurus jitu menangkal dan membasmi korupsi. Penguasa Islam menyiapkan instrumen pencegahan dan penindakan bila ada pejabat yang terdeteksi melakukan korupsi.
Diantara pencegahan tersebut, khilafah akan memberlakukan pendidikan dan keimanan dan ketakwaan bagi setiap individu muslim. Penguasa Islam akan mendidik rakyatnya agar memiliki rasa takut kepada Allah. Dan sikap muraqabah (selalu merasa diawasi Allah) suasana amar ma’ruf nahi mungkar serta saling mengingatkan akan tercipta di lingkungan keluarga dan masyarakat. masyarakat akan melakukan pengawasan terhadap segala bentuk penyimpangan dan kemaksiatan ditopang dengan sistem pendidikan yang berbasis Aqidah Islam akan menghasilkan manusia berkepribadian Islam. Di dorong lingkungan keluarga yang memahami syariat, tercipta keharmonisan visi mendidik generasi.
Selain itu pemberian gaji yang layak. Para pejabat akan diberi gaji yang mencukupi, tunjangan serta fasilitas yang mampu memenuhi kebutuhan mereka. Pemberian gaji yang cukup akan meminimalisir angka kecurangan dan penyalahgunaan jabatan.
Rasulullah SAW bersabda:
‘’ barang siapa yang di serahi pekerjaan dalam keadaan tidak punya rumah, akan disediakan rumah; jika belum beristri hendaknya menikah; jika tidak mempunyai pembantu hendaknya ia mengambil pelayan; jika tidak mempunyai hewan tunggangan (kendaraan), hendaknya diberi. Dan barang siapa mengambil selainnya, itulah kecurangan (ghalin).’’(HR Abu Dawud)
Larangan menerima suap dan hadiah, para pejabat dilarang menerima hadiah selain dari gaji yang mereka terima. Rasullullah SAW bersabda:
‘’hadiah yang diberikan kepada penguasaha adalah suht( haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.’’ ( HR Imam Ahmad)
Perhitungan kekayaan. Hal ini pernah dilakukan di masa khalifah umar bin khaththab ra. Beliau kerap menghitung kekayaan pejabat di awal dan masa jabatan jika ditemukan gelembung harta yang tidak wajar maka yang bersangkutan diminta membuktikan bahwa harta yang diterimanya didapatkan dengan cara yang halal. Cara ini efektif untuk mencegah korupsi jika pejabat negara masih melakukan korupsi, maka tindakan hukum Islam akan diberlakukan yaitu hukuman setimpal yang akan memberi efek jera bagi pelakuknya sekaligus pelajaran berharga bagi masyarakat.
Dalam Islam korupsi termasuk hukuman ta’zir, bisa berupa tasyhir atau pewertaan (dulu dengan diarak keliling kota) sekarang mungkin bisa ditayangkan di TV seperti yang pernah dilakukan. Hukuman cambuk penyitaan harta, pengasingan, hukuman kurungan bahkan sampai hukuman mati. Demikianlah saat islam diterapkan di muka bumi maka Rahmat berupa keadilan akan dirasakan oleh umat manusia. Hanya mengganti sistem demokrasi dengan sistem pemerintahan khilafah yang mampu membasmi korupsi di negeri ini bahkan dunia, walualambisowab.
Views: 20
Comment here