Penulis: Yanna As-Shoffiya (Lingkar Perempuan dan Peradapan)
Wacana-edukasi.com — Isu radikal masih menjadi pembahasan penting negara ini. Saat ini tampaknya pemerintah Indonesia sedang menjadikan “radikalisme” sebagai topik utama dan tantangan terbesar yang harus diperangi bangsa. Narasi radikalisme pun tidak jauh dari narasi menyerang islam.
Menteri agama Fachrul Razi menyampaikan bahwa cara paham radikal masuk adalah melalui orang yang berpenampilan baik atau good looking dan memiliki kemampuan agama yang bagus, sehingga mendapat simpati masyarakat. Saat itu dia bisa menyebarluaskan paham radikal.
“Cara masuk mereka gampang, pertama dikirimkan seorang anak yang good looking, penguasaan bahasa Arab bagus, hafiz, mulai masuk, ikut-ikut jadi imam, lama-orang orang situ bersimpati, diangkat jadi pengurus masjid. Kemudian mulai masuk temannya dan lain sebagainya, mulai masuk ide-ide yang tadi kita takutkan,” ucap Menag dalam acara internal Kementerian PAN-RB.
Pernyataan Menag itu rupanya menuai sorotan dari berbagai pihak. Salah satunya MUI yang meminta Menag menarik ucapannya terkait agen radikalisme good looking tersebut. Ucapan tersebut dinilai menyakiti hati dan menyudutkan umat Islam. Seolah, radikalisme hanya ditujukan kepada umat muslim saja. Sedangkan penganut agama lain tidak ada yang Radikal.
“Pernyataan tersebut justru menunjukkan ketidakpahaman Menag dan data yang tak akurat diterimanya. Seakan yang radikal itu hanya umat Islam dan para huffaz Al-Qur’an. Seharusnya Menag yang berlatar belakang militer lebih mengerti tentang peran umat Islam Indonesia dan menjadikannya sebagai rujukan untuk menciptakan stabilitas nasional, persatuan dan kemajuan di tengah kebinekatunggalikaan,” kata Muhyiddin, Wakil Ketua MUI.
“Menag harus banyak baca literatur yang benar, bukan ceramah yang disiapkan oleh pihak yang sengaja punya hidden agenda di negeri ini. Seharusnya ia berterima kasih dan membantu semua pihak yang mendorong proses islamisasi di kalangan generasi muda dan ghirah umat Islam yang ingin menghafal Al-Qur’an,” sambung Muhyiddin.
Selain itu, Menag Fachrul Razi juga menyampaikan mengenai program penceramah bersertifikat. Program tersebut diharapkan dapat mencegah pemahaman radikal. Dalam webinar ‘Strategi Menangkal Radikalisme Pada Aparatur Sipil Negara’ di kanal Youtube Kemenpan RB, Rabu (2/9), menteri agama Fachrul Razi akan menerapkan program sertifikasi penceramah bagi semua agama mulai bulan ini. Ia menyatakan pada tahap awal bakal ada 8.200 orang akan mendapatkan sertifikasi penceramah. (CNN Indonesia).
Namun, lagi-lagi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang direncanakan Kemenag untuk bekerja sama dalam program ini, malah lantang menolaknya. Keputusan untuk menolak program sertifikasi penceramah Kemenag itu diambil dalam keputusan Rapat Pimpinan MUI, Selasa (8/9).
“Oleh karena itu MUI menolak rencana program tersebut,” kata Wakil Ketua MUI Muhyiddin Junaidi yang tertuang dalam Pernyataan Sikap MUI Nomor Kep-1626/DP MUI/IX/2020 yang diterima CNNIndonesia.com, kemarin.
Muhyiddin menjelaskan, MUI menolak program sertifikasi penceramah lantaran usulan itu telah menimbulkan kegaduhan, kesalahpahaman, dan kekhawatiran intervensi dari pemerintah pada aspek keagamaan di Indonesia. Potensi intervensi itu dalam pelaksanaannya dapat menyulitkan umat Islam.
Kata radikal seolah menjadi bahasan yang tak pernah usai di negeri ini. Lantas apa makna dari kata radikal itu sendiri? Radikal pada dasarnya bermakna ‘berpikir secara mendalam’, sebab dia diambil dari akar kata latinnya, yaitu radix. Namun, akibat streotipe Baratlah yang menggeser makna radikalisme menjadi semacam gerakan revolusioner yang mengancam, mengerikan dan penuh dengan kebencian dan kekerasan.
Jika kemudian diksi kata “radikal” dianggap sebagai sebuah upaya perubahan sistem sosial kemasyarakatan secara totalitas dan revolusioner, maka konteks perubahan sistem sosial kemasyarakatan yang pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap masyakarat Arab Jahiliyyah bisa dianggap ‘radikal’ bagi masyarakat Jahiliyyah.
Demikian pula, resolusi jihad yang merupakan bukti kebangkitan para ulama dalam memperjuangkan kemerdekaan negeri ini bisa jadi merupakan sikap radikalisme bagi penjajah Belanda maupun Jepang.
Tentu saja diksi kata tersebut bisa menimbulkan pendapat yang kurang tepat yang beredar di masyarakat. Hal yang seharusnya bermakna positif menjadi negatif. Bahkan yang lebih berbahaya lagi, bisa menimbulkan perpecahan dan prasangka yang buruk, terutama kepada umat muslim yang terlanjur terlabeli dengan kata Radikal.
Dalam hal sertifikasi penceramah (pendakwah), label Radikal akan senantiasa melekat pada ulama yang tidak mempunyai sertifikat. Dan hanya dai pemegang kertas sertifikat yang boleh berceramah. Padahal, sejatinya, dakwah adalah kewajiban tiap muslim. Dakwah adalah amar ma’ruf nahi mungkar, yakni menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dakwah dikerjakan berlandaskan keimanan dan ketakwaan, maka standar kebenarannya jelas, sesuai Al-qur’an dan as sunnah.
Penceramah agama bukan orang yang asal berbicara. Mereka merupakan orang-orang yang berilmu, penghulu ilmu, pengajar ilmu yang berlandaskan al Qur’an dan as sunnah. Masyarakat pun pada akhirnya bisa menilai sekaligus melabeli penceramah agama tersebut, tanpa harus ada label sertifikat dari pemerintah. Lantas, mengapa pemerintah harus capek-capek membuat sertifikasi penceramah?
Jadi arah sertifikasi pencermah jika dikaitkan dengan makna radikal, sesungguhnya lebih mengarah kepada hal negatif yang menimbulkan perpecahan atas keutuhan negeri ini, atau bahkan yang lebih mengerikan lagi dengan adanya sertifikasi penceramah maka sedikit demi sedikit ummat akan dijauhkan dari pemahaman agamanya secara utuh.
Maka wajar adanya sikap MUI, DPR dan anggota masyarakat yang lain jika menolak diadakan sertifikasi ulama ini. Wajar pula jika hati umat muslim tersakiti ketika umat muslim dengan pemahaman Islam yang tinggi justru dilabeli dengan istilah Radikal. Sesungguhnya hingga detik ini, permasalahan dan gejolak negeri ini bukan karena radikalisme yang membuat perpecahan dan intoleransi antar umat beragama. Permasalahan negeri ini justru karena amoralitas penguasa dan kebijakan-kebijakan culas yang menumbuhsuburkan para koruptor dan degradasi moral. Tak ada masalah yang besar dalam toleransi dan kerukunan antar umat beragama. Tak harus ada pula streotipe Radikal.
Rasulullah juga memberikan teladan kepada kita, bagaimana perlakuan beliau kepada Non muslim. Salah satunya adalah bagaimana beliau ikhlas menyuapi seorang pengemis buta tua Yahudi, yang sangat membenci beliau. Karena pengemis itu buta maka ia tak tau bahwa yang menyuapinya adalah Rasulullah yang selalu ia hina. Rasulullah juga memimpin dengan cemerlang masyarakat, meski terdapat kemajemukan agama yakni Islam, Nasrani, dan Yahudi. Mereka hidup berdampingan satu sama lain dengan baik. Pada masa pemerintahan Islam semua warga daulah mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara, mendapat jaminan keamanan, dan bebas melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka masing masing.
Oleh karena itu, dalam praktiknya, kaum muslim tidak pernah memiliki ‘problem toleransi’. Tak layak dilabeli dengan sebutan Radikal. Mereka sudah terbiasa hidup dalam kemajemukan. Mereka memiliki tradisi toleransi yang tinggi. Mereka biasa memperlakukan orang-orang yang berbeda keyakinan dan agama dengan santun, adil dan manusiawi. Itulah Islam, wajah toleransi tertinggi yang pernah ada. Bahkan dalam sistem pemerintahan Islam (kekhilafahan) yang luasnya 2/3 dunia, aturan Islam tidak hanya melindungi umat muslim saja tapi keseluruhan warga daulah/ negara di lindungi dengan aturan Allah yang Maha Tinggi, Maha adil, Maha bijaksana dan senantiasa sempurna. Lantas masihkah menyebut umat muslim dengan sebutan Radikal?
Wallahu’alam bi ash showab.
Views: 0
Comment here