Opini

Dating Violence Tak Bisa Pakai Permen

blank
Bagikan di media sosialmu

Oleh : Diani Aqsyam

wacana-edukasi.com– Saat ini pacaran menjadi hal yang lumrah di masyarakat. Bahkan ada orangtua yang was-was ketika anaknya belum memiliki pacar, khawatir anaknya tumbuh dengan keabnormalan. Memang, manusia mempunyai naluri untuk menyukai lawan jenis (gharizah na’u) dan perlu wadah untuk menyalurkan naluri tersebut. Namun pacaran bukan jalan satu-satunya untuk menyalurkan gharizah na’u. Islam telah mengaturnya bahwa penyaluran yang tepat adalah dengan jalan menikah. Jadi, tidak pacaran bukan berarti abnormal.
Dalam sistem kapitalisme yang sekarang dianut negri ini, kebebasan berperilaku amat sangat dijamin bahkan dijunjung tinggi atas nama HAM.

Tak bisa dipungkiri, cara pandang hidup ala liberalisme yang dijejalkan oleh Barat telah banyak mempengaruhi pemikiran dan gaya hidup generasi. Manusia dibiarkan bebas tanpa aturan dan hal ini semakin menambah kebutaan manusia akan hukum Allah. Pacaran dianggap ikatan cinta yang wajar, namun sejatinya ia adalah ikatan haram yang kini tumbuh liar. Penguasa negeri muslim seharusnya menyadari betapa bahayanya ide liberalisme yang menyebabkan rusaknya kehidupan masyarakat.
Ketika hukum Allah “ditabrak”, maka pasti akan ada keburukan-keburukan bahkan musibah-musibah yang terjadi.

Berawal dari pacaran, lalu hamil duluan, terjadinya kekerasan, aborsi bahkan sampai pada hilangnya nyawa bisa terjadi pada para aktivis pacaran. Seperti yang terjadi pada seorang mahasiswi sebuah perguruan tinggi negeri di Kota Malang berinisial NW. NW menjadi salah satu dari sekian banyak fakta terkait dampak buruk pacaran dan pergaulan bebas.

NW (23 tahun) menjadi korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh kekasihnya, yang merupakan seorang anggota polisi bernama Bripda Randy Bagus. NW mengalami depresi atas jalinan ikatan haram. Ia bahkan telah dua kali dipaksa melakukan aborsi oleh pacarnya. Hingga akhirnya depresi tersebut berujung pada bunuh diri. NW diduga meminum racun jenis potasium dan akhirnya meninggal dunia di dekat makam ayahnya di Mojokerto, Jawa Timur, pada 2 Desember 2021.

Kisah NW yang melakukan bunuh diri sebagai puncak depresi menjadi buah bibir di masyarakat bahkan sampai para pejabat. Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) Bintang Puspayoga menyebut kasus yang menimpa NW termasuk dalam kategori kekerasan dalam berpacaran atau dating violence. Bintang menerangkan kekerasan dalam berpacaran dapat menimbulkan penderitaan secara fisik maupun seksual. Tak hanya itu, akibat yang ditimbulkan dari kekerasan dalam berpacaran itu juga dapat merampas hak seseorang baik di khalayak umum maupun sampai ke kehidupan pribadi (news.detik.com 05/12/2021).

Banyak pihak yang mendesak agar kepolisian segera mengusut tuntas kasus NW. Bahkan melalui Kemen PPPA membuka call center untuk pengaduan bagi perempuan atau anak yang menjadi korban kekerasan.
Namun, apakah semua hal tersebut cukup untuk mengakhiri kasus kekerasan pada perempuan? Tidak, kasus ini tidak cukup dikawal dengan penangkapan pacar korban, sementara nilai-nilai liberalisme masih eksis dalam tata pergaulan.

Para aktivis feminis “kekeuh” bahwa maraknya kekerasan pada perempuan bukan karena liberalisme, tapi karena tidak adanya kesetaraan laki-laki dan perempuan. Akibat ketidaksetaraan tersebut, sering terjadi dating violence dalam sebuah hubungan. Dating violence sendiri merupakan istilah yang menggambarkan hubungan laki-laki dan perempuan yang berpacaran, tetapi sang laki-laki cenderung berperilaku kasar, agresif, dan selalu membatasi.

Menurut aktivis feminis, jika kesetaraan terwujud, tidak akan ada laki-laki yang menindas dan bahkan melecehkan perempuan, sehingga kasus kekerasan akan terminimalisir. Sungguh sebuah logika yang keliru. Merebaknya kasus kekerasan terhadap perempuan bukanlah semata akibat ketimpangan gender atau ketiadaan payung hukum yang mampu melindungi kaum perempuan yang sering dianggap sebagai korban, karena kekerasan ini juga menimpa laki-laki.

Ide feminisme kental pada pembelaan dan perjuangan kesetaraan perempuan. Hanya merancang penyelesaian masalah dari kalangan perempuan. Padahal, kekerasan seksual juga terjadi pada laki-laki. Seperti masalah sodomi yang acap kali terjadi pada anak laki-laki di bawah umur. Seolah-olah setiap kekerasan seksual yang terjadi, pasti pelakunya adalah kaum pria. Nyatanya banyak juga terjadi justru sebaliknya.
Selain itu kesetaraan gender menghasilkan masalah-masalah baru seperti hilangnya peran perempuan sebagai ibu karena mereka senantiasa terdorong untuk berkiprah di luar rumah tanpa batas.

Minusnya peran ibu dapat mengakibatkan anak-anak tidak lagi memiliki pelindung, sehingga kehidupan sosialnya terancam dan ini pun menjadi peluang terjadinya kekerasan seksual pada anak. Permalasahan lainnya adalah akan terjadi eksploitasi besar-besaran terhadap wanita. Banyak wanita termakan jargon “wanita harus mandiri secara finansial”, sehingga mereka akhirnya mati-matian untuk memenuhi hal tersebut.

Banyak lapangan pekerjaan yang mengeksploitasi sisi keperempuanan dengan mensyaratkan penampilan fisik yang menarik, hal ini justru menjadi pemantik munculnya pelecehan seksual. Jadi sedari awal logika serta solusi kaum feminis amat miris, karena sangat tidak mengakar bahkan menyesatkan. Walaupun salah, tapi mereka tetap getol untuk menyuarakan ide-idenya, termasuk menyuarakan pengesahan RUU TPKS (Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual). Dan adanya kasus NW dijadikan sebagai momen “aji mumpung”promo kebijakan untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi yang dituangkan dalam Permendikbudristek No.30 yang baru disahkan. Sebuah Permen yang juga kental dengan nilai-nilai liberal.

Permen ini menuai beragam kontra. Menurut pengamat politik, Muslim Arbi, isi Permen tersebut justru melegitimasi perzinaan. Masalahnya, dalam terminologi “kekerasan seksual” tersebut, jika tindakan seksualnya terjadi dengan persetujuan, maka tidak terkategori kekerasan seksual (baca: seks bebas). Menurutnya, ini jelas pemikiran liberal menuju jalan perzinaan.
Guru Besar Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung Prof. Cecep Darmawan menilai Permen ini kontroversial dan bermuatan liberal, yang jika sejumlah pasalnya tidak mengalami revisi atau pencabutan bisa membahayakan masa depan generasi muda (islamtoday, 06/11/2021).

Dari beragam kontra, sudah terlihat bahwa dating violence, dan kekerasan seksual lainnya tidak akan berakhir dengan Permendikbudristek No.30.
Tidak bisa dipungkiri, kasus kekerasan perempuan semakin mengkhawatirkan. Tentunya menuntut adanya penyelesaian segera, sebab jika tidak diselesaikan, akan timbul masalah berikutnya. Namun, dalam menyelesaikannya tak boleh asal dan sekadar mencari solusi pragmatis. Masalah tidak akan selesai tuntas dengan cara-cara liberal, apalagi yang menyandarkan hanya pada akal semata.
Tidak ada masalah yang luput dari aturan Islam.

Semua masalah di dunia ini mampu diselesaikan dengan Islam, termasuk masalah kekerasan seksual. Islam memberikan solusi preventif maupun komprehensif.
Sebagai solusi preventif, Islam mengatur hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan, baik dalam kehidupan umum maupun khusus. Dengan begitu akan melindungi keduanya dari interaksi yang berlebihan. Selain itu, diwajibkan pula atas mereka untuk menutup aurat. Melarang para wanita untuk bertabarruj, dan melakukan perjalanan lebih dari sehari semalam tanpa mahram, dalam rangka menjaga kehormatannya.

Negara pun akan memudahkan perkara pernikahan, karena pernikahan adalah satu-satunya sarana penyaluran naluri seksual yang sah. Selain itu negara wajib hadir untuk mengontrol ketat seluruh tayangan maupun konten-konten. media. Sanksi yang tegas pun harus ditegakkan jika ada yang melanggar.

Solusi yang dibangun atas dasar Islam pasti mengakar. Kembalilah pada penataan Islam secara kaffah yg terbukti menjadi solusi paripurna memberantas kekerasan seksual. Tatanan kehidupan yang rusak akibat penerapan sistem kapitalisme ini hanya bisa berakhir jika umat mencampakkan sistem dan ideologi rusak ini dari negeri muslim, serta menggantinya dengan sistem dan ideologi Islam.

Disclaimer

Wacana Edukasi adalah sarana edukasi masyarakat. Silakan kirimkan tulisan anda ke media kami. Wacana Edukasi akan melakukan seleksi dan menayangkan berbagai naskah dari Anda. Tulisan yang dikirim bisa berupa Opini, SP, Puisi, Cerpen, Sejarah Islam, Tsaqofah Islam, Fiqih, Story Telling, Olah raga, Kesehatan, Makanan, ataupun tulisan lainnya. Tulisan tidak boleh berisi hoaks, mengandung SARA, ujaran kebencian, dan bertentangan dengan syariat Islam. Tulisan yang dikirim sepenuhnya menjadi tanggungjawab penulis.

Views: 9

Comment here