Oleh: R. Nugrahani, S.Pd.
(Pemerhati Kebijakan Publik)
wacana-edukasi.com, OPINI– Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) sedang dalam tahap BU alias Butuh Utang. Hal ini disebabkan adanya pembengkakan dana proyek yang tidak sesuai dengan rencana awal ketika proyek ini ditawarkan.
Sebagaimana yang diberitakan di media elektronik cnnindonesia.com, bahwa di tahun 2015 pemerintah RI telah menetapkan pemerintah China sebagai pihak yang akan menyelesaikan mega proyek KCJB. Karena dana dan proses pengerjaan proyek KCJB yang ditawarkan oleh pemerintah China lebih murah dan lebih cepat dibandingkan dengan apa yang ditawarkan oleh pemerintah Jepang.
Selain itu, alasan lainnya mengapa pemerintah RI memilih pemerintah China dalam pengerjaan proyek KCJB adalah bahwa pemerintah China menawarkan jika pembangunan proyek tersebut tidak akan mengusik APBN dan jaminan pemerintah.
Tapi janji, tinggallah janji. Yang pada awalnya proyek ini ditargetkan hanya menghabiskan dana US$5,13 miliar atau sekitar Rp76,95 triliun dengan asumsi kurs rupiah 15 ribu, diawal tahun 2021 dana proyek tersebut meningkat dari US$6,071 miliar menjadi US$8 miliar atau sekitar Rp 120 triliun.
Setahun kemudian tepatnya pada 9 Maret 2022, berdasarkan hitungan dan review Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Komite KCJB pembengkanan biaya proyek tersebut bertambah sebesar US$1,17 miliar atau sekitar Rp 120 triliun.
Tidak berhenti disitu. Enam bulan kemudian, yaitu pada September 2022 hitungan dana proyek tersebut kian membengkak. Diperkirakan hitungan melonjak menjadi US$7,5 miliar atau sekitar Rp 112,5triliun.
Berdasarkan hitungan dana proyek KCJB dari awal hingga kali terakhir hitungan, terlihat jelas bahwa dana mengalami pembengkakan. Apa pun alasannya, hal tersebut sudah tidak sesuai dengan kesepakan awal yang ditawarkan oleh pemerintah China.
Penggunaan dana APBN pun jelas juga telah melanggar janji. Mengingat Presiden Jokowi diawal tander proyek ini, berkali-kali menegaskan bahwa proyek KCJB tidak akan menggunakan uang APBN sepeser pun. Selain itu, pemerintah juga tidak akan memberikan jaminan apa pun jika seandainya proyek ini terancam gagal.
Dari sini jelaslah adanya pembengkakan dana proyek KCJB menunjukkan bahwa pemerintah China tidak cermat dalam perencanaan dan pemerintah RI teledor dalam membangun kerjasama dengan investor.
Karena pemerintah RI tidak memiliki posisi tawar yang lebih kuat dari pemerintah China, maka pilihan menyedihkannya adalah negosiasi. Proyek tetap jalan dengan adanya tambahan dana atau proyek mangkrak begitu saja. Tambahan dana yang dibebankan ke pemerintah RI pun tidaklah sedikit. Yaitu dengan persentase 60% dari pemerintah RI dan 40% dari pemerintah China dari total dana yang dibutuhkan hingga proyek tersebut selesai.
Bahkan pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio pernah menyatakan bahwa persoalan KCJB tidak cukup berhenti pada kendala-kendala konstruksi saja. Melainkan akan merembet hingga pada biaya operasional.
Ketika dana APBN sudah masuk untuk membantu biaya pembangunan proyek, maka biaya operasionalnya pun butuh biaya besar. Mulai dari harga tiket, hingga pada manitenance fasilitas KCJB. Jika akan ada subsidi lagi, tentunya akan menjadi beban lagi. Lebih lanjut Agus menyebutkan bahwa proyek ini adalah proyek tidak feasible sejak awal. Tetapi pemerintah RI tetap ngotot untuk menjalankannya.
Sungguh timpang ketika pemerintah melakukan pertimbangan dalam pembangunan. Meskipun alasan yang diberikan adalah untuk menambah fasilitas publik dan memudahkan mobilitas masyarakat.
Jika dimasukkan dalam skala prioritas, maka proyek KCJB tidak masuk dalam prioritas utama. Seharunya pemerintah lebih tahu akan hal tersebut. Masih banyak hal yang seharusnya lebih diprioritaskan daripada pembangunan proyek KCJB, semisal masalah fasilitas kesehatan publik, pengentasan kemiskinan, kasus stunting, peningkatan kualitas saran dan prasarana pendidikan, pembangunan rumah layak huni dsb.
Apalagi proyek ini dibangun dengan biaya utang. Utangnya adalah utang luar negeri. Jelas ini akan membahayakan kemandirian dan kedaulatan negara.
Seperti inilah ketika sebuah pemerintahan memilih kebijakan hanya berdasarkan untuk rugi. Pemilik kebijakan, dalam hal ini negara (pemerintah) akan mengelola pemerintahan sebagaimana mengelola bisnis. Pun demikian dengan adanya proyek KCJB. Proyek ini dipandang sebagai murni business to business. Jadi jelas bukan atas kepentingan rakyat proyek KCJB terlahir.
Negara yang menggunakan sistem pemerintahannya berlandaskan sistem kapitalisme, tentu akan memilih keuntungan materi dalam setiap proyek pembangunan yang dilakukan. Hal ini tentu akan berbeda jika sebuah negara menggunakan sistem Islam dalam pemerintahannya.
Dalam sistem pemerintahan Islam, maka masalah pembangunan fasilitas publik bukan dibangun atas dasar keuntungan. Melainnkan berdasarkan jaminan pemenuhan kebutuhan rakyat. Yang tentunya kebutuhan utama yang lebih diprioritaskan.
Sebuah negara yang menggunakan Islam sebagai sistem pemerintahan (Daulah Khilafah) akan melakukan kebijakan pembangunan berdasar dua kondisi.
Yang pertama, pembangunan infrastruktur akan menggunakan dana dari baitul mal tanpa pungutan dari dana masyarakat sepeserpun. Negara bisa mengambil dana dari kekayaan milik umum yang dikuasai dan dikelola negara, ditambah dengan kekayaan milik negara.
Yang kedua, apabila baitul mal tidak memiliki dana, maka perlu dipertimbangkan pembangunan yang akan dikerjakan. Jika memang merupakan satu-satunya fasilitas umum yang dibutuhkan dan vital, atau karena situasi dan kondisi tertentu yang tidak melanggar hukum syara, maka dalam kondisi seperti ini, negara bisa memberikan dorongan kepada masyarakat untuk melakukan infak. Jika masih tidak cukup, maka negara bisa menarik pajak atas kaum muslimin, laki-laki, dan yang memiliki kemampuan untuk pembiayaan pembangunan hingga terpenuhi dana yang dibutuhkan.
Selain itu, jika memang pembangunan yang dibutuhkan sangat mendesak sedangkan dana sama sekali tidak ada atau hanya sedikit yang terpenuhi, maka Daulah Khilafah boleh melakukan pinjaman. Pinjaman tersebut bisa diajukan ke individu, perusahaan asing, ataupun kepada negara lain dengan syarat tanpa adanya bunga dan kesepakatan yang merugikan Daulah Khilafah.
Tetapi jika pembangunan yang direncakanan bukanlah hal yang vital dan mendesak harus segera terpenuhi, makak daulah Khilafah tidak perlu melakukan penarikan pajak ataupun melakukan pinjaman. Daulah Khilafah tidak akan memaksakan diri, ngotot untuk melakukan pembangunan yang kurang penting.
Seperti itulah kebijakan pembangunan dalam sistem pemerintahan Islam. Pertimbangannya bukan berdasarkan untung rugi. Tetapi mempertimbangkan jaminan layanan masyarakat agar lebih mudah menjalani kehidupan dengan landasan keimanan tentunya.
Pertimbangan itu jelas berbeda dengan negara yang menggunakan sistem demokrasi kapitalis dalam pemerintahannya. Pertimbangan yang seringnya terbukti gagal dalam menyejahterakan masyarakat dalam hal pembangunan fasilitas publik. Karena memang hanya berlandaskan untuk rugi. Bukan karena keimanan dan ridlo ilahi robbi
Views: 4
Comment here