Oleh Siti Aisah, S.Pd
(Praktisi Pendidikan Kabupaten Subang)
wacana-edukasi.com– Bagai pedagang yang mencari untung dari setiap dagangannya. Sesuai dengan prinsip ekonomi kapitalis yang mengeluarkan modal sekecil-kecilnya dan mendapatkan untung sebesar-besarnya. Maka tak heran, saat demokrasi ini disebut sebagai sistem politik mahal. Alhasil mereka yang berkecimpung dalam kubangan demokrasi akan memeras otak untuk mencari cara agar mampu bertahan didalamnya. Dalam sistem ini, wajar apabila pejabat yang memiliki wewenang akan menggunakan sebaik-baiknya untuk bisa bertahan ataupun naik pangkat. Sayangnya, mereka akan melakukan segala cara. Salah satunya dengan penyalahgunaan wewenang dengan tindakan pidana korupsi. Astaghfirullah!
Tim penyidik Kejari (Kejaksaan Negeri) Kabupaten Subang telah mengkonfirmasikan bahwa salah satu mantan petinggi partai politik besar berinisial YSM, 46 tahun ini telah diduga melakukan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dana aspirasi DPRD tahun 2021. Akibat dari perbuatannya itu pemerintah daerah Kabupaten Subang mengalami kerugian sebesar Rp 200.000.000,- . Dana ini pada awalnya diperoleh dari penyalahgunaan anggaran bantuan khusus untuk Majelis taklim di Desa Sumbersari Kecamatan Pagaden yang ternyata bodong. Tapi pada akhirnya dana ini berujung pada konstensi pencalonan kepala desa periode 2021-2026 di desa yang sama. (Jabarpress.com, 05/09/2022)
Sungguh pengungkapan kasus Tipikor ini menambah daftar panjang bukti bahwa demokrasi telah menumbuhsuburkannya. Pasalnya perputaran uang dalam sistem ini telah mencolok mata. Bahkan bukan menjadi rahasia lagi saat ada serangan fajar pada pemilihan hari H. Kasus ini pun menambah luka rakyat saat kenaikan BBM beberapa waktu lalu dan menjadikan rasa ketidakpercayaan pada sistem politik yang diterapkan saat ini.
Korupsi ini akan terus ada dan berkembang saat sistem didalamnya mendorong seseorang (baca: penguasa) bersifat serakah, haus akan kekuasaan dan materi sebagai tolak ukur hidupnya. Ia akan bertindak berdasarkan asas manfaat saja. Sehingga istilah ‘Tidak ada kawan atau musuh yang ada kepentingan abadi’, memang benar adanya dalam sistem demokrasi.
Sistem politik demokrasi yang berasas sekuler ini, tak akan mampu membabat habis Tipikor hingga akarnya. Penguasa dalam sistem ini tidak menggunakan hukum buatan Sang pencipta dalam menjalankan roda pemerintahannya. Hingga saat ada kepentingan pribadi ataupun kelompok, walaupun itu merugikan rakyat ataupun negara, ia akan menganggap sebagai balas jasa atas segala upayanya untuk duduk di atas kursi kekuasaan. Baik itu untuk memulai ataupun mempertahankan kursinya.
Hukum yang diterapkan oleh sistem demokrasi untuk kasus Tipikor ini tidak menimbulkan efek jera untuk para pelakunya. Tak sedikit dari mereka yang masih tersangka tapi memiliki muka tebal mampu mencalonkan diri lagi. Lucunya, salah satunya ada yang terpilih kembali. Tak hanya itu peluang dibebaskan dari segala tuduhan pun bisa terjadi, walau sudah terkena OTT (Operasi Tangkap Tangan).
Dalam pandangan sistem Islam pemberantasan korupsi hingga ke akarnya ini bukan harapan kosong. Karena hukum Islam tegas mengharamkannya, lalu memberi efek jera dan penebus dosa untuk pelakunya. Lalu terdapat larangan keras untuk para wali atau gubernur untuk menerima harta yang tidak syar’i baik diperoleh dari harta milik negara atau memanipulasi data penerimaan bantuan dengan menyelewengkan kekuasaan.
Berikut ini strategi sistem pemerintahan Islam dalam memberantas Tipikor, yaitu : Pertama, para penguasa, pejabat, penegak hukum dan rakyat ini dikuatkan keimanannya kepada Allah SWT. Sehingga tindak kriminal, baik korupsi, suap-menyuap tidak akan terjadi karena merasa muraqabah (baca: perasaan yang senantiasa diawasi Allah). Kedua, adanya perhitungan kekayaan pejabat, sebelum dan sesudah berkuasa. Jika ada kelebihan yang tidak masuk akal maka negara bisa menyitanya sebagai kas Baitul mal.
Ketiga, menerapkan hukuman sanksi yang memberi efek jera dan penebus dosa bagi para pelakunya. Serta mampu menjadi pencegah bagi calon pelaku lainnya untuk melakukan hal sama. Keempat, khalifah (baca: kepala negara dalam sistem pemerintahan Islam) sebagai pemimpin memberikan keteladanan untuk para pembantunya menjalankan roda pemerintahan. Dengan tidak melakukan tindakan korupsi. Kelima, status pejabat dan pegawai dalam Islam adalah seperti pekerja, dan majikannya adalah negara yang diwakilkan kepada Khalifah. Sehingga hak dan kewajibannya akan diatur sesuai akad ijarah. Saat pendapatan yang diterima diluar gaji, termasuk hadiah adalah sesuatu hal yang diharamkan.
Beberapa upaya strategi Khilafah di atas mampu mematikan budaya korupsi sampai ke akarnya. Hanya dengan menerapkan sistem Islam secara totalitas dan jelas-jelas anti Tipikor inilah yang akan membendung tumbuh kembang perilaku panjang tangan penguasa.
Wallahu a’lam bisshowwab
Views: 20
Comment here