Oleh : Iis Martina
wacana-edukasi.com, SURAT PEMBACA— Dilansir dari Indonesia.com (12/01/2024) aliran dana dari luar negri ke rekening partai politik jelang pemilu 2024 mengalami peningkatan. Kondisi tersebut tentu bukanlah sesuatu yang aman bagi negara ini, karena dampak negatifnya bisa sampai menggadaikan kedaulatan Negara.
Seperti yang kita ketahui bahwa politik demokrasi merupakan politik yang berbiaya tinggi. Biaya kampanye yang jangkauannya nasional tentu tidaklah sedikit. Belum lagi biaya operasional dari awal hingga akhir tentunya memakan dana yang besar. Bahkan tidak jarang para politikus menghalalkan berbagai cara untuk merebut suara rakyat, termasuk dengan iming-iming materi. Dengan begitu jelas sudah bahwa demokrasi adalah ajang pestanya para kapitalis sang pemilik modal.
Berangkat dari latar belakang sokongan dana selama pemilu itulah, tidak heran mengapa kemudian demokrasi digunakan alat oleh orang-orang yang harus kekuasaan yang mengatas namakan rakyat namun sejatinya sedang berjuang untuk kepentingan para oligarki. Kekuasaan yang didapat tidak lagi berfokus pada kepentingan rakyat, melainkan berupaya bagaimana caranta memperkaya diri sendiri dan para elit yang sebelumnya mendukung mereka sampai pada kekuasaan yang didapatnya. Itulah mengapa demokrasi akan dapat mengancam kedaulatan negara. Karena dengan segala kepentingannya, para pemimpin di bawah sistem demokrasi akan rela melakukan apapun bahkan hingga menggadaikan negara yang dipimpinnya pada para kaiptalis.
Sudah menjadi rahasia umum jika dalam dunia demokrasi, hukum Alloh SWT sebagai Dzat Yang Maha Menciptakan tidaklah dianggap melainkan hanya dalam ibadah ritual semata. Sedangkan ragam hukum yang berhubungan dengan kehidupan, sepenuhnya bertumpu pada akal manusia dengan landasan pemisahan hidup dari agama. Prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan utuk rakyat selalu dihembuskan membawa masyarakat hidup semaunya sendri, termasuk dalam perkara memimpin masyarakat.
Apa yang terjadi pada pemilu di bawah naungan sistem kapitalis sekuler seperti saat ini tentu jauh berbeda dengan apa yang dihasilkan oleh Islam sebagai sebuah ideologi. Islam senantiasa mensuasanakan perasaan keislaman dalam diri setiap masyarakat, termasuk dalam menentukan seorang layak untuk menjadi seorang pemimpin atau tidak. Berikut adalah langkah-langkah yang dilakukan dalam Islam, pertama memastikan seorang pemimpin memiliki sifat manah. Mengingat beratnya amanah menjadikan pemimpin tidak berani bertindak sesuka hati dia akan selalu bersandar pada aturan Allah SWT karena takut atas pertanggung Jawaban di akhirat. Selain itu, orang yang maju menjadi calon pemimpin bukan figur yang gila jabatan tapi orang yang terdepan dalam kebaikan, sosok bertaqwa yang akan membersihkan hatinya dari niat jahat, termasuk niat untuk berbuat curang.
Kedua, akan dilakukan proses baiat bagi seorang pemimpin terpilih. Hal tersebut merupakan proses yang sakral, karena hal tersebut menunjukkan adanya dukungan umat terhadapnya. Dukungan ini bisa diperoleh melalui metode perwakilan. Pencalonan para pemimpin di seleksi oleh Mahkamah mazhalim dan dinyatakan layak ketika memenuhi ketujuh syarat in’iqod. Ketiga, adanya batas kekosongan kepemimpinan yakni tiga hari. Batas tiga hari ini akan membatasi kampanye sehingga tidak perlu kampanye akbar yang akan menghabiskan uang dalam jumlah besar. Teknis pemilihan juga akan dibuat sederhana, sehingga batas waktu tiga hari pemilu sudah selesai.
Dengan demikian, jelas bahwa hanya sistem Islamlah yang mampu membimbing umat dalam melangkah, termasuk dalam menentukan seorang pemimpin umat. Kita tidak bisa terus menerus dibodohi oleh demokrasi yang sering menyengsarakan rakyat. Mari kita pelajari islam dan perjuangkan Islam agar kehidupan kita dapat kembali sesuai dengan titahNya dan RasulNya. Wallohu a’lam bishawab.
Views: 7
Comment here