Oleh : Ummu Rifazi, M.Si
Wacana-edukasi.com, OPINI-– Alat Kelengkapan DPRD (AKD) akhirnya resmi ditetapkan oleh DPRD Kota Bogor dalam rapat paripurna yang diadakan pada Rabu (25-09-2024) malam. Keputusan tersebut dihasilkan setelah semua fraksi menyampaikan komposisi anggota untuk masing-masing komisinya yang meliputi Pimpinan, Badan Musyawarah (Bamus), Badan Anggaran, Badan Kehormatan, Badan Pembentukan Perda (Bapemperda), Komisi, Panitia Khusus (megapolitan.kompas.com, 26-09-2024).
Proses perumusan AKD sebagai bagian yang mendukung tugas dan wewenang dewan tersebut berjalan alot dan melebihi batas waktu yang telah ditentukan. Keterlambatan penetapannya disinyalir akibat terjadinya perselisihan antara fraksi-fraksi DPRD terkait penetapan posisi strategis dalam komposisi AKD tersebut (metropolitan.id, 24-09-2024).
Mewakili Rakyat Atau Menapaki Kekuasaan?
‘Keributan’ yang terjadi dalam perumusan AKD tersebut semakin memperlihatkan bahwa tujuan mereka menjadi anggota dewan adalah semata-mata demi ambisi kekuasaan. Sementara aspirasi rakyat yang seharusnya mereka perjuangkan tidaklah menjadi prioritas.
Jabatan Pimpinan misalnya, kerapkali menarik untuk diperebutkan oleh partai-partai pemenang pemilu dari periode ke periode. Karena realitasnya tugas Pimpinan tak hanya meliputi masalah teknis menyusun jadwal sidang dan mengatur jalannya sidang, namun kerapkali membawa kepentingan yang lain.
Dalam rapat-rapat Bamus, agenda-agenda strategis untuk perbaikan pemerintah dan kesejahteraan rakyat ternyata dapat berjalan lambat untuk memuluskan suatu kebijakan penguasaa. Misalnya, Revisi UU Migas yang bersifat mendesak, ternyata mangkrak hingga tiga tahun lamnya karena agenda pembahasannya yang tersendat.
Kebijakan andalan pemerintah yang termuat dalam rencana legislasi dan RAPBN juga dapat dilajukan melalui mekanisme penjadwalan oleh Bamus ini. Pemerintah yang sedang berkuasa dapat melenggang dengan agenda kebijakannya jika Pimpinan Bamusnya berasal dari partai atau koalisi partai pendukung pemerintah.
Atau sebaliknya dapat terjadi upaya pengganjalan ketika pimpinan Bamus berasal dari partai oposisi pemerintah. Maknanya, posisi yang diduduki dapat menjadi tugas politis mengarah kepada konteks kepentingan politik yang sedang berkembang, dan bukan untuk memperjuangkan aspirasi rakyat (ipc.or.id, 02-09-2014).
Inilah konsekuensi ketika bangsa dan negeri kaum muslimin ini menjadi budak sistem demokrasi batil. Sistem ini meniscayakan rakyat bertindak sebagai musyarri’ (pembuat hukum) sekaligus sebagai sumber kekuasaan. Menyalahi perintahNya yang jelas-jelas menegaskan bahwa “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah” (QS. Al An’am : 57).
Alhasil setiap kebijakan yang lahir dari sistem batil ini mudah disiasati, acapkali dalam kendali beberapa partai atau kekuatan aktivitas politik segelintir kapitalis. Dengan mudahnya partai atau golongan pemegang kendali memaksakan ideologi maupun pandangannya terhadap kepentingan masyarakat. Setiap beleid yang lahir darinya hampir bisa dipastikan mencampur adukkan antara yang haq dan batil, mengakibatkan rakyat jelata menjadi korban abadi.
Lantas jika kemudharatan terus menghampiri berulang kali, mengapa kita terus bertahan berhukum pada thaghut (Ideologi-ideologi yang mengingkari kedaulatan Allah SWT beserta segenap turunannya berupa sistem hukum, politik, ekonomi, sosial dan budaya) dan menyelisihi firmanNya?
Sementara Allah tegas mengingatkan “ Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu” (QS. An Nisaa : 60).
Majelis Umat : Mewakili Rakyat, Mengoreksi Penguasa
Istilah ‘perwakilan rakyat’ tidak dikenal dalam Islam. Dalam sistem pemerintahan negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, yang ada adalah majelis umat.
Majelis umat beranggotakan individu yang mewakili kaum muslimin dalam menyampaikan pendapat sebagai bahan pertimbangan bagi khalifah (kepala negara). Mereka juga mewakili masyarakat dalam mengawasi dan mengoreksi (muhasabah) para pejabat pemerintahan (al hukam).
Warga non muslim pun dibolehkan menjadi anggota majelis umat untuk menyampaikan pengaduan tentang kezaliman para penguasa maupun penyelisihan pelaksanaan hukum-hukum Islam dalam kehidupan bernegara. Namun demikian mereka tidak memiliki hak untuk melakukan koreksi (muhasabah) terhadap kebijakan negara yang tegak di atas syariah Islam.
Warga non muslim anggota majelis umat ini tidak boleh terlibat dalam musyawarah urusan-urusan negara dan masyarakat. Ketentuan ini tidak bermakna Negara Islam berlaku diskriminatif terhadap warga non muslim. Namun pelarangan keterlibatan mereka dalam musyawarah disebabkan status kekufuran (kesesatan) mereka.
Keberadaan majelis umat dalam sistem pemerintahan Islam ditetapkan syariat berdasarkan keteladanan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam beserta para sahabatnya. Kanjeng Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam merupakan kepala negara yang paling sering bermusyawarah dengan para sahabatnya. Para sahabat yang mulia ini adalah ahlul ra’yi (para pemikir) yang mempunyai kecemerlangan dalam berpikir.
Para ahlul ra’yi tersebut berjumlah tujuh orang dari Anshar dan tujuh orang lainnya dari Muhajirin, yaitu Hamzah, Abu Bakar, Ja’far, ‘Umar, Ali, Hasan, Husein, Ibnu Mas’ud, Salman, ‘Ammar, Hudzaifah, Abu Dzar, Miqdad dan Bilal.
Keberadaan mereka untuk menyampaikan pendapat dan penjelasan murni berdasarkan kekuatan iman dan ketakwaan untuk menegakkan dinullah. Amanah mereka semata-mata sebagai bagian dari pengurus umat yang akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah ta’alaa di yaumil akhir.
Kekuasaan dan materi bukanlah sesuatu hal yang diburu para pengurus umat ini. Sangat berkebalikan dengan kelaziman para wakil rakyat dalam sistem batil saat ini dalam berambisi memperebutkan jabatan dan kekuasaan.
Para ahlul ra’yi ini sangat menjaga kemurnian amanah mereka dari berbagai ambisi terhadap kekuasaan karena takut akan adzab Allah.
Mereka senantiasa menjaga peringatan Kanjeng Nabi shalallahu ‘alaihi wassalam “Sungguh kalian akan berambisi terhadap kepemimpinan (kekuasaan), sementara kepemimpinan (kekuasaan) itu akan menjadi penyesalan dan kerugian pada hari kiamat kelak.” (HR Al-Bukhari, An-Nasa’i, dan Ahmad).
Ketakwaan mereka menjaga amanah tersebut tergambar dalam perkataan mulia Amirul Mukminin Umar bin al-Khatthab radhiyallahu anhu yang sangat kita kenal “Seandainya ada seekor keledai terperosok di Kota Bagdad karena jalanan rusak, aku sangat khawatir Allah akan meminta tanggung jawabku di akhirat nanti.”
Maasya Allah, sungguh suatu kemuliaan hidup yang hanya akan bisa terwujud dalam Daulah Khilafah Islamiyyah yang menerapkan sistem pemerintahan sahih karunia Sang Pencipta Allah aza wa jalla. Allahumma akrimna bil Islam. Wallahu a’lam bisshowwab.
Views: 11
Comment here