Oleh Moni Mutia Liza, S.Pd. (Pegiat Literasi)
Wacana-edukasi.com, OPINI— Tagar Peringatan Darurat Indonesia menggema di Indonesia. Hal ini dipicu oleh kesombongan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait permasalahan UU Pilkada. Sikap arogansi yang ditunjukkan oleh DPR RI ini ternyata menyulut emosi masyarakat dan mahasiswa karena dinilai melakukan pembangkangan terhadap UU Pilkada yang telah diputuskan oleh MK.
Bangkitnya masyarakat termasuk mahasiswa untuk melakukan protes merupakan peristiwa yang lumrah bagi setiap negara. Sebab tugas masyarakat adalah melakukan pengontrolan terhadap semua kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Melakukan kritik dan saran kepada pemerintah bagian kepedulian masyarakat terhadap negera ini.
Namun anehnya mengapa DPR RI melakukan revisi setelah sekian lama pilkada mengacu pada UU Pilkada yang telah ditetapkan oleh MK? Bukankah hal ini menunjukkan kepada kita bahwa undang-undang yang dibuat oleh DPR sarat akan pesanan kelompok tertentu?. Bukankah dalam politik demokrasi, DPR merupakan wakil rakyat yang harus senantiasa memikirkan peraturan yang terbaik dan menguntungkan rakyat?, lantas mengapa kita menyaksikan bahwa DPR seperti “budak” kaum kapital?.
Jangan-jangan slogan dewa demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat hanyalah tipuan belaka agar terlihat pro rakyat? Padahal slogan hakiki dari demokrasi adalah dari rakyat, oleh rakyat untuk pejabat atau kaum korporat. Hal ini didasari bahwa semua negara kapitalis-sekuler dikendalikan oleh kaum pemilik modal, bukan rakyat itu sendiri.
Demokrasi sejatinya adalah buah pikir manusia yang tentunya tidak luput dari kesalahan. Berbagai teori buah pikir manusia tentang pemerintahan dan sistem yang dibangun di dalamnya tidak bisa kita anggap sebagai sesuatu yang suci dan bersifat absolut, sebab teori tersebut berasal dari akal manusia yang sudah jelas akan kelemahannya, keterbatasan jangkauan indranya dan akalnya. Maka tidak heran kita menyaksikan adanya tumpang tindih dalam penerapan teori demokrasi pada negara yang menerapkannya.
Satu sisi demokrasi membebaskan individu untuk berpendapat sesuai pemahamannya, disisi lain kebebasan pendapat dibatasi jika mengancam kepentingan seseorang atau kelompok tertentu meskipun pendapat tersebut benar. Sehingga kebenaran dalam teori pemerintahan demokrasi terletak pada pemikiran masing-masing individu.
Maka hasilnya adalah siapapun yang naik di kursi jabatan, mereka memiliki otoritas membuat dan memberikan pendapat di berbagai kebijakan negara sesuai dengan pemahaman dan kepentingan mereka. Oleh karena itu kita menyaksikan betapa banyak undang-undang yang direvisi setiap kali ganti kabinet, ganti menteri, ganti pejabat, ganti presiden, semua berubah sesuai keinginan yang memimpin dan tim dibalik layar yang menyokong pendanaan disaat pemilihan umum.
Bobroknya sistem demokrasi sudah tidak bisa ditutupi lagi. Demokrasi yang dicetus oleh para filsuf ini nyatanya memang cacat sejak lahir, sebab munculnya demokrasi itu berawal dari pemberontakan kaum cendikiawan terhadap kaum gerejawan yang disokong oleh kerajaan. Adanya pemerintahan dengan konsep rakyatlah yang membuat aturan sejatinya adalah kebodohan dan bentuk kegagalan pemikiran filsuf pada saat itu. Sebab dalam urusan pemerintahan, baik peraturan maupun sanksi tidak bisa diserahkan kepada manusia. Jika persoalan pemerintahan dan pengurusan hidup masyarakat diserahkan pada kepala ribuan individu, maka yang tercipta adalah aturan yang condong pada kepentingan mereka.
Siapapun pemimpinnya jika masih menggunakan sistem yang rusak, alhasil berbagai kebijakan yang lahir akan membawa petaka bagi rakyatnya. 79 tahun Indonesia diklaim merdeka oleh seluruh dunia, namun nyatanya Indonesia masih dalam belenggu penjajahan, rakyat makin sengsara, SDA semakin dijarah dengan leluasa, diperparah dengan sistem politik yang belum independen, begitu pula ekonomi negeri ini yang masih dirantai oleh pihak asing/aseng.
Anggapan bahwa demokrasi adalah sistem terbaik dan yang merusaknya adalah oknum tertentu merupakan anggapan yang keliru. Pasalnya sistem ini memberi peluang kepada orang jahat untuk menjadi pengguasa, sistem ini pula yang membuka kran sebebas-bebasnya untuk mengotak-atik aturan yang sudah ditetapkan. Sistem kapitalis-sekuler adalah akar dari hancurnya peradaban manusia.
Berkoar-koar untuk mengembalikan kemurnian demokrasi merupakan bentuk kebodohan. Pasalnya demokrasi itu sendiri memang alat penjajahan untuk menghancurkan sebuah negara yang memiliki potenti alam yang besar. Tanpa kita sadari SDA kita yang melimpah telah tergadai dan terjual kepada pihak asing/aseng. Lantas masihkah kita mempercayai sistem pemerintahan demokrasi? Sistem yang secara nyata membuat kita semakin miskin dan terjajah.
Harusnya yang menjadi tuntutan bukan kembali kepada demokrasi, melainkan kepada Islam. Sebab sistem Islam yang secara jelas berasal dari sang pencipta dan terjamin aturannya serta sanksinya sesuai fitrah manusia, memuaskan akal manusia dan menenteramkan jiwa.
Islam memiliki konsep pemerintahan yang kita kenal dengan nama khilafah. Khilafah inilah yang telah terbukti membawa rahmat selama 13 abad. Bahkan Eropa yang gelap pada masa itu begitu takjub dengan kehebatan sistem pemerintahan Islam di Spanyol atau Andalusia.
Tidak sedikit pula gelombang khilafah terus menyebar ke seluruh dunia, umat akhir zaman mulai menyadari bahwa hanya Islam yang mampu membawa kembali kehidupan yang penuh berkah di muka bumi ini. Para ulama berbagai negara sudah berani secara terang-terangan menyeru untuk menegakkan kembali Islam. Karena apa? Karena memang sudah janji Allah bahwa khilafah itu akan tegak kembali. Dan akan memimpin dunia lagi dengan kehidupan yang penuh dengan kebaikan dan kedamaian. Wallahu’alam
Views: 20
Comment here