Oleh Sari Ramadani (Aktivis Muslimah)
اَفَحُكْمَ الْجَـاهِلِيَّةِ يَـبْغُوْنَ ۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّـقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?” (QS. Al-Ma’idah [5]: 50).
Ibarat sebuah tanaman yang busuknya sudah mengakar, batangnya rapuh, rantingnya patah, serta daunnya kering. Begitulah gambaran sistem demokrasi hasil dari pola pikir manusia yang abai terhadap aturan Sang Pencipta.
Lagi, seorang pejabat dan kepala daerah terjerat tindak kejahatan korupsi kembali terjadi. Bupati Bogor, Ade Yasin bersama tiga anak buahnya ditangkap oleh tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka diduga telah menyuap beberapa orang auditor BPK perwakilan dari Jawa Barat sebesar Rp1,9 miliar. Hal ini dilakukannya demi mendapatkan predikat opini WTP dalam sebuah laporan keuangan Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun Anggaran 2021. Ade Yasin terjun ke dunia perpolitikan pada tahun 2008 karena mengikuti jejak kakaknya, Rachmat Yasin. Mereka berdua merupakan kader Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sayangnya, Rachmat Yasin juga terjerat tindak pidana dua kasus korupsi, yaitu suap tukar-menukar kawasan hutan PT. Bukit Jonggol Asri dengan vonis penjara selama 5 tahun 6 bulan. (msn.com, 28/04/2022).
Wawan Heru Suyatmiko selaku peneliti Transparency International Indonesia (TII) menilai, penangkapan Ade Yasin mengingatkan tentang korupsi yang berkaitan erat dengan dinasti politik di Indonesia. Beliau menilai, dinasti politik berhubungan dengan biaya kontestasi politik sehingga mengarah pada tindak kejahatan korupsi. Kasus dinasti politik yang mengakibatkan kepala daerah masuk bui bukan hanya terjadi pada Ade Yasin dan Rahmat Yasin di Bogor. Hal ini pun terjadi di beberapa provinsi, sebagai contoh, di Provinsi Banten, ada Ratu Atut Chosiyah (eks gubernur) bersama dengan adiknya Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan. Atut dan Wawan terjerat kasus korupsi dan akhirnya dipenjara, dan masih banyak lagi kasus-kasus serupa lainnya. (tirto.id, 28/04/2022).
Tampaknya budaya korupsi di negeri kita tercinta ini memang sangat mendominasi dan sulit untuk mati. Tidak hanya sekali dua kali, tetapi berkali-kali rakyat negeri ini selalu dibuat kecewa oleh para pejabat yang katanya bekerja demi kepentingan rakyat, pada kenyataannya tidak demikian. Begitulah demokrasi yang berhasil menumbuh suburkan bibit-bibit baru bagi tindak korupsi. Sebab, sanksi hukum yang tidak tegas dan tidak dapat memberikan efek jera membuat tindak korupsi terus terjadi pada negara bersistem demokrasi.
Bukan itu saja, politik dinasti dalam sistem hari ini hanya akan membuka peluang besar bagi tindak korupsi. Secara sederhana, politik dinasti sendiri adalah sebuah kekuasaan yang diberikan secara turun-temurun kepada keluarga terdekat dari pejabat yang sedang berkuasa agar kekuasaan tadi hanya berputar pada lingkungan keluarganya saja sehingga yang bersangkutan dapat mempertahankan kekuasaan tersebut.
Di lain sisi, para pejabat di negeri ini kerap kali mendapatkan perlakuan istimewa dan memiliki kebebasan penuh dalam membuat sebuah keputusan. Jadi, meskipun ada sejumlah lembaga yang tugasnya melakukan pengawasan, sayangnya hukum akan kalah dengan uang. Alhasil, transaksi haram seperti suap-menyuap sudah menjadi rahasia umum. Wajar jika korupsi di negeri ini tidak dapat diatasi. Belum lagi lemahnya kontrol dari masyarakat, entah karena akses yang terbatas atau sikap individualis yang pekat dalam sistem hari ini, membuat masyarakat tidak peduli dengan kasus berulang yang pada akhirnya, korupsi dianggap hal biasa.
Hal ini sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan sistem Islam yang diterapkan secara sempurna selama kurang lebih 1300 tahun lamanya dan menguasai hampir 2/3 dunia. Dalam sistem Islam, kekuasaan yang ada pada Khalifah (kepada negara) adalah kekuasaan yang berasal dari rakyat, diambil dengan baiat iniqod, untuk menjalankan segala yang telah Allah tetapkan dalam Al-Qur’an dan Hadis. Maka, loyalitas Khalifah hanya ditujukan kepada Allah Swt. yang kepentingannya untuk seluruh warga negara bukan kepada partai atau golongan tertentu apalagi keluarga, serta pertanggungjawabannya kepada Allah dan rakyat. Untuk itu, akan ada Mahkamah Madhzolim yang akan selalu mengamati dan mengawasi segala kebijakan yang dikeluarkan oleh Khalifah, bahkan masyarakat umum sekalipun juga dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada Majelis Umat.
Dalam sistem Islam, ketakwaan individu merupakan perkara yang sangat penting, individu selalu merasa diawasi oleh Allah, sehingga siapa pun itu enggan mengambil harta yang bukan haknya termasuk juga para pejabat dan juga jajarannya. Selain itu, masyarakat dalam sistem Islam memiliki kesadaran penuh akan pentingnya saling mengingatkan dalam perkara kebaikan sebagai wujud amar makruf nahi mungkar. Mereka akan ikut mengawasi kinerja para pejabat yang semata-mata dilakukan atas dasar keimanan.
Yang juga penting, penerapan sanksi tegas oleh negara. Hampir satu dekade negeri kita berjuang untuk memberantas tindak kejahatan korupsi, tetapi pembahasan mengenai sanksi bagi para koruptor tetap saja samar. Menggema dalam ruangan diskusi tanpa sebuah kesimpulan. Masyarakat menjadi apatis, sementara korupsi makin marak. Jika diperhatikan, berbagai kasus korupsi telah merugikan negara. Namun sayangnya, masih ada saja celah bagi para koruptor untuk melakukan korupsi. Hal ini pun menunjukkan sistem keamanan negeri ini sangat rapuh. Padahal, pertahanan keamanan di suatu negeri memiliki peran penting dalam menjaga kedaulatan negara.
Sistem Islam memiliki cara-cara untuk menghapus tindak korupsi dan menutup semua pintu yang mengarah pada penyalahgunaan kekuasaan, karena sanksi yang diberikan berefek jera, bukan hanya menyediakan hotel bintang lima dengan fasilitas mewah. Dalam Islam, sanksi bagi para koruptor dapat berupa penyitaan harta benda, juga penjara sesuai keputusan hakim, publikasi atas tindak korupsi, stigmatisasi, cambuk, bahkan hukuman mati.
Beginilah pencegahan dan pemberantasan korupsi dalam sistem pemerintahan Islam. Konsep-konsep Islam bukan sebatas wacana tanpa tindakan nyata. Sebab, telah terbukti dalam tinta emas sejarah peradaban. Untuk itu, marilah kita tegakkan kembali sistem pemerintahan Islam sebagai langkah konkret untuk menemukan sebuah solusi dan mewujudkan negara yang bebas dari politik dinasti juga korupsi.
Wallahualam bissawab.
Views: 18
Comment here