Oleh: Sumariya (Anggota LISMA Bali)
wacana-edukasi.com, OPINI– Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Jakarta meningkat pesat dalam satu bulan terakhir. Ada 1.729 kasus DBD di Jakarta hingga 18 Maret 2024. Kasus terbanyak ada di Jakarta Barat. Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ani Ruspitawati mengatakan, kasus DBD diprediksi masih akan mengalami peningkatan hingga Mei 2024. (www.kompas.com)
Peningkatan curah hujan dan kelembaban udara menjadi salah satu faktor berkembang biaknya nyamuk, termasuk nyamuk Aedes aegypti, yang merupakan nyamuk pembawa virus Dengue atau Den-V. Ani mengatakan perlu upaya pengendalian secara masif pada tujuh tatanan di permukiman, perkantoran, institusi pendidikan, tempat umum, tempat pengelolaan makanan, fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas olahraga. (www.harianjakarta.com)
Program Pengendalian Vektor DBD yang dilakukan antara lain 3M Plus, meningkatkan pemantauan jentik oleh juru pemantau jentik (jumantik) dua kali sepekan dan fogging (pengasapan). (www.kompas.com)
Selain merujuk ke fasilitas kesehatan yang tersedia rawat inapnya, warga juga disarankan menjalani vaksinasi DBD. Vaksinasi ini diberikan dua kali dalam waktu 3 bulan antar dosis, dengan biaya Rp 700.000,00 per dosis. Berulangnya kasus DBD di beberapa wilayah di negeri ini, hingga menimbulkan korban yang tidak sedikit, sejatinya menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani penyakit ini. Pengendalian penyakit ini tidak bisa diserahkan kepada individu masyarakat semata, akan tetapi butuh peran negara untuk melakukan tindakan pencegahan secara terstruktur dan terpadu untuk memutus rantai penyebaran. Demikian pula upaya penanganan (kuratif) harus dilakukan dengan sebaik mungkin saat kasus DBD ditemukan untuk meminimalisir bahaya pada yang terinfeksi.
Meningkatnya jumlah kasus DBD dan atau kematian yang bermakna secara epidemiologis dapat menghantarkan kondisi kejadian luar biasa (KLB) yang tidak boleh dianggap sepele. Oleh karena itu, upaya penanggulangan seharusnya difokuskan pada kegiatan pemberantasan sarang nyamuk, penyelidikan epidemiologi, fogging dan penanganan penderita DBD. Hanya saja berjalannya pemerintahan yang berasaskan Kapitalisme, membuat sulit terwujudnya penanganan terbaik dan tuntas.
Sistem kapitalisme menciptakan masyarakat miskin secara sistemik. Kemiskinan menjadi salah satu faktor sulitnya pemberantasan DBD. Kemiskinan menyebabkan masyarakat sulit memiliki tempat tinggal yang bersih dan sehat, terlebih lagi kemiskinan mengakibatkan ketidakmampuan masyarakat memenuhi kebutuhan pangan yang sehat dan bergizi untuk menunjang daya tahan tubuhnya. Selain itu, penataan kota yang jauh dari ideal, menjadi faktor cepatnya penyebaran virus DBD. Saat ini, kota identik dengan kepadatan penduduk yang tidak diimbangi dengan permukiman yang layak.
Kapitalisme adalah biang dari persoalan ini, sebab sistem ekonomi Kapitalisme telah menciptakan kesenjangan ekonomi di tengah masyarakat. Para pemilik modal dibiarkan dengan serakah menguasai lahan-lahan strategis, demi kepentingan bisnisnya. Alhasil, rakyat miskin semakin terpinggirkan, mereka beramai-ramai hidup di satu lahan yang sempit, hingga menciptakan lingkungan yang tidak sehat. Meski ada upaya dari Pemerintah untuk menangani kasus ini, namun upaya tersebut tidak menyentuh akar persoalan. Upaya tersebut sejatinya sekedar upaya tambal sulam yang seolah ingin menunjukkan kinerja pemerintah.
Kesehatan dalam paradigma Kapitalisme adalah objek komersial, wajar kesehatan rakyat diabaikan bahkan negara sangat berhitung untung akan hal ini. Fogging untuk membunuh nyamuk misalnya, hanya dilakukan ketika ditemukan sejumlah tertentu kasus DBD. Vaksinasi DBD diberikan sesuai dengan konsep kesehatan ala sistem Kapitalisme, di mana jenis pelayanan kesehatan berbanding lurus dengan biaya yang mampu dibayarkan rakyat.
Kondisi berbeda akan kita temukan dalam negara yang menerapkan aturan Islam kaffah, di bawah institusi Khilafah. Aturan yang diterapkan di negeri ini adalah aturan yang terbaik, karena berasal dari Al-Khalik dan Al-Mudabbir, Allah SWT. Salah satu kesempurnaan Islam bisa dilihat dari pengaturannya terhadap seluruh aspek kehidupan. Kesehatan merupakan salah satu aspek vital, Rasulullah SAW bersabda:
“Imam adalah memelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. al-Bukhari)
Oleh karena itu, Khilafah memandang Kesehatan sebagai tanggung jawab, bukan ladang bisnis. Negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan kesehatan seluruh rakyatnya tanpa terkecuali, apalagi Islam telah memerintahkan untuk menjauhi segala macam bahaya.
Islam juga memiliki mekanisme preventif dan jaminan atas tindakan kuratif yang berkualitas. Dalam kasus ini, kesadaran akan pencegahan tentang penyakit demam berdarah ataupun penyakit lainnya, memang harus dipahami sejak dini oleh masyarakat, namun upaya edukasi ini juga harus dijalankan dan diberikan oleh pemerintah. Selain itu, negara menyediakan fasilitas infrastruktur yang mampu menunjang pencegahan penyakit ini, serta mengontrol seluruh media penyebarannya, bahkan negara akan melakukan riset hingga menemukan inovasi teknologi terbaik untuk mencegah penyakit ini, kemudian mengaplikasikannya di tengah masyarakat. Jika teknologi tersebut berupa alat atau bahan tertentu, negara akan membagikannya secara gratis kepada masyarakat, termasuk pelaksanaan vaksinasi gratis. Jaminan kesejahteraan masyarakat dalam Khilafah juga akan mencegah penyebaran penyakit ini. Negara akan membangun sarana dan prasarana perkotaan, hingga terwujud lingkungan yang bersih dan sehat. Selain itu, negara tidak boleh lepas tangan dalam mengatur kesiapan fasilitas untuk tindakan kuratif. Salah satunya adalah kesiapan fasilitas kesehatan untuk menangani penderita yang membutuhkan tindakan medis. Islam mewajibkan negara menjamin fasilitas pelayanan kesehatan yang diperuntukkan bagi kesehatan publik. Masyarakat bisa menikmatinya tanpa pungutan biaya sedikitpun. Inilah cara Khilafah mencegah masyarakatnya dari berbagai penyakit, termasuk penyakit DBD. Hanya penerapan Khilafah Islam yang menjamin terwujudnya masyarakat yang sehat dan unggul.
Wallahu a’lam bishshawab
Views: 14
Comment here