Oleh Misdalifah Suli, M.Pd. (Tim Pena Ideologis Maros)
wacana-edukasi. Com, OPINI-– Menjelang akhir tahun 2024 ini tepatnya dibulan November akan diadakan pilkada serentak di beberapa wilayah Indonesia. Ada hal yang menarik yang menjadi perhatian publik untuk pilkada tahun ini. Dimana putra bungsu dari presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep diisukan akan maju di Pilkada DKI Jakarta 2024. Hal ini mengundang perhatian masyarakat sebab usia dari Kaesang masih 29 tahun yang berarti tidak memenuhi syarat pencalonan namun belakangan Mahkamah Agung mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana terhadap pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU nomor 9 tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota. Pasal ini berkaitan dengan syarat usia kepala daerah.
Lewat putusan Bernomor No. 23 P/HUM/2024, MA telah memberi pemaknaan baru terhadap pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU No. 9 Tahun 2020. Menurut MA, syarat usia bagi calon Gubernur dan Wakil Gubernur paling rendah 30 tahun dan 25 tahun untuk calon Bupati dan Wakil Bupati atau calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak pelantikan pasangan calon terpilih. Sebelumnya, ketentuan itu mengatur syarat usia terhitung sejak penetapan pasangan calon. Saat ini, Kaesang yang lahir 25 Desember pada 29 tahun lalu itu dipastikan tidak bisa maju dalam pilkada 2024 dengan aturan sebelum putusan MA karena penetapan calon pilkada pada 22 September 2024 (Tempo.co, 07/06/2024).
Putusan ini menimbulkan polemik lantaran amat kental nuansa politiknya. Lembaga swadaya kepemiluan, Perludem, menilai bahwa aksi Partai Garuda mirip dengan upaya pembatalan batas umur dalam gugatan Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 melalui putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 pada pencalonan presiden yang lalu. Menurut Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati, putusan MA ini mencoba mengutak-atik dan mencari celah peraturan perundang-undangan terkait pemilu/pilkada untuk kebutuhan kelompok tertentu (Tirto.id, 02/06/2024).
Senada dengan Direktur Perludem, Juru Bicara PDIP, Chico Hakim, menilai putusan MA ini tidak lepas dari upaya penguasa saat ini untuk meloloskan keturunannya. Cicho menyatakan bahwa “Kembali lagi, hukum diakali oleh hukum demi meloloskan putra penguasa maju sebagai calon. Negeri ini terus dipaksa mengakomodir pemimpin-pemimpin tanpa pengalaman, tanpa rekam jejak yang jelas, yang minim prestasi, dan belum cukup umur. Mengakali hukum dengan hukum adalah bentuk penghianatan tertinggi pada cita-cita reformasi”ujar Chico (Tirto.id, 02/06/2024).
Rezim yang menjabat saat ini tak lama lagi akan berakhir masa jabatannya. Tak dipungkiri sinyal-sinyal melanggengkan kekuasaan sudah tercium saat dicetuskannya slogan tiga periode akan tetapi saat itu masyarakat beserta beberapa aparat hukum menolak karena dianggap melanggar konstitusi. Maka cara lainpun ditempuh, salah satunya dengan meloloskan keturunannya menduduki jabatan sesuai yang diinginkan dengan cara mengutak-atik hukum yang berlaku.
Praktik politik dinasti ini sangat mudah terjadi di dalam sistem Demokrasi. Sebab, sistem demokrasi adalah produk dari sistem Kapitalisme yang memiliki asas materi ditambah asas sekularisme atau pemisahan agama dari kehidupan yang mendorong mereka melakukan berbagai cara untuk menduduki jabatan agar dapat meraih keuntungan sehingga mereka bisa memperkaya diri dan kelompoknya.
Efeknya, kekuasaan tidak lagi sesuai tujuan awalnya yakni mengurus hajat hidup rakyat. Yang ada kini kekuasaan dijadikan sebagai alat untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Negara yang katanya adalah negara hukum tidak lagi menjadikan hukum sebagai penegak keadilan tetapi digunakan untuk melanggengkan kepentingan termasuk memperpanjang kekuasaan ataupun mewariskan kekuasaan ke keturunannya.
Seperti inilah praktik politik dalam sistem demokrasi. Malapraktik kekuasaan bisa dibuat legal dengan mengakali aturan dan bisa terjadi berulang kali sesuai permintaan. Demokrasi yang katanya dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat ternyata hanya slogan belaka sebab pada penerapannya, pihak yang berperan dalam menentukan arah pemerintahan hanyalah segelintir politisi yang duduk dilembaga legislatif. Mereka bekerja sama dengan eksekutif untuk menyusun perundang-undangan yang nantinya hanya menguntungkan diri dan kroninya. Tak lupa lembaga yudikatif ikut dirangkul untuk melancarkan aksinya.
Alhasil, lahirlah peraturan-peraturan yang tidak lagi memihak kepada kepentingan rakyat. Peraturan yang ada malah menambah beban bahkan menyengsarakan hidup rakyat. Beginilah wajah kekuasaan dalam sistem demokrasi. Perkataan ‘Politik itu kotor’ memang sangat cocok untuk politik sistem demokrasi.
Tentu sangat jauh berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Kekuasaan dalam sistem Islam memiliki asas yakni akidah Islamiyah. Segala aktivitas termasuk menjalankan kekuasaan hanya untuk meraih ridho Allah subhanahu wa ta ‘ala. Mengurus kemashlahatan Islam dan kaum muslim adalah kewajiban penguasa dalam sistem Islam. Politik dalam islam diartikan sebagai riayah syu’unil ummah (mengurus urusan umat). Kekuasaan tidak disalahgunakan hanya karena kepentingan pribadi atau kelompok. Sikap ini lahir dari akidah yang kuat dan mentafakuri sabda rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam: “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyatnya banyak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. ” (H.R. Bukhari).
Atas dasar inilah, penguasa dalam sistem Islam tidak akan melakukan malapraktik kekuasaan sebab mereka memiliki rasa takut dan ketaatan yang tinggi kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Para penguasa memiliki rasa tawadhu sehingga tak akan berani menghianati amanah kekuasaan.
Sistem Islam memiliki mekanisme yang berbeda dengan sistem demokrasi dalam memilih dan mewujudkan penguasa yang adil dan amanah. Syarat penguasa dalam Islam adalah laki-laki, muslim, baligh, berakal, merdeka, adil dan mampu (memikul amanah kepemimpinan). Syarat-syarat ini akan mengeliminasi orang-orang yang tidak layak untuk memimpin, termasuk dari segi keadilan dan kecakapan. Seseorang yang memiliki riwayat suka berkhianat, suka berbohong, tidak amanah, fasik, korup, zalim dan enggan menerapkan syariat Islam tak pantas menjadi pemimpin.
Adapun proses seseorang menjadi gubernur (wali) atau bupati/ wali kota (amil) adalah melalui penunjukkan langsung oleh Khalifah berdasarkan tujuh syarat in’iqod. Akan tetapi, jika dalam perjalanan pemerintahan ternyata wali/amil tersebut bersikap khianat atau melakukan hal-hal yang melanggar tujuh syarat in’iqad maka ia akan langsung diberhentikan oleh Khalifah tanpa menunggu selesainya masa jabatan.
Rakyat akan ikut mengawasi dan memuhasabahi para penguasa. Rakyat boleh mengajukan ketidakridhaannya terhadap penguasa yang diangkat. Mekanismenya bisa melalui pengaduan kepada Khalifah atau mahkamah madzalim. Keduanya akan memutuskan perkara kedzaliman yang dilakukan penguasa. Dengan demikian, penegakkan hukum akan dijunjung tinggi dan kekuasaan pun akan menjadi kekuasaan yang menolong Islam dan melindungi umat manusia. Wallahu a’lam bisshawab.
Views: 5
Comment here