Oleh: Novianti
Wacana-edukasi.com — Seperti apa orang cerdas? Kecerdasan harus didefinisikan agar setiap orang bisa mengukur potensi otaknya.
Ternyata, definisinya berubah-ubah tergantung kondisi. Awal abad 19, tingkatannnya diukur oleh IQ (Intelligence Quotient). Konsep ini lahir untuk mengidentifikasi mana anak semangat sekolah dan mana yang memerlukan bantuan. Anak dengan skor IQ tinggi dianggap cerdas dan hebat, berpeluang sukses di masa depannya.
Hingga kini, masih banyak sekolah yang menggunakan test IQ sebagai dasar kelulusan diterima di sekolah. Padahal, ada hal-hal yang lebih esensi tidak bisa diukur oleh test IQ.
Realitasnya juga dalam masyarakat, seseorang dengan IQ biasa mampu melampaui pencapaian orang ber IQ tinggi. Muncullah Golman dengan teorinya tentang EQ (Emotional Quotient). EQ melihat kecerdasan dari sudut pandang berbeda, berkaitan dengan pengendalian emosi, kontrol diri, ketahanan mental menghadapi tantangan.
Menyusul teori Multiple Intelligence oleh Howard Gardner dengan model kecerdasan lebih luas. Setiap orang cerdas namun dalam bidangnya masing-masing.
Ternyata, definisi kecerdasan sudah lebih dulu ditelaah dalam Islam. Salah satunya, oleh Ibnul Jauzi yang lahir tahun sekitar 510 H. Beliau menulis kitab berjudul “Kecerdasan dalam Pandangan Islam”.
Menarik membaca buku ini karena teori yang dikemukakan oleh para ahli sekarang sudah dikupas di dalamnya. Ibnul Jauzi memandang kecerdasan manusia sampai pada taraf akalnya.
Rasulullah saw. bersabda,” Manusia yang paling utama adalah manusia yang paling baik akhlaknya. Manusia yang cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat kematian dan paling baik dalam mempersiapkan bekal untuk menghadapi kehidupan setelah kematian. Mereka adalah orang-orang berakal.”
Ibnul Jauzi menggambarkan lebih detail terkait hadis tersebut. Kecerdasan seseorang bisa dilihat dari diamnya, pandangan, dan gerakannya yang terkontrol dengan memperhatikan sebab akibat. Ia tidak tergesa-gesa dalam bertindak. Tidak mengikuti syahwat semata karena pasti berakibat membahayakan.
Ia mempertimbangkan lalu memutuskan yang paling tinggi dan terpuji akibatnya. Keputusan berkaitan dengan makanan, minuman, pakaian, perkataan dan perbuatan. Ia bertanggung jawab terhadap yang dilakukannya serta siap menghadapi apa yang mungkin terjadi.
Karena itu, orang cerdas adalah mampu mengikatkan dirinya pada aturan Allah, menjaga lurusnya akal sehingga ia tidak menabrak ketentuan-Nya.
Pendapat Ibnul Jauzi dibahasakan berbeda oleh Syekh Taqiyuddin an Nabhani. Orang cerdas adalah berkepribadian Islam, dimana pola pikir dan pola nafsiahnya berlandaskan Islam. Pola fikir artinya melihat segala sesuatu dari sudut pandang Islam, pola nafsiyah artinya cara untuk memenuhi gharizah (kecenderungan) dan hajatul uduwiyah (kebutuhan jasmani) berdasarkan kaidah Islam.
Selarasnya pola pikir dan pola nafsiah bagian yang penting. Seseorang bisa berkepribadian cacat. Misal, ia melaksanakan salat, tetapi berpendapat zinah halal. Meski tidak menjadi bagian dari pelaku, tetapi membenarkan perilaku yang jelas diharamkan, berarti ada kekeliruan dari cara berpikirnya.
Rasulullah berpesan, “Janganlah kalian kagum dengan keislaman seseorang hingga kalian mengetahui kelurusan akalnya.” Akal adalah cahaya, yang dengannya manusia bisa berkedudukan lebih mulia dari hewan.
Karenanya, sebagai seorang pendidik, pekerjaan mencerdaskan anak tidak mencukupkan sampai pada perubahan perilaku. Pemahaman yang benar harus dibangun melalui proses dialog agar mengetahui batas yang dipahaminya melalui perkataannya. Metode seperti ini disebut talaqqiyyan fikriyyan, yaitu mengajak pada perenungan hingga dapat membedakan antara hakikat dan maklumat.
Seseorang yang cerdas adalah yang berakal lurus, berjalan di dunia ini dengan ketakwaan dan pengendalian diri, tidak jemu menuntut ilmu, bergiat dengan amalan saleh. Kesibukannya terfokus pada persiapan menuju akhirat karena kenikmatan dunia akan terputus dengan kematian. Kenikmatan di akhirat menjadi pencapaian yang diperjuangkan.
Views: 197
Comment here